Jalur Sepeda dan Kontestasi Politik Tata Ruang Kota

Hent AjoLeda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
16 Mei 2024 11:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi jalur sepeda di DKI Jakarta, Rabu (7/62023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi jalur sepeda di DKI Jakarta, Rabu (7/62023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sepeda sebagai alat transportasi ramah lingkungan yang sempat menjadi tren selama masa pandemi COVID-19, kini menjadi sorotan dalam diskusi tentang tata ruang kota dan kebijakan transportasi.
ADVERTISEMENT
Meskipun tren bersepeda sempat melonjak, pertanyaan utama yang muncul adalah apakah masyarakat masih mempertahankan kebiasaan bersepeda dan apakah infrastruktur kota mendukung aktivitas ini.
Selama pandemi, bersepeda menjadi alternatif transportasi yang aman dan sehat untuk menghindari kerumunan dan menjaga jarak fisik.
Seiring dengan pelonggaran pembatasan dan kembalinya aktivitas normal, tren bersepeda di banyak kota mulai menurun. Meskipun demikian, sejumlah individu dan komunitas tetap mempertahankan kebiasaan bersepeda, baik untuk tujuan rekreasi maupun transportasi harian.
Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan faktor kunci untuk mendorong budaya bersepeda di perkotaan. Jalur sepeda yang aman, lalu lintas yang ramah terhadap pesepeda, dan fasilitas parkir sepeda sangat penting untuk menarik minat masyarakat dalam menggunakan sepeda sebagai moda transportasi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, jalur sepeda telah berkembang sebagai infrastruktur transportasi yang bertujuan mengurangi polusi dan kemacetan. Berbagai kota seperti Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Malang dan Bandung telah membangun jalur sepeda yang ramah dan menarik bagi pengguna.
Contohnya, Jakarta telah memiliki jalur sepeda sepanjang 313,607 kilometer, dengan rencana penambahan hingga 535,68 kilometer pada tahun 2026. Jalur ini telah dibangun sejak 2012 dan telah mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMD) 2017-2022 sepanjang 252,1 kilometer (https://news.detik.com, 09 November 2023).
Selain Jakarta, kota-kota lain juga memiliki jalur sepeda yang ramah, biasanya di sekitar kawasan wisata seperti Kota Tua, Monumen Nasional, Taman Margasatwa Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, dan Kawasan Pantai Indah Kapuk (https://blog.rodalink.com, 18 Agustus 2021).
ADVERTISEMENT
Sayangnya, banyak kota masih tertinggal dalam menyediakan infrastruktur jalur sepeda yang memadai, membuat pesepeda merasa tidak aman dan rentan terhadap bahaya lalu lintas.
Selain itu, pengembangan jalur sepeda justru menuai kontroversi dan kritik. Berbagai sumber menunjukkan bahwa banyak pihak mengkritik jalur sepeda yang dibangun dengan beberapa alasan, seperti penggunaan ruang jalan yang berlebihan, pembatas yang tidak efektif, kurangnya penggunaan jalur tersebut oleh masyarakat dan masih terjadi pelanggaran seperti penggunaan jalur sepeda untuk tempat parkir kendaraan atau tukang becak yang menggunakan jalur sepeda yang seharusnya untuk sepeda (https://www.kompas.id, 16 Juni 2023).
Kritik lain juga muncul bahwa, daripada menambah jalur sepeda, lebih baik fokus pada perbaikan sistem transportasi umum yang sudah tidak memadai dan tidak terintegrasi. Untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, harus sejalan dengan pembangunan transportasi umum yang memadai yang akan menjadi tulang punggung mobilitas perkotaan (https://www.liputan6.com, 21 Juni 2023).
ADVERTISEMENT
Kritikan terkait pengembangan jalur sepeda tersebut menunjukkan bahwa tengah terjadi kontestasi politik tata ruang kota.

Jalur Sepeda dan Kontestasi Politik Tata Ruang Kota

Kontestasi politik tata ruang kota adalah konflik yang terjadi antara aktor-aktor yang berbeda dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang di wilayah kota, yang dapat dipahami sebagai penanda adanya relasi kuasa dan kepentingan ekonomi-politik.
Studi-studi para sarjana terdahulu mencontohkan bahwa, kontestasi ini dapat terjadi antara pemerintah kota dengan pelaku PKL (Pedagang Kaki Lima), antara pemerintah dengan investor atau pengusaha, antara pemerintah dengan masyarakat, atau antara para pengguna jalan dan lain-lain.
Dalam konteks pengembangan infrastruktur bersepeda seringkali terhambat oleh kontestasi ruang di perkotaan. Berbagai kepentingan, seperti kebutuhan lahan untuk pembangunan gedung, infrastruktur jalan raya, dan parkir kendaraan bermotor, seringkali berbenturan dengan upaya untuk menyediakan jalur sepeda yang nyaman dan aman sebagai moda transportasi yang lebih ramah lingkungan dan sehat.
ADVERTISEMENT
Kontestasi semacam ini menghambat pembangunan infrastruktur bersepeda, karena berbagai kepentingan tersebut saling bersaing untuk mendapatkan prioritas dalam penggunaan ruang kota.
Dalam kacamata Henri Lefebvre (2000), kontestasi semacam ini kemudian melahirkan eksklusi spasial, di mana individu atau kelompok masyarakat tidak memiliki akses atau tidak dapat berpartisipasi secara efektif dalam penggunaan dan pengelolaan ruang fisik, seperti tempat tinggal, tempat kerja, atau fasilitas umum, karena adanya batasan-batasan yang tidak adil atau diskriminatif.
Dalam konteks ini, kontestasi politik tata kota kemudian dapat mempengaruhi masyarakat secara signifikan, terutama bagi masyarakat pesepeda. Sebab, pengguna jalan yang dominan adalah pengendara motor dan mobil, sehingga keberadaan jalur sepeda sering dianggap mengganggu.
Selain itu juga, investor dan pengusaha juga mungkin melihat pembangunan jalur sepeda sebagai pengurangan ruang untuk kepentingan komersial mereka. Hal ini kemudian menciptakan konflik kepentingan antara memprioritaskan moda transportasi berkelanjutan atau menjaga keuntungan ekonomi.
ADVERTISEMENT
Dengan terhambatnya pembangunan infrastruktur bersepeda maka lahirlah eksklusi spasial bagi pesepeda. Di mana pilihan moda transportasi yang ramah lingkungan dan sehat menjadi terbatas. Selain itu, ketidaknyamanan dan ketidakamanan dalam bersepeda kemudian menjadi hambatan bagi masyarakat untuk beralih ke sepeda sebagai alternatif transportasi.
Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dan intervensi yang lebih aktif dari pemerintah dan semua stakeholders untuk mengadvokasi kepentingan bersama dalam pengelolaan ruang kota dan menghindari hegemoni dan eksklusi spasial.
Upaya ini perlu dilakukan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya, sehingga melahirkan kebijakan tata ruang kota yang komprehensif dan visi jangka panjang untuk mengintegrasikan berbagai moda transportasi secara harmonis.