Kisah Kelam PMI: Berlayar ke Negeri Orang Hanya untuk Disiksa

Helenerius Ajo Leda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
23 Maret 2024 11:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helenerius Ajo Leda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
127 TKI ilegal terdampar di Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Foto: Polres Deli Serdang
zoom-in-whitePerbesar
127 TKI ilegal terdampar di Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Foto: Polres Deli Serdang
ADVERTISEMENT
Tragedi kekerasan yang menimpa Pekerja Migran Indonesia (PMI) seringkali menjadi sorotan yang menggugah hati.
ADVERTISEMENT
Darmawati, seorang PMI asal Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, yang mengaku disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Melalui video yang diunggahnya di platform media sosial TikTok @darmawaty9708, mengungkapkan bahwa disiksa oleh anak majikannya dengan cara ditendang, dipukul, bahkan diancam untuk dipotong lidahnya jika berani membuka suara. Sangat mengejutkan, keluargan Darmawati di kampung baru mengetahui pekerjaannya di Arab Saudi satu bulan kemudian.
Darmawati bukanlah satu-satunya korban kekerasan dari tragedi pekerja migran dalam sejarah republik ini, begitu juga tragedi Darmawati bukanlah kejadian terisolasi melainkan simbol yang menggugah kesadaran akan sistem kerja yang rentan terhadap perdagangan orang (TPPO).
Banyak kisah serupa yang menjadi simbol dari sistem ketenagakerjaan yang rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan terhadap PMI, terutama terjadi karena jalur penempatan tenaga kerja migran secara illegal.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, para korban sering kali direkrut dengan janji-janji palsu, semisalnya dengan gaji yang tinggi, fasilitas terpenuhi dan kebutuhan hidup yang tercukupi. Namun janji tersebut tidak terpenuhi saat sampai negara tujuan.

Migrasi Tenaga Kerja Non Prosedural (Unprocedural)

Migrasi merupakan pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain, baik melintasi batas politik negara maupun batas administratif di dalam suatu negara. Faktor-faktor yang memengaruhi keputusan migrasi termasuk kesempatan kerja dan pencarian kehidupan yang lebih baik.  Data BP2MI melaporkan, jumlah penempatan pekerja migran sepanjang 2023 sebesar 250.000 pekerja (Kompas.id, 6 Juni 2023).
Migrasi tenaga kerja berkontribusi pada ekonomi negara pengirim dan tujuan melalui peningkatan jumlah pekerja dan pengiriman uang. Mereka sering dinobatkan sebagai pahlawan devisa melalui remitrasi.
ADVERTISEMENT
Mengutip data Bank Indonesia (kompas.id, 29 Desember 2023) bahwa  total remitansi oleh Pekerja Migran Indonesia (PMI) selama periode 2022 adalah sebesar 9,71 miliar dolar AS. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelum pandemi Covid-19 pada tahun 2019, yang mencapai 11,44 miliar dolar AS.
Pada kuartal III-2023, remitansi yang tercatat mencapai 2,73 miliar dolar AS, meningkat 11,5 persen secara tahunan. Secara tahun kalender hingga kuartal III-2023, sumbangan devisa melalui remitansi PMI telah mencapai 7,97 miliar dolar AS, meningkat 11,1 persen dibanding periode yang sama tahun 2022.
Meskipun memberikan peluang ekonomi dan kesempatan kerja, migrasi tenaga kerja juga membawa risiko serius seperti penipuan, eksploitasi, kekerasan, dan kecelakaan. Risiko ini sering kali terjadi ketika pekerja migran tidak mengikuti prosedur resmi atau hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Migrasi non prosedural terjadi ketika seseorang masuk ke negara tujuan melalui jalur yang tidak sah atau tanpa izin resmi, termasuk visa, dokumen perjalanan, atau izin tinggal.
Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menyebut bahwa masih banyak calon PMI yang berangkat melalui jalur tidak sesuai prosedur (unprocedural) yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan menggunakan jenis visa di luar visa kerja, seperti visa perjalanan ibadah, visa pelancong dan jenis visa lainnya.
Menurut Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani, hasil studi Bank Dunia pada tahun 2017 menyatakan bahwa terdapat sekitar 9 juta pekerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri. Namun, data resmi BP2MI mencatat jumlah mereka hanya sekitar 4,6 juta orang. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar dari mereka bekerja di luar negeri secara tidak resmi atau tanpa melalui prosedur (Unprocedural).
ADVERTISEMENT
Migrasi tenaga kerja non prosedural (Unprocedural) menjadi isu penting karena berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial, dan politik. Selain itu, migrasi non prosedural membawa risiko terhadap keselamatan dan perlindungan migran, seperti kondisi kerja berbahaya, eksploitasi, dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk perdagangan manusia. Sebagai mana dialami oleh Darmawati dan lainnya.
Penelitian penulis pada tahun 2023 di Kabupaten Ende-NTT, menunjukkan bahwa, terjadinya migrasi non procedural karena pola dan budaya migrasi masyarakat ke keluar negeri melalui jalur non procedural dianggap lebih cepat, praktis, efisien dan efektif, sehingga masyarakat masih enggan mencari peluang kerja ke luar negeri melalui jalur resmi yang disediakan pemerintah atau lembaga penempatan swasta yang legal, karena dianggap terlalu berbelit-belit dan rumit. Selain itu, masifnya calo perekrutan illegal yang mencari tenaga kerja dengan berbagai modus operandi di tengah pragmatisme masyarakat pencari kerja (Leda, 2023).
ADVERTISEMENT
Di Kabupaten Ende, sebagaimana data investigasi oleh KKP-PMP-SGPP KAE dan Divisi Migran dan Perantau KWI, bahwa terdapat lebih dari 15.000 ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Kabupaten Ende yang bekerja di luar negeri atau diperantauan.
Dari jumlah tersebut hanya 0,1% yang memiliki dokumen resmi, sementara 99,9% tidak memiliki dokumen resmi atau non prosedural. Mirisnya lagi, sebagian besar pekerja migran memiliki tingkat pendidikan yang rendah, khususnya lulusan sekolah dasar (Piperno, 2022).
Tingkat pendidikan yang rendah mengindikasikan kurangnya keterampilan yang spesifik, dan tidak mengherankan jika mereka bekerja di sektor-sektor yang membutuhkan sedikit keterampilan, seperti perkebunan kelapa sawit, perkebunan sayur atau buah-buahan, peternakan, buruh bangunan, pertambakan udang, dan sektor-sektor pekerjaan kasar lainnya.
Akibatnya mereka terjebak dalam praktik perdagangan manusia atau human trafficking, eksploitasi, kekerasan seksual, kecelakaan yang berujung kematian.
ADVERTISEMENT
Di samping banyaknya pekerja migran non prosedural yang ke luar negeri, juga banyak pekerja migran asal Ende yang pulang dengan kondisi sakit parah (lumpuh, amnesia) dan membawa penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS, cacat, bahkan ada yang kembali dalam keadaan meninggal dunia.
Pada tahun 2019 berjumlah 19 orang PMI asal Kabupaten Ende yang kembali dalam kondisi meninggal. Pada tahun 2020 sebanyak 21 orang yang meninggal, tahun 2021 sebanyak 24 orang dan hingga akhir Desember tahun 2022 adan 21 orang yang meninggal (Piperno, 2022).

Memperkuat Pendekatan Perlindungan PMI

Di balik cerita tragis yang dialami Darmawati dan sekian juta pekerja migran menjadi sebuah tamparan bagi pemerintah, dan perlu dipecahkan dengan serius.
Banyak PMI terjerumus ke dalam jalur ilegal karena tergiur oleh janji-janji palsu agen-agen yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai dan mudah menjadi sasaran eksploitasi oleh majikan di luar negeri. Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap agen-agen penempatan dan memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang risiko penempatan ilegal.
ADVERTISEMENT
Para pelaku perdagangan orang dan eksploitasi terhadap PMI harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemerintah harus memastikan bahwa sistem hukum di Indonesia efektif dalam menindak para pelaku kejahatan ini dan memberikan keadilan bagi para korban.
Pemerintah harus memastikan bahwa setiap PMI yang bekerja di luar negeri mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Hal ini termasuk prosedur penempatan yang transparan, pembekalan sebelum keberangkatan yang memadai, serta mekanisme penanganan darurat jika terjadi masalah di luar negeri.
Selain itu, pemerintah juga harus bekerja sama dengan negara tujuan untuk memastikan bahwa hak-hak PMI diakui dan dihormati. Berkolaborasi dengan lembaga pemerintah lainnya, organisasi non-pemerintah, lembaga internasional, sektor swasta, dan masyarakat lokal untuk meningkatkan kesadaran, edukasi, dan partisipasi dalam pencegahan migrasi illegal dan non prosedural.
ADVERTISEMENT
Hal penting juga adalah, masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang risiko dan konsekuensi dari penempatan ilegal serta pentingnya memilih agen penempatan yang tepercaya. Program-program edukasi dan sosialisasi juga perlu mengedukasi PMI tentang hak-hak mereka dan cara melindungi diri dari eksploitasi dan kekerasan di tempat kerja.
Tidak kalah pentingnya adalah pembangunan ekonomi dan peningkatan kesempatan kerja di dalam negeri. Banyak PMI berasal dari latar belakang ekonomi yang sulit, sehingga mereka terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga mereka di Indonesia.
Pemerintah perlu fokus pada pembangunan ekonomi yang inklusif dan peningkatan kesempatan kerja di dalam negeri agar orang-orang tidak terpaksa mencari nafkah di luar negeri. Semisalnya dengan melakukan reformasi agraria bagi petani dan masyarakat pedesaan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dalam menghadapi kompleksitas masalah ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak sebagai aksi kolektif. Penyelesaian masalah ini bukanlah hal yang mudah, namun dengan kerja keras dan komitmen yang kuat, kita dapat memastikan bahwa tragedi seperti yang dialami Darmawati tidak terulang kembali, sehingga terciptanya perlindungan bagi martabat manusia dan keadilan sosial kelas pekerja Indonesia.