Angket, Angkot, dan Angkut: Usulan Penyelidikan Kecurangan Pemilu 2024

Helenerius Ajo Leda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
23 Februari 2024 13:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helenerius Ajo Leda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
DPR menggelar rapat paripurna penutupan masa persidangan III tahun 2023-2024 di DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (6/2/2024). Foto: Zamachsyari/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
DPR menggelar rapat paripurna penutupan masa persidangan III tahun 2023-2024 di DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (6/2/2024). Foto: Zamachsyari/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Lantaran karena dugaan atas pelaksanaan Pilpres yang sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), Capres nomor urut 3 Ganjar-Mahfud mendorong partai pengusungnya (PDIP dan PPP) untuk mengusulkan hak angket dugaan kecurangan Pilpres 2024 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
ADVERTISEMENT
Menurut mereka dengan hak angket, DPR dapat menyelidiki lebih lanjut dan meminta pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan penyelenggaraan Pilpres 2024.
Wacana hak angket ini kemudian menjadi trending topik dan mengundang polemik, mulai dari politisi, pengamat politik, maupun netizen di jagat maya. Setidaknya dapat dipetakan dua perspektif yakni, perspektif pendukung (pro) hak angket dan perspektif penolak (kontra) hak angket.
Sebagian pihak yang pro pada umumnya adalah kalangan politisi PDIP dan pendukung Ganjar-Mahfud. Mereka menuntut keadilan demokrasi melalui hak angket. Mereka menunding penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) telah diam dan mendiamkan praktik kecurangan pemilu, karenanya KPU dan Bawaslu harus bertanggung jawab atas kinerja mereka dalam menyelenggarakan dan pengawasan pemilu.
ADVERTISEMENT
Menurut mereka, hak angket DPR dapat menjadi sarana untuk penyelidikan terhadap akuntabilitas lembaga-lembaga tersebut dan memastikan bahwa hasil pemilihan umum secara adil dan transparan, sehingga integritas demokrasi dapat ditegakkan kembali.
Sedangkan kalangan yang kontra, yang pada umumnya adalah pembela pemerintah dan pendukung Capres nomor urut 2 Prabowo-Gibran, menyoroti bukti kecurangan pilpres. Mereka mempertanyakan soal bukti-bukti kecurangan yang terjadi. Mereka juga menyoroti mekanisme penyelesaian masalah pemilu yang seharusnya melalui Mahkamah Konstitusi (MK) bukan dengan menggunakan hak angket DPR.
Meskipun Presiden Joko Widodo merespons wacana hak angket sebagai hak demokrasi, namun gestur penolakan hak angket dapat kita baca dari taktik politik akomodif ala Jokowi yang ingin menjadi jembatan untuk semuanya.
Wacana hak angket juga disoroti oleh sebagian pengamat politik yang menyinggung soal peta politik. Melalui hitung-hitungan statistik hasil pemilu, para pengamat menyatakan bahwa dari total 575 jumlah kursi DPR periode 2019-2024, PDIP mendominasi dengan jumlah 128 kursi (19,33%), lalu disusul Golkar 85 kursi (12,31%), dan Gerindra 78 kursi (12,57%). Setelah itu, Partai NasDem 59 kursi (9,05%), PKB 58 kursi (9,69%), Partai Demokrat 54 kursi (7,7%), PKS 50 kursi (8,21%), PAN 44 kursi (6,84%), dan PPP 19 kursi (4,52%).
ADVERTISEMENT
Dari angka-angka itu, total dukungan koalisi partai pendukung Anies-Cak Imin di DPR adalah 167 kursi (29,04%), sedangkan Koalisi Prabowo-Gibran sebesar 261 kursi (45,39%). Sementara, Koalisi Ganjar-Mahfud sebanyak 147 kursi (25,56%).
Artinya, menurut para pengamat politik, hak angket dapat berjalan mulus jika kubu 01 dan 03 secara solid bersatu. Namun peta politik bisa saja berubah, lawan politik Prabowo-Gibran seperti Partai Nasdem dan PKB masih bisa berpaling, selain karena taktik merangkul lawan politik yang dilakukan Jokowi, Partai Nasdem dan PKB selalu mengambil posisi cari aman dan takut beroposisi.
Meskipun PDIP, PPP dan PKS tetap solid mengajukan hak angket DPR, dan meskipun juga potensi dukungan hak angket ketiga partai tersebut sesuai syarat wajib minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi. Namun usulan hak angket diterima jika mendapatkan persetujuan dalam rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR. Kondisi inilah yang membuat peluang usulan angket sangat sulit terwujud.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari pengamat politik, hitung-hitung menggenapi kalimat “aku beropini maka aku ada”, saya berupaya ikut urun angan dan nimbrung beropini. Menurut penulis, usulan hak angket memicu ketegangan politik pasca pemilu 2024, menjadi ujian bagi konsistensi partai politik, juga membongkar watak asli dari elite politik.
Pro-kontra wacana hak angket memperlihatkan kompleksitas dan dinamika politik tanah air yang cukup dinamis. Keberhasilan ataupun kegagalan wacana hak angket DPR tergantung dari praktik "politik angkot" dan praktik "politik angkut" masing-masing kubu yang berseberangan.
Politik angkot dan politik angkut mengacu pada praktik politik di mana tokoh-tokoh politik dan partai politik atau kelompok kepentingan menggunakan berbagai cara untuk memperoleh dukungan politik. Jokowi dan Prabowo sebagai pihak yang disasar telah memainkan peran politik angkot dan politik angkut.
ADVERTISEMENT
Mereka turun gunung seperti angkutan kota merangkul lawan politik. Mereka juga akan menggunakan kekuasaan politik atau pengaruh mereka untuk menghambat atau menghalangi proses usulan hak angket.
Begitupun dengan Anies Baswedan yang disinyalir telah ditinggalkan Nasdem dan Surya Paloh, merapat bersama Ganjar-Mahfud dan juga disinyalir mereka tengah mendulang dukungan dari kekuatan masyarakat (people power).
Jika apabila kemudian melalui hak angket berhasil membongkar kotak pandora kecurangan pemilu dan menggagalkan kemenangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo-Gibran, maka narasi kampanye "Salam 4 Jari" yang viral tempo hari memenangi perkara ini.
Apakah hal tersebut bakal terjadi dan berhasil?, tergantung "politik angkot" dan "politik angkut" kubu pro hak angket. Akan tetapi faktanya gaung hak angket tidak muncul di akar rumput, hanya di tingkat elite politik. Meskipun di berbagai media sosial terdengar gelora dukungan hak angket dari netizen, namun belum menjadi “tuntunan” yang berarti.
ADVERTISEMENT
Akhirnya di tengah praktik politik angkot dan politik angkut wacana hak angket ini, tengah mengisyaratkan bahwa para elite politik sedang mementaskan seni pertunjukan, sedangkan rakyat dipermainkan seperti layang-layang di atas udara kekuasaan sekelompok kecil elite.