50 Tahun Peristiwa Malari: Protes Modal Asing dan Represi Orde Baru

Helenerius Ajo Leda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
16 Januari 2024 9:42 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helenerius Ajo Leda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tanggal 15 Januari 2024 genap 50 tahun (1974-2024) peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), salah satu ujuk rasa terbesar yang terjadi pada tahun ke tujuh pemerintahan Soeharto. Peristiwa ini terjadi pada saat unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil menentang kebijakan modal asing di masa pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto.
ADVERTISEMENT
Sejak awal kepemimpinannya, Soeharto telah membuka pintu bagi investasi asing dengan kebijakan modal asing melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967. Hal ini mendatangkan investor dari berbagai negara, seperti Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap merugikan rakyat Indonesia dan hanya menguntungkan sebagian kecil.
Isu modal asing dimunculkan pada saat unjuk rasa mahasiswa terhadap kunjungan ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) Jan P. Pronk pada November 1973. Mahasiswa merespons kunjungan ini dengan demonstrasi di Bandara Kemayoran Jakarta. IGGI, lembaga pemodal asing yang dipelopori oleh Amerika Serikat, menjadi sorotan mahasiswa yang semakin memprotes kebijakan modal asing.
Aksi ujuk rasa mencapai puncaknya ketika perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei berkunjung ke Indonesia pada 14-17 Januari 1974. Demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan elemen sipil di berbagai kota menentang campur tangan Jepang dalam ekonomi Indonesia. Pembakaran boneka yang menggambarkan tokoh-tokoh kontroversial memicu kerusuhan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pada 15 Januari, mahasiswa berkumpul di Fakultas Kedokteran UI, menyusun tuntutan, dan bergerak ke Monumen Nasional di Lapangan Merdeka. Massa bertambah, menurunkan bendera penyambutan tamu negara, dan menyatakan duka cita atas kedatangan Tanaka. Demonstrasi berubah menjadi kerusuhan, dengan pembakaran dan penjarahan.
Kerusuhan Malari menimbulkan kerugian besar, termasuk kebakaran kompleks pertokohan Senen, kerusakan mobil dan bangunan, serta korban jiwa dan luka. Pascakejadian ini, penangkapan terhadap aktivis mahasiswa meningkat, dan beberapa koran ditutup oleh pemerintah sebagai tanggapan terhadap kejadian tersebut.
Banyak spekulasi muncul mengenai dalang di balik kerusuhan Malari. Dugaan konflik antara dua faksi militer yang bersaing, yaitu kepala opsus Ali Murtopo dan Pangkokantib Jenderal Soemitro, menjadi perhatian. Mereka diduga bersaing memperebutkan pengaruh, dan Malari dianggap sebagai bentuk reaksi mereka terhadap gerakan mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Setelah peristiwa Malari, rezim Soeharto merespons dengan represi yang lebih intensif terhadap mahasiswa. Kampus-kampus di depolitisasi dan pengawasan terhadap organisasi mahasiswa semakin ketat. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Pemerintah No. 028/1974 untuk memberi wewenang lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi dalam mengontrol mahasiswa.
Foto: Dokumen Pribadi
Rezim Orde Baru berupaya keras membungkam suara kritis mahasiswa dengan membatasi aktivitas politik mereka. Kontrol terhadap Dewan Mahasiswa (DM) dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) semakin diperketat. Pers mahasiswa diawasi oleh Menteri Penerangan, dan organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan partai diwajibkan untuk bergabung menjadi satu organisasi yang diatur oleh pemerintah.
Orde Baru juga tidak ragu untuk menangkap, menjebloskan ke penjara, atau memberikan stigmatisasi politis kepada tokoh-tokoh dan kelompok sipil yang bersikap kritis terhadap pemerintah atau berani mengkritik kebijakan bisnis atau politik keluarga dan kerabat Soeharto.
ADVERTISEMENT
Kendati peristiwa Malari telah berlalu, namun memiliki implikasi luas dalam sejarah dan meninggalkan bekas dalam dinamika politik Indonesia. Represi terhadap suara kritis memengaruhi perkembangan politik dan masyarakat, menciptakan periode otoriter yang membentuk narasi sejarah Indonesia pasca-Malari.
Sebagaimana yang telah terjadi, pemerintahan Orde Baru beroperasi hampir tanpa kendali yang signifikan dari parlemen atau kelompok masyarakat. Pendekatan rezim yang anti kritik dan mengabaikan kontrol menyebabkan munculnya penyalahgunaan kekuasaan, seperti KKN dan praktik-praktik yang tidak sesuai dalam administrasi pemerintahan. Di sektor ekonomi, upaya pembangunan nasional tidak merata dan gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Meskipun peristiwa Malari telah berlalu 50 tahun, kita harus mengingat bahwa perjuangan melawan kekuasaan adalah juga perjuangan untuk mempertahankan ingatan dan menghindari kelupaan. Mengutip Milan Kundera, "Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan kelupaan". Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap kritis dan tidak melupakan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, agar kita dapat belajar dari masa lalu dan mencegah terulangnya hal-hal yang tidak diinginkan di masa depan.
ADVERTISEMENT
Selain dari pada itu, dengan ingatan kolektif akan sejarah kekuasaan yang korup dan lalim, kita mestinya menyatukan simpul perlawanan untuk melawan hegemoni dan propaganda maupun kuasa represif penguasa.