Mempertanyakan Urgensi RUU PPP

Junet Hariyo Setiawan
Editor Yure Humano Journal of Law, Editor Ordonnantie and Delegatie Journal of Law, Penulis Buku Sejarah KAI 2021
Konten dari Pengguna
28 Januari 2022 17:53 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Junet Hariyo Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Rapat (Dokumen Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rapat (Dokumen Pribadi)
ADVERTISEMENT
Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga negara yang fungsinya diatur di dalam UUD 1945, yaitu di dalam 20A (1) yang berbunyi “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Berdasarkan ketiga fungsi tersebut, legislasi memiliki kedudukan dominan dan sangat krusial, karena melalui fungsi itu, DPR dapat mempengaruhi berbagai aspek yang ada di Indonesia. Fungsi itu diimplementasikan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas), dan menyusun serta membahas Rancangan Undang-Undang (RUU).
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan fungsi tersebut, pada tanggal 6 Desember 2021, pemerintah dan Badan Legislasi Nasional (Baleg), Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI), telah menyepakati 40 RUU di dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022. Dari semua RUU prioritas yang ada, terdapat dua RUU yang menarik untuk diperbincangkan, karena memiliki hubungan yang sangat erat antara keduanya. Pertama adalah RUU tentang perubahan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Sebagaimana telah diketahui Bersama, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6/PUU-XIX/2021 tentang UU Cipta Kerja, telah memuat beberapa pokok permohonan yang menjadi pertimbangan Hakim. Salah pokok permohonan tersebut adalah tentang penggunaan metode omnibus law, yang dianggap tidak kompatibel dengan metode pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Nomor 12 tahun 2011. Apa yang dilakukan oleh MK dalam konsteks pengujian pokok permohonan tersebut sudah tepat.
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selanjutnya UUD 1945 mengatur tentang tata cara pembentukan Peraturan Perundang-Undangan seperti yang diamanatkan oleh Pasal (22A) yang merujuk kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Maka bila pembentukan UU tidak mengikuti prosedur dalam pengaturan tersebut, UU itu dapat dinyatakan cacat prosedur atau inkonstitusional.
Tampaknya, isi putusan itulah yang mendorong DPR-RI untuk mengusulkan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Alasan tersebut secara terang-terangan juga dinyatakan oleh anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI, Firman Soebagyo, yaitu untuk memasukkan norma atau frasa omnibus law (Republika, Senin 29 Nov 2021). Pertanyaannya adalah, apakah langkah yang dilakukan oleh DPR-RI tersebut diperbolehkan secara hukum, dan apakah urgensi dari usulan tersebut?.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan wewenang yang dimiliki, DPR boleh saja mengajukan RUU sesuai dengan apa yang dikehendaki, dengan catatan harus memperhatikan asas-asas pembentukan perundang-undangan. Tanpa memperhatikan asas tersebut, maka apa yang dilakukan oleh DPR hanyalah pemborosan anggaran atau bahkan menjadi bentuk abuse of power yang selama ini dianggap hanya pemerintah saja yang dapat melakukannya.
Berkaitan dengan UU Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya telah memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan, dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Nomor 11 tahun 2020 menjadi inkonstitusional secara permanen. Putusan tersebut memberikan informasi yang sangat jelas dan tegas bahwa yang harus diperbaiki adalah UU Cipta Kerja itu sendiri, bukan Undang-Undang lain yang berhubungan.
ADVERTISEMENT
Adalah benar bila kemudian DPR menginisiasi bersama tim ahli untuk menyiapkan draf rancangan akademik dan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Tetapi semestinya rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh menyimpang atau keluar dari apa yang terdapat di dalam amar putusan MK. Persoalannya adalah DPR sebagai penyusun Undang-Undang juga akan melakukan revisi UU tentang Peraturan Pembentukan Perundang-Undangan yang dianggap mengganjal suksesi UU Cipta Kerja itu sendiri.
Seandainya langkah itu sukses dilakukan, apakah perubahan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk meloloskan UU Cipta kerja?. Sementara dalam posita/fundamentum petendi yang diajukan oleh para penggugat, adalah Undang-Undang lama. Kemudian apakah Undang-Undang yang menjadi dasar bagi Undang-Undang yang sedang diperselisihkan boleh direvisi?. Bila hal seperti itu dianggap wajar, maka bisa jadi bila suatu waktu UUD 1945 juga dapat diubah sesuka hati, hanya untuk memudahkan pengesahan sebuah Undang-Undang yang sedang diuji.
ADVERTISEMENT
Berkaitan dengan RUU tersebut, juga perlu dipertanyakan kembali tentang pemenuhan daripada asas-asas pembentukan peraturan perundangan. Bila sebelumnya pertanyaan itu berlaku untuk UU Cipta Kerja, maka pemenuhan dari asas tersebut juga berlaku pada RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sedang dilakukan. Pertama adalah asas kejelasan tujuan. Berkaitan dengan apa saja tujuan dari usulan RUU tersebut, biar dijawab oleh DPR sebagai pengusul, meskipun sudah dikatakan sebelumnya, bahwa salah satu tujuannya adalah untuk meloloskan UU Cipta Kerja, agar tidak dianggap inkonstitusional.
Kedua adalah asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan. Dalam mempertanyakan as aitu, masyarakat wajib mempertanyakan Kembali kesesuaian materi UU terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, DPR harus berpikir keras menemukan ketentuan di dalam UUD 1945 yang memperbolehkan penyisipan metode omnibus law di dalam UU terkait. Terakhir yang perlu mendapatkan perhatian adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan. Pengusulan RUU yang terkesan sangat terburu-buru, dikhawatirkan tidak didasarkan pada aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga akan berakhir penolakan.
ADVERTISEMENT
Semua persoalan yang diuraikan di atas sejatinya adalah akibat dari ketidaktegasan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara judicial review Undang-Undang Cipta Kerja dengan dalih ada tujuan besar yang ingin dicapai dengan berlakunya UU Cipta Kerja, serta telah banyak dikeluarkan peraturan-peraturan pelaksana dan bahkan telah banyak diimplementasikan di tataran praktik. Kedua, adalah karena kesalahan dari penyusun Undang-Undang sendiri yang tidak memperhatikan asas-asas penyusunan peraturan perundang-undangan, sehingga menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Akhirnya, tidak ada kesalahan yang dapat diperbaiki dengan membuat kesalahan lain, tidak ada penegakan hukum yang dilakukan dengan cara melanggar hukum yang lain.