Konten dari Pengguna

Pascapemilu 2024: Akankah Ada Oposisi Kuat?

Hent AjoLeda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
16 Februari 2024 15:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tinta di jari usai ikut Pemilu 2024. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menimbang hasil Quick Count yang menunjukkan perolehan suara pasangan calon Prabowo-Gibran lebih dari 56% suara, di samping tidak diikuti dengan perolehan suara partai-partai pendukung dalam pemilihan legislatif, disinyalir oleh sebagian pengamat akan membuka peluang bagi penguatan oposisi. Karena menurut mereka kekuatan oposisi akan lebih besar dari pada kekuatan eksekutif, di mana jumlah suara partai non pendukung Prabowo-Gibran lebih dari 50% (Kumparan, 2024).
ADVERTISEMENT
Sebagaimana data hitung cepat perolehan suara masing-masing partai koalisi, bahwa jumlah suara partai koalisi pengusung pasangan Anies-Muhaimin adalah kurang lebih 29 %, sedangkan partai koalisi pengusung Prabowo-Gibran memperoleh suara kurang lebih 48 %, sementara untuk partai pengusung Ganjar-Mahfud kurang lebih 22 %. Dengan menimbang potensi ketidakseimbangan hasil perolehan suara legislatif yang lebih besar dari pada eksekutif, maka kemungkinan akan bersatunya kedua kubu non pendukung Prabowo-Gibran, menjadi partai oposisi.
Berbeda dengan hasil pemilu 2019, di mana mayoritas partai politik pendukung pemerintah mendominasi di legislatif, yang kemudian memberikan kekuatan bagi eksekutif. Namun hasil pemilu 2024 ini, dengan berbekal hitungan sementara, maka partai oposisi akan memiliki pengaruh yang signifikan di parlemen.
Beberapa pengamat kemudian menakar bahwa, jika kekuatan partai oposisi melebihi kekuatan eksekutif dalam sebuah pemerintahan maka akan menciptakan dinamika politik yang sangat kompleks (Kumparan, 2024). Dalam konteks ini, pemerintah akan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam menjalankan kebijakan-kebijakan mereka, karena mereka tidak memiliki kendali penuh atas legislatif.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, proses pembuatan keputusan akan menjadi lebih rumit dan memerlukan negosiasi yang lebih intensif antara berbagai kepentingan politik. Partai oposisi, di sisi lain, akan memiliki lebih banyak pengaruh dalam menentukan arah kebijakan negara, baik melalui penghalangan terhadap agenda pemerintah yang mereka tidak setujui, maupun melalui upaya mereka untuk mempromosikan agenda mereka sendiri (Kumparan, 2024).
Pada titik ini akan muncul tarik menarik kepentingan, yang selebihnya dapat menciptakan medan politik yang lebih kompleks, dengan potensi ketegangan dan konflik antara pemerintah dan partai oposisi. Persaingan politik yang meningkat dapat menghambat kemampuan pemerintah untuk mencapai kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan kebijakan, dan bahkan dapat menyebabkan stagnasi atau kebuntuan dalam proses pembuatan keputusan.
ADVERTISEMENT
Meskipun hadirnya kekuatan oposisi yang signifikan juga dapat membawa dampak positif. Di mana oposis dapat berperan sebagai pengontrol jalannya pemerintahan, sembari memperkuat akuntabilitas dan transparansi dalam pengambilan keputusan, memastikan representasi yang seimbang dari berbagai kepentingan masyarakat (Kumparan, 2024).
Tafsiran dan analisa para pengamat di atas terhadap situasi dan dinamika politik tanah air, menurut penulis bisa saja melenceng. Karena sangat sulit untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. Karena mayoritas partai politik di Indonesia cenderung memiliki ideologi dan karakternya yang moderat, jika tidak berlebihan dikatakan oportunis serta bersifat pragmatis, sehingga perbedaan antara satu partai dengan yang lain hampir tidak terlihat.
Berdasarkan studi para sarjana menunjukkan bahwa setelah tumbangnya PKI pada tahun 1965, di Indonesia tidak ada oposisi yang kuat. Kondisi ini, ditunjukkan dengan hubungan antara partai politik yang cenderung tidak konsisten dan terus berubah. Hal ini kemudian menimbulkan ketidakpastian mengenai siapa yang merupakan lawan atau sekutu politik yang konstan dalam jangka panjang (Abdulrahman, 2023).
ADVERTISEMENT
Dengan watak dan karakter partai-partai politik semacam itu, penulis mencoba menafsir, bahwa kemungkinan ada konsolidasi dan lobi-lobi politik ke depan ini. Meskipun pada Pilpres kemarin mereka berseberangan dan berbeda kubu, namun pasca pilpres ini, partai-partai (oposisi) tersebut bisa masuk menjadi bagian dari pemerintahan. Kemudian Presiden dan Wakil Presiden terpilih (Prabowo-Gibran) akan mengonsolidasikan kekuasaannya dengan partai-partai tersebut untuk membentuk pemerintahan dan secara alami akan memperoleh kendali atas mayoritas DPR.
Bisa saja misalnya partai politik seperti PKB dan Nasdem atau lainnya yang pada pemilu kemarin memiliki orientasi politik yang berbeda dengan partai pendukung Prabowo-Gibran, bisa saja bergabung dalam kabinet pemerintahan, sementara PDI-P atau partai lainnya memilih berada di luar pemerintahan atau bisa sebaliknya juga. Mengingat posisi Presiden Jokowi yang masih menjadi bagian dari PDI-P, bisa saja nanti PDI-P menggandeng partai lain masuk ke dalam pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Budaya politik semacam ini kemudian menegaskan adagium klasik bahwa di dalam politik tidak ada lawan dan kawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Karena kesamaan kepentingan itulah yang kemudian menuntun partai-partai politik, berada pada kondisi yang penulis sebut sebagai "kerja sama antagonis".
Artinya partai politik senantiasa berusaha untuk mengakhiri rivalitas (konflik) dan menciptakan konsensus jika memiliki persamaan kepentingan, begitupun sebaliknya partai-partai politik akan menciptakan konsensus melalui kerja sama meskipun telah melalui rivalitas (konflik) di antara partai yang bersinggungan.
Hal ini dapat diamati pada pemilu 2019, Partai Gerindra dan PAN yang mengambil posisi oposisi pada pemerintahan periode 2014-2019, kemudian merapat ke pemerintahan dan mendapat jatah dua Menteri untuk Gerindra (Menteri Pertahanan Prabowo Subianto serta Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ) dan satu Menteri untuk PAN (Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan) (https://nasional.kompas.com, 2019).
ADVERTISEMENT
Sulit memang untuk memprediksi dinamika partai-partai yang sangat beragam orientasi politiknya. Kendati demikian hanyalah satu hal yang pasti yakni, kesamaan kepentingan yang dapat mempersatukan partai-partai dalam blok politik.
Kita tentu dapat memprediksi bahwa, dengan watak dan karakter dari partai-partai politik semacam ini maka implikasinya adalah sulitnya kehadiran oposisi yang konsisten dalam mengkritik dan mengawasi pemerintahan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berdampak negatif pada stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia.