Konten dari Pengguna

Kontroversi Netralitas Presiden

Hent AjoLeda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
1 Februari 2024 5:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Gambar: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Gambar: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Lantaran karena ucapan Presiden Jokowi bahwa, presiden atau pejabat publik boleh berkampaye asal tidak menggunakan fasilitas negara, memunculkan banyak penolakan dari berbagai kalangan. Penolakan tersebut karena mempersoalkan pada integritas kenegarawan presiden Jokowi. Meskipun kemudian Presiden Jokowi bersembunyi dibalik UU Pemilu Pasal 281 dan 299, ucapannya itu dinilai cukup tendensius.
ADVERTISEMENT
Saya coba menengok definisi singkat kampaye dalam UU Pemilu, diartikan sebagai serangkaian aktivitas atau kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Saya tengok lagi, definisi Peserta Pemilu adalah partai politik untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk pemilu Prisiden dan Wakil Presiden.
Memahami definisi kampanye dan siapa yang dianggap sebagai peserta pemilu sebagaimana termaktub daam UU Pemilu, cukup untuk menerangkan perihal untuk apa dan untuk siapa presiden berkampaye? sekaligus penting dalam menilai apakah tindakan presiden terkait berkampanye melanggar prinsip netralitas?
ADVERTISEMENT
Definisi diatas bahwa kampanye biasanya dilakukan oleh peserta pemilu, yang dalam konteks pilpres adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden. Jika presiden berkampanye untuk kepresidennya, tentu saja hal itu tidak masalah karena itu merupakan bagian dari proses kepemerintahan dan kenegaraan. Namun, jika presiden berkampanye untuk pasangan calon tertentu, hal itu dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang netralitasnya. Presiden seharusnya tidak menggunakan posisinya untuk mendukung secara terbuka atau tidak terbuka salah satu pasangan calon.
Presiden selaku kepala pemerintahan maupun kepala negara, pemimpin kekuasaan pemerintahan negara. Karena itu presiden adalah sebuah institus, yang sejatinya presiden berkampanye untuk kemaslahatan kepemerintahan dan kenegaraan, mencegah agar tidak terjadi polarisasi dan instabilitas politik kekuasaan. Jadi dalam konteks kontestasi kepresidenan ini, mestinya presiden berpihak pada semua calon pemimpin.
ADVERTISEMENT
Apakah demikian? Banyak pihak menyangsikan hal ini. Kesangsian masyarakat terkait netralitas presiden rupanya sudah muncul secara paten setelah putra sulung Presiden Jokowi mengumumkan pencalonannya sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo. Kesangsian publik yang terlanjur terluka akibat mekanisme putusan MK yang dibuat dramatis dengan warna dinasti politik dan politisasi.
Sejak saat itu sudah ada dugaan publik atas ketidaknetralan Jokowi dalam Pilpres 2024 ini. Cukup terbukti, dengan tendeng aling-aling rasionalisasi argumentatif Presiden, tidak menjaminan bagi Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara untuk tidak berkampaye bagi Prabowo-Gibran, menggunakan fasilitas negara, dan lebih dari itu kemungkinan untuk mempolitisasi birokrasi. Karena gestur politik Jokowi selama ini seakan kian menegaskan dukungan politiknya terhadap Prabowo yang berpasangan dengan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, di Pilpres 2024 (Kumparan.Com, 2024).
ADVERTISEMENT
Ucapannya itu juga dianggap sebagai bukti kesekian kalinya dari inkonsistensi Jokowi dalam bersikap. Padahal jika kita menengok jejak digital, Jokowi dalam acara pengarahan kepada para pejabat kepala daerah se Indonesia dan dalam agenda makan siang bersama tiga calon presiden, pernah menegaskan komitmennya untuk tidak berpihak pada pemilu presiden 2024. Ia juga menggaungkan petuah dan wejangan netral, khususnya untuk ASN, pada 1 November dan 30 Desember 2023 (Kumparan.com, 2024).
Pengalaman-pengelaman sebelumnya, baik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, terlihat banyaknya pejabat aparatur sipil negara (ASN) yang secara terang-terangan terlibat dalam politik praktis atau menjadi bagian dari tim sukses, berkampanye untuk mendukung kepentingan tertentu (kompas.id, 2023). Hal ini menyebabkan para pejabat publik dan birokrasi negara menjadi sarana bagi penguasa untuk memajukan agenda mereka secara jangka pendek. Oleh karena itu, kekhawatiran masyarakat terhadap netralitas dan integritas presiden sebagai pejabat publik memiliki dasar yang kuat.
ADVERTISEMENT
Sering terdengar kata orang-orang bijak bahwa, apa yang diomong itulah yang dibuat, apa yang dibuat itu lah yang diomong. Ucapan Presiden Jokowi adalah ujian bagi integritas dan suri teladan kenegarawannya, karena kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan tindakannya, apakah sesuai atau tidak dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dijunjung tinggi dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang kemudian menjadi uswatun hasanah bagi pejabat publik dan rakyat.