Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
FTBS 2024 Menghidupkan Kembali Melodi Maestro Banyumas Yang Terlupakan
9 Januari 2025 13:23 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hellen Oktavie tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Jangan jadi musisi seperti saya, di sini (Indonesia) belum bisa dihargai” wejangan terakhir dari RADEN Soetedja Poerwodibroto yang paling diingat oleh putri keempatnya.
ADVERTISEMENT
Gedung Soetedja di Kabupaten Banyumas berdiri megah sebagai pusat seni dan budaya, tempat di mana beragam pertunjukan dan aktivitas kesenian Banyumas dihidupkan. Namun, di balik semarak panggung dan harmoni suara gamelan, nama besar yang menjadi ruh gedung ini R. Soetedja Poerwodibroto perlahan mulai terlupakan.
Nama Soetedja, yang dulu bergaung melalui karya-karyanya, kini meredup di tengah gemuruh aktivitas seni lainnya. Seolah, Gedung Soetedja hanya menjadi panggung tanpa jiwa, tanpa pengingat akan seorang maestro yang mencurahkan hidupnya untuk melahirkan musik yang abadi. Ini bukan hanya tentang nama yang hilang, tetapi tentang sejarah yang perlahan terkubur tanpa jejak. Sebuah warisan yang semestinya tidak hanya dikenang, tetapi juga dihormati dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
ADVERTISEMENT
RADEN Soetedja Poerwodibroto adalah jiwa di balik harmoni musik yang terus menggema di hati masyarakat Indonesia terutama masyarakat Banyumas, salah satunya melalui lagu legendarisnya, “Di Tepinya Sungai Serayu.” Lagu ini bukan sekadar melodi, tetapi sebuah nostalgia yang melekat dalam setiap alunan nada. Di Stasiun Purwokerto, lagu ini mengalun lembut, menyambut kedatangan kereta api. Suaranya seolah bercerita tentang perjalanan, bukan hanya di atas rel, tetapi juga perjalanan sejarah dan rasa cinta Soetedja pada tanah kelahirannya.
Di setiap denting irama yang terdengar, ada jejak Soetedja yang tetap hidup, mengiringi langkah para pelancong dan penduduk lokal. Lagu ini adalah pengingat bahwa seni memiliki kekuatan untuk bertahan melintasi waktu, menjaga kenangan seorang maestro yang pernah mencurahkan seluruh jiwa dan raganya demi keindahan musik. Harmoni “Di Tepinya Sungai Serayu” di stasiun itu adalah bukti abadi bahwa Soetedja, dengan segala kehebatannya, tidak pernah benar-benar pergi.
ADVERTISEMENT
R. Soetedja lahir pada 15 Oktober 1909 di Purwokerto, Jawa Tengah. Di masanya, ia adalah bintang yang bersinar terang di antara jajaran musisi legendaris seperti Ismail Marzuki dan Bing Slamet. Karya-karyanya, seperti “Di Tepinya Sungai Serayu,” “Tidurlah Intan,” dan “Melati Pesanku,” menjadi saksi dari bakatnya yang tak tertandingi. Namun, seiring berjalannya waktu, nama R. Soetedja perlahan redup, tenggelam di antara kenangan akan masa lalu.
Di tengah riuhnya penghormatan terhadap Ismail Marzuki dan Bing Slamet, pertanyaan menyentuh muncul: mengapa nama Soetedja tak lagi sering disebut? Sosok yang pernah menjadi maestro ini seolah hanya dikenang lewat nada-nada samar yang terdengar di Stasiun Purwokerto. Padahal, karya-karyanya adalah bukti cinta yang mendalam terhadap tanah kelahirannya dan dedikasinya untuk seni.
ADVERTISEMENT
RADEN Soetedja bukan sekadar musisi; ia adalah pelopor, pencerita, dan penjaga harmoni Banyumas. Waktu mungkin telah menjauhkan namanya, tetapi musiknya adalah bukti abadi bahwa ia pernah ada, dengan jiwa yang tak henti-hentinya menciptakan keindahan. Kini, tanggung jawab kita adalah membawa kembali sinar nama Soetedja, memastikan bahwa ia dikenang sebagai salah satu permata Indonesia yang tak ternilai.
Dalam balutan tema ‘Serayu Mendayu,’ Festival Taman Budaya Soetedja 2024 sukses menghadirkan keindahan budaya Banyumas. Suara kentongan dan orkes keroncong mengalun, menyambut setiap pengunjung yang datang ke Gedung Soetedja. Acara yang berlangsung pada 8-9 November di Taman Budaya Soetedja ini menjadi ajang perayaan keberagaman seni lokal sekaligus upaya memperkenalkan dan mengenang sosok R. Soetedja, maestro musik Banyumas yang karya-karyanya abadi. Mulai dari alunan keroncong hingga meriahnya pertunjukan band yang dibawakan oleh anak muda membuat suasana festival berhasil memikat hati ribuan pengunjung.
Festival ini bukan sekadar panggung bagi seni tradisional, tetapi sebuah ruang di mana semangat muda dan warisan budaya saling berpelukan. Dalam Festival Band Pelajar SMA/SMK, jiwa-jiwa muda tampil dengan penuh semangat, memadukan unsur modern dengan sentuhan tradisi, menciptakan harmoni yang tidak hanya didengar, tetapi juga dirasakan. Salah satunya adalah dengan kreatif mengutak-atik aransemen lagu legendaris R. Soetedja, “Di Tepinya Sungai Serayu.” Mereka menghidupkan kembali melodi klasik ini dengan gaya baru, memadukan bunyi alat musik modern dan tradisional, menciptakan interpretasi segar yang tetap menghormati jiwa asli karya tersebut.
ADVERTISEMENT