Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Percaya Karena FYP : Saat Informasi Viral Disangka Ilmiah
21 April 2025 10:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari HASNA HUMAIRA HENDRIANA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di era digital yang kini terus berkembang, TikTok bukan lagi sekedar platform hiburan saja, melainkan TikTok telah berkembang menjadi ruang pembelajaran cepat, tempat sharing pengalaman pribadi, dan bahkan menjadi sumber referensi “ilmiah” bagi generasi muda. Cukup dengan scroll FYP selama beberapa menit, bisa membuat kita merasa seperti sudah memahami konsep kepribadian hanya berdasarkan MBTI, mendeteksi gejala atau tanda gangguan kecemasan, dan bahkan mendiagnosis diri dengan berbagai macam penyakit mental hanya karena merasa relate dengan isi dari suatu video tersebut. Kebanyakan video yang ada di TikTok bukan berasal dari ahli dari suatu bidang, melainkan berasal dari pengguna biasa atau publik figur yang menyampaikan pengalaman personal diiringi dengan musik yang catchy, visual yang menarik, dan dimulai dengan kalimat pembuka seperti “pernah gak sih kamu ngalamin ini, nah kalau kamu ngerasa kayak gini, kemungkinan kamu punya…”
ADVERTISEMENT
Fakta yang mengejutkannya adalah betapa besar kepercayaan yang diberikan oleh viewers kepada informasi-informasi yang kita jumpai di TikTok ini. Banyak orang, terutama dari generasi muda, yang merasa telah berhasil menemukan “jawaban” atau memecahkan masalah atas kegelisahan mereka, dan dengan mudah menyebarluaskan konten yang mereka temukan tersebut. Padahal, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh University of Chicago, ditemukan bahwa hampir setengah dari video yang membahas seputar kesehatan yang ada di TikTok mengandung informasi yang kurang akurat. Jadi, mengapa banyak individu yang mudah sekali mempercayai video yang ditemukan di TikTok? Lantas bagaimana kita seharusnya bersikap?
Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini, kita bisa melihatnya dari sudut pandang filsafat ilmu, terutama dari 3 cabang ilmu pengetahuan, yaitu ontologi, aksiologi dan epistemologi. Ketiga cabang ini berfungsi sebagai pondasi utama dalam mempelajari dan memahami lebih dalam bagaimana suatu ilmu pengetahuan bekerja, bagaimana suatu realitas dikonstruksi, dan bagaimana masing-masing nilai berperan dalam proses penyebaran ilmu.
ADVERTISEMENT
Ontologi: Realitas yang Dibentuk Algoritma
Kajian ontologi berkaitan dengan pertanyaan “apa yang sebenarnya terjadi?”. Dalam filsafat ilmu, ontologi membedakan antara realitas objektif (yang dapat diuji) dan realitas subjektif (yang dirasakan). Dalam platform media sosial, terutama di TikTok, cenderung sulit untuk mengetahui perbedaan antara keduanya.
TikTok menciptakan suatu algoritma yang menyesuaikan konten berdasarkan interaksi pengguna. Misalnya, jika seseorang sering mengakses atau menonton video terkait kecemasan sosial, maka algoritma akan menyajikan konten yang mirip atau serupa dengan apa yang kita biasanya tonton. Meskipun tidak selalu benar, hal ini memberikan kesan bahwa isu-isu atau masalah yang sedang marak dibicarakan itu seolah-olah benar dan berlaku untuk diri sendiri.
Di era ini, kita bukan hidup dalam suatu realitas objektif, melainkan hidup dalam suatu realitas yang telah dibentuk oleh algoritma. Kini, beberapa individu memiliki kecenderungan untuk melakukan self-diagnose hanya karena mempercayai dan merasa relate dengan apa yang mereka temukan melalui video di TikTok. Contohnya, seseorang bisa merasa bahwa mereka memiliki seluruh gejala ADHD, hanya karena mereka menonton suatu video yang menyebutkan beberapa kalimat-kalimat umum, seperti “mudah terdistraksi” atau “mudah melupakan hal-hal kecil”. Realitas seperti ini pastinya tidak selalu benar secara ilmiah karena bersifat subjektif.
ADVERTISEMENT
Logika ilmiah mengajarkan bahwa kenyataan harus diuji dan diamati secara sistematis. Seseorang tidak bisa mendiagnosis gangguan mental hanya dengan menonton video TikTok. Di sinilah pentingnya menyadari bahwa apa yang terlihat nyata di media sosial, belum tentu mencerminkan kenyataan sesungguhnya.
Epistemologi: Antara Merasa Tahu dan Benar-Benar Tahu
Selanjutnya adalah cabang filsafat yang disebut epistemologi, cabang ini membahas asal usul, validitas, dan batas pengetahuan. Paham epistemologi mengajak kita untuk untuk bertanya “Apakah informasi yang masuk ke FYP dan viral di TikTok itu bisa dianggap sebagai suatu pengetahuan yang ilmiah? Selain itu, apakah kita tahu kebenaran hal tersebut karena kita benar-benar tahu, atau hanya merasa itu benar karena kita sering menjumpai hal itu dan merasa hal tersebut sesuai dengan diri kita?”
ADVERTISEMENT
Menurut paham epistemologi, ilmu pengetahuan adalah suatu keyakinan yang benar dan dapat dibenarkan, atau bisa disebut juga dengan justified true belief. Kebanyakan konten yang beredar di TikTok, seringkali tidak melalui proses justifikasi atau validitas ilmiah. Banyak orang yang beranggapan bahwa hal yang menentukan validitas suatu konten adalah berdasarkan jumlah interaksi viewers terhadap konten tersebut, seperti banyaknya jumlah likes, komentar yang setuju dengan isi dari konten tersebut, dan banyaknya orang yang mengunggah ulang postingan tersebut. Hal ini menyebabkan adanya ilusi epistemik, yang berarti bahwa semakin sering kita terpapar atau melihat suatu konten, maka semakin kita percaya bahwa hal itu benar, meskipun tidak adanya bukti yang mendasari atau mendukungnya.
Inilah alasan mengapa memahami sesuatu secara menyeluruh dan tidak langsung mempercayai apa yang kita temukan di media sosial itu sangat penting, karena ilmu tidak cukup hanya dengan “percaya” atau sekedar relate saja. Suatu pengetahuan atauilmu membutuhkan adanya pembuktian, pengujian, dan bisa dipertanggungjawabkan. Informasi yang kita dapatkan dari media sosial, terutama TikTok, tidak melewati suatu proses menguji validitas informasi. Maka dari itu, informasi yang kita temukan di TikTok sebaiknya disebut sebagai narasi atau opini, dibandingkan sebagai ilmu pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Aksiologi : Etika di Balik Penyebaran Pengetahuan
Aksiologi berbicara tentang nilai dan tujuan dari suatu ilmu pengetahuan. Dalam konteks ilmu, cabang aksiologi menekankan betapa pentingnya etika untuk menghasilkan dan menyebarkan pengetahuan. Seringkali, tujuan menyebarkan informasi di TikTok bukan untuk mencerdaskan orang, melainkan semata-mata hanya untuk mencari perhatian, mendapatkan popularitas, atau hanya sekedar ingin viral saja.
Banyak konten kreator tidak menyadari tanggung jawab moral atas konten yang mereka buat. Mereka menyederhanakan isu-isu kompleks demi engagement tinggi. Padahal, dalam aksiologi ilmu, menyebarkan informasi palsu atau yang belum terverifikasi dapat menyesatkan, merugikan, bahkan membahayakan orang lain.
Apalagi jika berkaitan dengan topik seperti kesehatan mental, yang sangat individual dan kompleks. Penyebaran informasi yang tidak akurat dapat menyebabkan pemahaman yang salah, keengganan orang untuk mendapatkan bantuan profesional, atau bahkan pembentukan stigma baru.
ADVERTISEMENT
Fenomena kepercayaan terhadap informasi viral di TikTok bukan sekadar persoalan teknologi atau tren. Melalui sudut pandang epistemologi, ontologi, dan aksiologi, kita memahami bahwa informasi yang menarik belum tentu benar, realitas yang kita lihat belum tentu objektif, dan penyebaran pengetahuan harus disertai dengan tanggung jawab etis. Di era digital ini, kita tidak perlu menolak TikTok—tapi kita perlu menyertai setiap scroll dengan kesadaran berpikir ilmiah. Karena di tengah banyaknya informasi, kemampuan untuk berpikir logis dan kritis adalah bentuk kekuatan paling penting yang harus kita miliki