Dibalik Kemudi Sopir Bus Kota

Hent AjoLeda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
18 Mei 2024 19:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas memeriksa bagian dalam bus pasca kecelakaan yang menewaskan 11 orang, menurut polisi setempat, di Subang, Jawa Barat (11/5/2024). Foto: Timur Matahari / AFP. Sumber Gambar: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Petugas memeriksa bagian dalam bus pasca kecelakaan yang menewaskan 11 orang, menurut polisi setempat, di Subang, Jawa Barat (11/5/2024). Foto: Timur Matahari / AFP. Sumber Gambar: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bus telah menjadi ikon transportasi publik, sekaligus sebagai simbol dari kehidupan yang akrab bagi masyarakat urban  yang dinamis. Dengan rute yang mencakup berbagai penjuru kota, bus menyediakan aksesibilitas yang vital bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Keberadaan bus memfasilitasi mobilitas warga yang bekerja, bersekolah, berwisata atau berbisnis.
ADVERTISEMENT
Selain fungsinya sebagai sarana transportasi, bus juga mencerminkan karakteristik sosial-ekonomi masyarakat. Dengan tarif yang relatif terjangkau, bus menjadi pilihan utama bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Mereka yang sehari-harinya harus berjuang menghadapi kerasnya kehidupan kota besar, menggantungkan sebagian besar mobilitas mereka pada bus ini.
Di balik perannya yang penting, roda bus yang melaju kencang dijalanan kota tidak luput dari berbagai masalah. Salah satu isu utama adalah perilaku pengemudi yang sering kali mengemudi dengan sembrono. Mereka dikenal dengan kebiasaan ngebut, menyalip kendaraan lain secara agresif, dan membawa penumpang melebihi kapasitas,  serta sering kali melanggar aturan lalu lintas. Kebiasaan ini tidak hanya membahayakan keselamatan penumpang tetapi juga pengguna jalan lainnya.
Kondisi fisik bus ini juga kadangkala menjadi perhatian serius. Banyak unit bus yang sudah berusia tua dan tidak lagi layak jalan. Masalah teknis seperti rem yang tidak berfungsi dengan baik, besi yang berkarat dan berlubang, serta mesin yang sering mogok menjadi pemandangan umum.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini tidak hanya menambah risiko kecelakaan tetapi juga menurunkan kenyamanan dan keamanan bagi penumpang. Kecelakaan yang melibatkan bus atau sejenisnya bukanlah hal yang jarang terjadi dan sering kali berujung pada korban jiwa dan luka-luka.
Kasus kecelakaan yang terbaru adalah kecelakaan study tour bus Trans Putera Fajar yang membawa rombongan siswa SMK Lingga Kencana mengalami kecelakaan di Subang, Jawa Barat, pada 11 Mei 2024.  Kecelakaan ini mengakibatkan 11 orang meninggal dan beberapa orang lainnya mengalami luka-luka.
Kasus kecelakaan ini menambah daftar panjang rentetan kecelakaan bus dalam beberapa tahun terakhir. Sebagaimana dilaporkan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) moda transportasi angkutan jalan raya mencatatkan jumlah kecelakaan lebih dari 10 peristiwa setiap tahunnya sejak 2020.
ADVERTISEMENT
Ada tiga jenis kecelakaan jalan raya yang menimpa moda tersebut menurut catatan KNKT, yakni tabrakan, terbakar, serta terguling (https://data.tempo.co,  14 Mei 2024). Moda angkutan jalan raya menyumbang jumlah korban meninggal dan luka-luka terbanyak. Di tahun 2024, KNKT mencatat ada 12 korban tewas akibat kecelakaan angkutan jalan raya. Rekor jumlah korban tewas tertinggi kecelakaan jalan raya dicatatkan tahun 2022, yakni hingga 104 korban jiwa (https://data.tempo.co,  14 Mei 2024).
Kasus-kasus kecelakaan tragis yang menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, menjadi bukti nyata akan sejumlah masalah terkait buruknya sistem transportasi darat di Indonesia, yang berkaitan dengan tanggung jawab sopir, kelalaian perusahaan bus, kurangnya pengawasan pemerintah, serta perlunya tindakan dan regulasi yang lebih ketat.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, buruknya kualitas transportasi publik di Indonesia umum diketahui oleh publik, namun penelitian mendalam mengenai sistem pengoperasian bus dan kondisi kerja sopir masih minim.
Kajian Alnick Nathan (2019) menunjukkan,mayoritas studi tentang masalah transportasi perkotaan lebih berfokus pada isu-isu tentang persepsi penumpang sebagai konsumen transportasi publik (Joewono et al, 2015, Susilo et al, 2015), atau pada isu kepuasan pengguna layanan transportasi (Sa'diah et, al, 2024) dan kualitas pegawai layanan transportasi publik (Prayoga et al, 2015).
Menurut Alnick Nathan (2019), kurangnya penelitian yang mendalami terkait mekanisme dan cara kerja perusahaan bus memperumit upaya perbaikan kualitas transportasi publik di Indonesia. Padahal, pemahaman mengenai manajemen tata kelola perusahaan bus yang berkaitan dengan ralasi kerja sopir dalam pengoperasian bus-bus kota sangat penting, mengingat keselamatan penumpang sangat bergantung pada kendali kemudi para sopir bus.
ADVERTISEMENT
Sopir Bus: Pekerja Transportasi Informal
Sopir sering kali menjadi pihak yang paling rentan disalahkan dan dianggap sebagai penyebab utama kecelakaan bus. Itulah kenyataan yang selalu kita temui jika setiap kali terjadi kecelakaan bus dan atau angkutan umum.
Sebagaimana yang terjadi pada sopir bus Trans Putera Fajar, Sadira (50) yang pada akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kecelakaan rombongan SMK Lingga Kencana.
Sadira dinyatakan bersalah karena,  terbukti lalai mengendarai bus dengan memaksakan bus untuk jalan meski mengetahui sudah rusak dan tak layak jalan (https://www.kompas.com, 15 Mei 2024).
Kemudian dari hasil pemeriksaan polisi, Sadira bukan karyawan resmi perusahaan otobus (PO), melainkan freelance. Berdasarkan interview Dirlantas Polda Jawa Barat Kombes Wibowo dengan Sadira bahwa ia bukan karyawan tetap, tapi karyawan freelance yang dipekerjakan oleh perusahaan apabila sewaktu waktu sopir di perusahaan itu habis (https://news.detik.com, 16 Mei 2024).
ADVERTISEMENT
Pekerja freelance adalah individu yang bekerja untuk perusahaan tanpa ikatan peraturan yang mengikat seperti halnya karyawan tetap. Saat ini, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi freelancer, termasuk menjadi sopir.
Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah pekerja lepas meningkat hingga 26% setiap tahunnya. Peningkatan ini terutama terjadi selama pandemi, ketika banyak orang kehilangan pekerjaan formal dan beralih ke peluang sebagai freelancer (https://www.bps.go.id, 2024).
Kajian Alnick Nathan (2019) mengenai relasi kerja informal sopir bus Metromini dan Kopaja di Jakarta mengungkapkan bahwa hubungan kerja antara pemilik dan pekerja bus, juga seperti Sadira yang adalah karyawan freelance bersifat informal, tanpa kontrak atau kepastian kerja yang jelas. Pemilik bus mempekerjakan sopir melalui perjanjian informal tentang setoran harian yang harus dibayar sebagai biaya sewa bus.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada karya Matteo Rizzo (2017), Alnick Nathan (2019) menjelaskan bahwa sistem kerja tanpa kontrak membuat pekerja bus, baik sopir maupun kondektur, berada dalam posisi rentan. Pengaturan informal ini menguntungkan pemilik bus dengan mengalihkan risiko bisnis sepenuhnya kepada pekerja. Sopir bus mengalami "pemerasan finansial" karena mereka harus menanggung biaya operasional bus, termasuk setoran harian, bensin, dan perawatan (Nathan, 2019).
Akibatnya, sopir bus terpaksa mencari cara untuk memaksimalkan pendapatan harian mereka, termasuk memperpanjang jam kerja hingga 12 jam per hari, melanggar aturan lalu lintas, mengemudi dengan cepat, dan menyalip kendaraan lain, serta membawa penumpang sebanyak mungkin. Mereka juga merawat bus-bus tua dengan seadanya. Perilaku ini harus dipahami sebagai upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup (Nathan, 2019).
ADVERTISEMENT
Kondisi ini menyebabkan perilaku sopir bus di jalanan menjadi berisiko dengan kondisi bus menjadi tidak layak, membuat transportasi publik seperti bus Trans Putera Fajar menjadi pilihan utama masyarakat. Kondisi transportasi publik yang tidak memadai ini merupakan konsekuensi dari relasi kerja informal yang menjerat dan memeras sopir-sopir bus.
Oleh karena itu, dengan memperbaiki kerentanan para sopir bus akibat relasi kerja informal, perlu adanya langkah-langkah konkret seperti penerapan kontrak kerja yang jelas dan perlindungan hukum yang kuat bagi para pekerja. Ini termasuk penetapan upah minimum, jam kerja yang wajar, serta perlindungan terhadap hak-hak buruh.
Sembari tidak mengabaikan pengawasan terhadap kelayakan jalan bus dalam sistem regulasi transportasi dan menutup pintu bagi praktik korupsi dan pemalsuan dokumen transportasi. Pemerintah perlu penegakan hukum terhadap perusahaan transportasi yang melanggar regulasi. Sanksi yang lebih tegas dan relevan harus diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelanggar. Kerjasama antara berbagai lembaga terkait seperti polisi, dinas perhubungan, dan Kementerian Perhubungan untuk melakukan penertiban yang lebih efektif terhadap bus di jalan raya.
ADVERTISEMENT