Konten dari Pengguna

Afek Positif dan Negatif: Kunci Hubungan Sosial yang Sehat

HASNA HUMAIRA HENDRIANA
Undergraduate Psychology Student at Universitas Brawijaya
2 Desember 2024 15:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari HASNA HUMAIRA HENDRIANA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Ron Lach dari Pexels https://www.pexels.com/photo/teenagers-looking-at-the-screen-of-a-cellphone-9654034/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Ron Lach dari Pexels https://www.pexels.com/photo/teenagers-looking-at-the-screen-of-a-cellphone-9654034/
ADVERTISEMENT
Manusia, sebagai makhluk sosial, membutuhkan interaksi dan koneksi dengan orang lain. Hubungan sosial, yang merupakan jalinan interaksi antara individu, membentuk fondasi kehidupan kita, memengaruhi kesejahteraan emosional, mental, dan bahkan fisik kita. Namun, dinamika hubungan sosial jauh lebih kompleks daripada sekadar interaksi sederhana. Afek, baik positif maupun negatif, memainkan peran krusial dalam membentuk, memperkuat, dan bahkan merusak hubungan-hubungan ini. Harapan, E., Pd, M., Ahmad, S., & MM, D. (2022). Pemahaman yang mendalam tentang bagaimana afek positif dan negatif berinteraksi dan memengaruhi dinamika sosial sangat penting untuk membangun dan memelihara hubungan yang sehat dan bermakna.
ADVERTISEMENT
Afek positif, seperti kebahagiaan, cinta, dan rasa syukur, memperkuat hubungan sosial dengan menciptakan ikatan emosional, rasa saling percaya, dan kerjasama harmonis. Individu yang merasakan kebahagiaan cenderung lebih terbuka, empati, dan mudah bergaul, sehingga lebih mudah menjalin hubungan yang bermakna. Mereka lebih toleran terhadap kesalahan, lebih mau berkompromi, dan menciptakan ikatan yang lebih langgeng. Ekspresi afek positif, seperti senyuman, tawa, dan ungkapan kasih sayang, menciptakan lingkungan yang nyaman dan mendukung, mendorong interaksi sosial yang lebih sering dan mendalam.
Sebaliknya, afek negatif seperti kemarahan, kecemasan, dan kesedihan dapat merusak hubungan, menciptakan jarak emosional, dan memicu konflik. Kemarahan yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perselisihan yang merusak hubungan. Kecemasan yang berlebihan membuat individu tertutup dan sulit berinteraksi, menghambat pembentukan hubungan baru. Namun, penting untuk mempertimbangkan konteks dan cara afek diekspresikan. Afek negatif yang diekspresikan secara konstruktif, misalnya melalui komunikasi asertif dan penyelesaian konflik yang sehat, justru dapat memperkuat hubungan. Sebaliknya, afek positif yang dipaksakan dapat dianggap manipulatif dan merusak kepercayaan. Sehingga, keseimbangan antara afek positif dan negatif, serta kemampuan mengelola keduanya, merupakan kunci hubungan sosial yang sehat dan berkelanjutan. Satira, A. U., & Hidriani, R. (2021).
ADVERTISEMENT
Otak memainkan peran sentral dalam pengelolaan afek dalam hubungan sosial. Beberapa struktur otak terlibat langsung untuk mengendalikan emosi yang muncul selama interaksi sosial. Misalnya, Amygdala membantu mendeteksi dan memproses informasi negatif, seperti ketakutan atau kemarahan. Sementara itu, Prefrontal cortex (PFC) terlibat langsung dalam regulasi emosi, kontrol diri, dan adaptasi terhadap situasi sosial. Selain itu, Insula juga memiliki peran penting dalam persepsi tubuh terkait dengan emosi, yang mempengaruhi bagaimana kita merasakan dan merespons emosi dalam konteks sosial.
Sebaliknya, ketika afek negatif muncul, struktur otak yang lebih berhubungan dengan ancaman dan stres cenderung lebih aktif, menghasilkan respons yang lebih defensif dan kurang empatik dalam interaksi sosial.
ADVERTISEMENT
Neurotransmitter dan hormon berperan besar dalam mengatur afek selama interaksi sosial. Dopamin, misalnya, dilepaskan ketika seseorang merasa bahagia, memperkuat ikatan sosial dan memotivasi untuk terus berinteraksi.
Serotonin membantu menjaga stabilitas suasana hati. Ketika kadarnya seimbang, serotonin menciptakan perasaan nyaman dan aman, membantu mengurangi konflik atau kecemasan dalam hubungan.
Oksitosin, berperan penting dalam mempererat hubungan emosional. Hormon ini dilepaskan saat seseorang mengalami momen kepercayaan atau kasih sayang, seperti pelukan atau berbagi kebahagiaan. Oksitosin memperkuat rasa kedekatan dan mendukung hubungan interpersonal yang lebih baik.
Namun, ketidakseimbangan neurotransmitter dapat memicu emosi negatif seperti kecemasan dan depresi, yang berdampak buruk pada hubungan sosial dan sering kali menimbulkan disfungsi.
Hubungan sosial yang sehat dan berkelanjutan dibangun diatas fondasi pengelolaan afek yang efektif. Afek positif berperan krusial dalam memperkuat ikatan dan membangun kepercayaan, sementara afek negatif berpotensi merusak hubungan jika tidak dikelola dengan baik. Kemampuan untuk mengekspresikan afek secara konstruktif sangat penting. Komunikasi yang terbuka dan jujur, serta kemampuan untuk menyelesaikan konflik secara sehat, menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan emosional dalam hubungan. Meskipun afek positif sangat penting, ekspektasi yang tidak realistis atau ekspresi afek positif yang tidak tulus dapat berdampak negatif. Begitu pula, afek negatif yang bersifat sementara dan ringan mungkin tidak menimbulkan masalah besar, namun afek negatif yang intens dan berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan. Jadi, kesuksesan dalam membangun dan memelihara hubungan sosial bergantung pada kemampuan individu untuk menyeimbangkan dan mengelola afek positif dan negatif, serta berfokus pada komunikasi yang efektif dan empati dalam setiap interaksi.
ADVERTISEMENT
Referensi
Harapan, E., Pd, M., Ahmad, S., & MM, D. (2022). Komunikasi antarpribadi: Perilaku insani dalam organisasi pendidikan. PT. RajaGrafindo Persada-Rajawali Pers.
Satira, A. U., & Hidriani, R. (2021). Peran penting public relations di era digital. Sadida, 1(2), 179-202.
Widhagdha, M. F., Wahyuni, H. I., & Sulhan, M. (2019). Relasi sosial dalam praktik kebijakan CSR. The Journal of Society and Media, 3(1), 105-125.