Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Manusia dalam Revolusi Digital: Eksistensi, Kebebasan dan Masalah di Era Klik
10 Juni 2024 12:22 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Media Sosial Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 10 Juni adalah momentum penting untuk merefleksikan peran media sosial dalam kehidupan kita.
ADVERTISEMENT
Dicetuskan oleh Handi Irawan, seorang pengusaha Indonesia, peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi masyarakat tentang penggunaan media sosial yang bijak.
Pada hari ini, masyarakat diharapkan berbagi hal-hal positif, pesan-pesan kebaikan, dan inspirasi bersama teman, keluarga, dan orang terdekat melalui media sosial.
Perayaan ini diharapkan dapat memotivasi kehidupan bermedia sosial yang lebih baik dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya bermedia sosial dengan bijak.
Di Indonesia, media sosial memainkan peran yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat, dengan penetrasi yang sangat tinggi setiap tahunnya. Laporan We Are Social menyebutkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 139 juta orang pada Januari 2024. Jumlah tersebut setara dengan 49,9% dari populasi di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Data yang sama juga menunjukkan, rata-rata, pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan waktu sekitar 3 jam 18 menit setiap hari. Dari segi demografi, Instagram memiliki jumlah pengguna aktif terbanyak di antara usia 16-64 tahun.
WhatsApp adalah aplikasi pesan instan yang paling banyak digunakan di Indonesia dengan 92,1% pengguna aktif. Instagram, platform berbagi foto dan video, juga sangat populer dengan 86,5% pengguna aktif.
Penggunaan yang meluas di berbagai kelompok usia, menunjukkan preferensi kuat terhadap platform digital yang menawarkan komunikasi dan berinteraksi secara instan dengan konten visual. Revolusi digital telah membawa perubahan besar dalam cara kita hidup dan bahkan memandang keberadaan kita sendiri.
Menggenapi judul buku "Aku klik maka aku ada" karya F. Budi Hardiman (2021) bahwa keberadaan kita diakui melalui interaksi digital. Aktivitas online kita menjadi cermin dari identitas kita, menentukan bagaimana kita dilihat dan diakui oleh dunia. Ini membuka diskusi tentang bagaimana kita memahami diri kita sendiri dan bagaimana kita dipahami oleh orang lain dalam konteks digital.
ADVERTISEMENT
Setiap tindakan yang kita lakukan secara online, baik itu mengirim email, memposting di media sosial, atau berbelanja online, semuanya berkontribusi pada identitas digital kita. Setiap klik, suka, atau komentar menambah dimensi baru pada siapa kita di mata dunia digital.
Sebagaimana ditulis Hardiman (2021), telepon cerdas (smartphone), PC, laptop, aplikasi digital dan konten visual, yang kita miliki bukan sekadar alat-alat atau perangkat kerja komunikasi, melainkan mewujudkan mode keberadaan kita yang baru. Disebutkan oleh Hardiman bahwa, "aku klik maka aku ada" sebagai mode of being manusia yang seolah menjadi salah satu kebenaran paling pasti saat ini.
Hal tersebut bermaksud menjelaskan bahwa, mode keberadaan kita telah bergeser, dan pernyataan "aku klik maka aku ada" mencerminkan realitas di mana keberadaan kita semakin diakui melalui jejak digital yang kita tinggalkan. Aktivitas online kita menjadi cerminan diri kita yang dilihat oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Namun jamak terjadi, dengan semakin meningkatnya ketergantungan pada identitas digital, muncul pula berbagai tantangan dan masalah. Kecanduan media sosial, tekanan untuk selalu online, dan keinginan untuk mendapatkan pengakuan digital dapat mengarah pada krisis identitas, gangguan kesehatan mental dan berbagai persoalan sosial lainnya.
Salah satu paradoks utama adalah bagaimana teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan kita justru sering kali menjebak kita dalam mode eksistensi yang kompleks dan terkadang absurd.
Realitas Virtual: Dunia Kedua yang Mengubah Segalanya
Dalam dunia yang semakin terhubung, realitas virtual menjadi elemen kunci dari identitas digital kita. Banyak dari kita menghabiskan waktu berjam-jam dalam ruang virtual, baik itu melalui media sosial, atau platform berbasis komunitas.
ADVERTISEMENT
Dalam ruang-ruang ini, kita dapat menciptakan dan mengelola identitas yang mungkin berbeda dari diri kita yang sebenarnya. Hal ini membuka peluang untuk ekspresi diri yang lebih bebas, namun juga bisa menimbulkan ketegangan antara identitas digital dan nyata.
Contohnya, di media sosial, kita cenderung menampilkan versi terbaik dari diri kita. Foto-foto yang diedit, cerita sukses, dan momen-momen bahagia sering kali mendominasi feed kita. Sementara itu, tantangan, kegagalan, dan kesulitan pribadi sering kali disembunyikan.
Banyak orang merasa tertekan untuk terus-menerus memeriksa ponsel mereka, merespons pesan secara instan, dan mengikuti perkembangan terbaru di media sosial. Ini menciptakan performa untuk terus mempertahankan citra ideal yang dapat menjadi beban emosional dan psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, hubungan sosial menjadi dangkal dan kurang bermakna, dan kita merasa lebih terisolasi meskipun secara teknis lebih terhubung dari sebelumnya. Dalam jangka panjang, hal ini tentunya akan mengganggu produktivitas dan kualitas hidup kita.
Isu serius terkait privasi dan keamanan, di mana identitas digital kita sering kali rentan terhadap pencurian data, peretasan, dan pelanggaran privasi. Setiap kali kita berinteraksi secara online, kita meninggalkan jejak digital yang dapat dilacak dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana data pribadi kita digunakan dan disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
Selain masalah kecanduan, privasi dan keamanan identitas digital, juga masalah penghinaan atau cyberbullying melalui media sosial semakin sering terjadi di Indonesia.
Penghinaan dan cyberbullying di media sosial seperti X, Instagram, YouTube, Facebook, dan lainnya bisa berupa status, komentar, dan postingan yang merendahkan nama baik seseorang.
Selain dampak hukum, psikologis dan kesehatan mental, penggunaan media sosial bisa menyebabkan dinamika konflik yang berujung merusak kualitas hubungan dan integrasi sosial.
Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan di Era Digital
Revolusi digital telah mengubah cara kita hidup, berinteraksi, dan memandang diri kita sendiri. Identitas kita kini tidak hanya ditentukan oleh siapa kita di dunia nyata, tetapi juga oleh aktivitas digital kita.
Revolusi digital juga tidak harus membuat kita terasingkan dari dunia sosial atau kecanduan yang kemudian berdampak pada perihal dekstruktif, tetapi bisa menjadi panggilan untuk menggunakan teknologi dengan cara yang memberdayakan dan memanusiakan manusia.
ADVERTISEMENT
Karenanya penting bagi kita untuk tetap kritis dan waspada terhadap dampak negatif dari revolusi digital. Kecanduan digital, tekanan sosial, privasi keamanan data dan masalah penghinaan atau cyberbullying adalah beberapa tantangan yang perlu disikapi secara bijak.
Meningkatkan literasi digital melalui pendidikan untuk memahami cara kerja media digital, mengenali informasi valid, berpikir sebelum membagikan informasi pribadi, dan memahami dampak konten yang diunggah merupakan cara menggunakan teknologi secara efektif dan bijak.
Pada akhirnya, revolusi digital memang menawarkan banyak peluang sekaligus ancaman, namun dengan kesadaran dan pendekatan yang bijaksana, kita dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkaya kehidupan kita tanpa kehilangan esensi siapa kita sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana Hardiman (2021) yang mengingatkan kita bahwa dalam era digital, penting untuk tetap waspada dan kritis terhadap penggunaan teknologi. Menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab adalah kunci untuk menghindari jebakan-jebakan yang dapat merusak identitas dan eksistensi kita.