Konten dari Pengguna

Internalisasi Misogini: Mentalitas yang Harus Diakhiri

Hasnah Aulia Fadhilah
Mahasiswa Akuntansi, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Airlangga
12 Desember 2024 15:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hasnah Aulia Fadhilah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi persatuan perempuan. Foto: unsplash.com/Hannah Busing
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi persatuan perempuan. Foto: unsplash.com/Hannah Busing
ADVERTISEMENT
Misogini merupakan perilaku membenci perempuan tanpa sebab rasional dan murni hanya karena jenis kelamin mereka. Sedangkan, misoginis merupakan sebutan bagi pemilik pandangan diskriminatif tersebut. Di Indonesia, fenomena misogini sendiri sesungguhnya lahir dari budaya patriaki yang dibiarkan terus mengakar. Jauh sebelum industrialisasi dan modernisasi tiba, pandangan akan laki-laki sebagai nomor satu dan perempuan sebagai nomor dua sudah berkembang hampir di seluruh wilayah dunia. Penilaian itu tak lain didasarkan atas kekuatan fisik, di mana sebagian besar laki-laki memiliki stamina dan kekuatan fisik yang jauh lebih kuat dari perempuan.
ADVERTISEMENT
Pandangan menomorduakan perempuan ini kemudian mengalami ekspansi ke berbagai aspek kehidupan sebagai suatu alat kontrol yang tidak semestinya. Banyak perempuan yang merasa kehidupannya diinvasi dan dibatasi oleh budaya patriarki secara terus menerus. Sebagai contoh, masih banyak keluarga yang memandang keinginan mengenyam pendidikan tinggi yang dimiliki anak perempuan mereka adalah sesuatu yang tidak penting karena sama dengan buang-buang uang. Hal itu juga terjadi di lingkungan tempat tinggal saya, di mana banyak remaja perempuan terpaksa mengubur mimpi mereka untuk berkuliah lantaran didesak supaya segera menikah. Masyarakat tradisional dengan budaya patriarki yang kental menganggap belajar dan berkarier bukanlah opsi bagi perempuan dewasa sebab tugas utama mereka adalah mengurus rumah, anak, dan suami.
Di sinilah misogini mulai termanifestasi. Maraknya perkembangan penyebaran informasi dan pendidikan telah menyadarkan sebagian perempuan Indonesia bahwa tak seharusnya mereka tunduk dengan kekangan kaum patriarki. Namun, perempuan yang berani mengabaikan norma konservatif ini juga memicu ketidaksukaan penganut patriarki yang sayangnya bukan hanya laki-laki, melainkan juga sebagian perempuan. Dr. Fiona Barlow, seorang dosen psikologi University of Queensland, menjelaskan bahwa perempuan yang mendukung adanya hierarki sosial berbasis gender memiliki pola pikir bahwa mereka membutuhkan perlindungan laki-laki dan berkewajiban melayani mereka. Ketika menyaksikan perempuan lain dengan ambisi yang menentang budaya patriarki, mereka--perempuan misoginis--merasa perlu untuk mengekspresikan kebencian, yang umumnya diutarakan melalui cibiran, pandangan tak bersahabat, serta bentuk ketidaksukaan lainnya. Kebencian itulah yang disebut dengan internalisasi misogini.
ADVERTISEMENT
Intenalisasi misogini sesungguhnya merupakan pola pikir yang kejam sekaligus memprihatinkan sebab membuat perempuan saling membenci satu sama lain. Perempuan feminis sudah sering menerima rasa benci dari laki-laki patriarki, tetapi masih harus merasakan dibenci oleh sesama perempuan hanya karena berani berekspresi dan menyuarakan pendapat mereka. Selain memiliki rasa tidak suka pada perempuan feminis, perempuan misoginis cenderung terlibat dalam kompetisi intrakelompok, di mana mereka akan saling bersaing dan menjatuhkan demi menyesuaikan diri dengan aturan mengikat budaya patriarki.
Namun, perlu diingat bahwa perwujudan internalisasi misogini jauh lebih kompleks dari itu. Tak ada kriteria tertentu untuk membedakan individu yang telah terpapar mentalitas ini dengan yang belum. Pada beberapa kasus, internalisasi misogini tak hanya tertanam pada diri perempuan yang memegang erat budaya konservatif. Sebaliknya, pola pikir seperti itu juga dimiliki oleh perempuan yang terkesan mengekang segala aturan tradisional dalam segi berpenampilan dan berperilaku.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita tahu, beberapa waktu lalu, sedang tren untuk menjuluki seseorang dengan sebutan 'pick-me girl.' Dr. Ike Herdiana, psikolog sekaligus dosen psikologi Universitas Airlangga, mendefinisikan 'pick-me girl' sebagai individu yang sengaja menonjolkan perbedaan yang ia miliki dari perempuan lain dengan tujuan menggaet perhatian dan validasi dari laki-laki. Dr. Ike juga menjelaskan bahwa 'pick-me girl' merupakan individu yang lahir dari internalisasi misogini dan gemar merendahkan perempuan lain yang dianggap menggambarkan sifat feminin tradisional. Fenomena yang dapat dijadikan contoh adalah ketika seorang perempuan mencibir perempuan lain yang menggunakap make-up tebal dengan harapan dianggap unik oleh jenis kelamin yang berlawanan.
Eksistensi internalisasi misogini merupakan asimilasi dari budaya patriarki dan norma gender. Pola pikir ini juga dikatakan sebagai upaya laki-laki patriarki dalam membuat perempuan turut serta melenggangkan dominasi sosial dan pemaksaan suatu peran tertentu.
ADVERTISEMENT
Membasmi pandangan mengakar yang diwariskan secara turun-menurun ini tentu saja tak bisa dilakukan dalam sekejap mata. Butuh keterlibatan mendalam dari berbagai pihak untuk membingkai ulang paradigma sosial, khususnya di lingkungan pedesaan yang kurang terjamah edukasi dan teknologi. Penyuluhan secara berkesinambungan mungkin saja memiliki dampak efektif untuk membuka pandangan generasi muda. Namun, PR sesungguhnya adalah menghapuskan internalisasi misogini dalam diri individu dewasa.
Meluruskan pola pikir diskriminatif yang dianut selama berpuluh-puluh tahun jelas membutuhkan usaha yang jauh lebih kolektif, intens, dan terstuktur. Bukan hanya pemerintah dan tenaga pendidik yang memiliki kewajiban membenahi kesalahan pola pikir ini, melainkan kita sebagai masyarakat biasa juga harus lebih berani mengedukasi dan menyuarakan protes ketika menyaksikan fenomena seputar diskriminasi berbasis gender. Bertindak kritis tak harus dimulai dengan mengkritisi permasalahan berat berskala nasional, tetapi bisa dimulai dari perilaku masyarakat sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai generasi muda, sudah seharusnya tak ada tempat untuk rasa sungkan menegur ketika menjumpai fenomena hasil internalisasi misogini serta kejadian diskriminasi gender lainnya. Kami percaya keterlibatan seluruh pihak mampu menciptakan nuansa revolutif yang jauh lebih didengar, sehingga harapannya, Indonesia dapat segera membenahi keterpurukan problema gender ini.
ADVERTISEMENT
Optimisme untuk mengakhiri internalisasi misogini sejatinya bukan hal yang naif. Sebab, dilansir Badan Pusat Statistika, Gender Inequality Index (GII) Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 2018 hingga 2023. Meskipun ketidaksetaraan gender belum dapat dihilangkan secara menyeluruh, hal ini telah mengangkat harapan kaum feminis dan pejuang HAM untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif, suportif, dan aman bagi seluruh masyarakat melalui penghapusan mentalitas diskriminatif.
Pada akhirnya, terlepas dari segala kendala yang dimiliki, edukasi serta pembenahan tentang internalisasi misogini penting dilakukan demi mengembalikan kebebasan perempuan dalam menentukan keputusan hidup dan berekspresi layaknya manusia normal, sekaligus sebagai upaya menjadikan Indonesia negara yang lebih maju dalam aspek kesetaraan gender.