Konten dari Pengguna

Petisi Kritik Jokowi: Bukan Berarti Demokrasi Akan Baik-baik Saja

Hent AjoLeda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
4 Februari 2024 9:05 WIB
·
waktu baca 6 menit
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni menyampaikan Petisi Bulak Sumur di Balairung UGM, Rabu (31/1/2024). Sumber Gambar Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni menyampaikan Petisi Bulak Sumur di Balairung UGM, Rabu (31/1/2024). Sumber Gambar Foto: Aprilandika Pratama/kumparan
ADVERTISEMENT
Beberapa pekan belakangan ini sejumlah kampus, akademisi, aktivis pegiat demokrasi dan mahasiswa dari berbagai kampus dan organisasi, melayangkan petisi yang isinya tidak lain mengkritik dan mendesak Presiden Jokowidodo dan kroni-kroninya untuk memulihkan kembali demokrasi yang terkeok.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum itu, kita sempat mendengar juga, kritik Melki Sedek Huang Ketua-BEM UI dan Gielbran M.Noor-Ketua BEM KM UGM pada 2023 lalu, yang menyoroti sejumlah isu yang belum selesai dari reformasi, mulai dari gejala kemunduran demokrasi, penegakan HAM dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, hingga politik dinasti. Mereka representasi dari anak-anak muda generasi-z yang frustasi dengan laku Jokowi dan elit politik yang memprihatinkan, meskipun kemudian kritik mereka dibalas dengan kriminalisasi.
Tampaknya, waktu tempo hari ketika Jokowi dan kroni-kroninya membuat tata-caranya sendiri, ternyata membuka jalan menuju medan perang yang di belakangnya ada "sebagian orang" yang menabuh genderang terus menerus, karena geram dengan pembusukan-pembusukan demokrasi. Dan tanpa disadari, rasa frustasi dan kegeraman ini, belakangan seolah memanggil kembali "orang-orang" berjuang untuk jadi oposisi kritis alternatif.
ADVERTISEMENT
Suara kritis yang dilontarkan oleh civitas akademika Universitas Gajah Mada (UGM) mengawalinya dengan Petisi Bulaksumur, meminta Presiden Jokowi dan jajarannya kembali pada koridor demokrasi. Mereka menilai, Jokowi telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang di tengah proses penyelenggaraan negara.
Setelah itu muncul petisi yang disampaikan melalui pernyataan sikap 'Indonesia Darurat Kenegarawanan' oleh civitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII), mendesak Jokowi untuk kembali jadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan.
Kemudian juga muncul kampus Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Unpad, Brawijaya dan beberapa kampus lainnya yang menyerukan kritik terhadap sikap penyelenggaraan negara di bawah Jokowi yang kian menyimpang.
Selain dari dunia kampus, juga muncul sejumlah petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil. Sekitar 145 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 130 individu membacakan petisi dalam Aksi Kamisan ke-804 di depan Istana Negara. Serupa dengan kritik kampus ke Jokowi, mereka memprotes dan mempermasalahkan pencalonan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden dan wakil presiden 2024.
ADVERTISEMENT
Disinyalir akan nyusul sejumlah petisi kaum cerdik pandai dari berbagi kampus dan aktivis dalam beberapa pekan ke depan. Tentu jika yang dipertuan agungkan Jokowidodo masih menimbang apalagi berkilah lidah, gelombang petisi disusul aksi jalanan dimungkinkan akan gayung bersambut.
Sudah semestinya demikian, kampus tidak boleh buta mata, buta hati dan buta pikiran terhadap soal-soal demokrasi politik rezim Jokowi yang ibaratnya seperti permainan layang-layang yang terombang-ambing diangkasa, hanya bikin senan hati pun riang para "pemain-pemainnya" saja.

Bukan Berarti Demokrasi Akan Baik-Baik Saja

Meskipun kaum cerdik pandai dari berbagi kampus dan aktivis menabuh genderang, tidak otomatis mampu memenangkan perang, hal ini juga bukan berarti bahwa dengan menyampaikan petisi dan kritik berjilid-jilid kemudian demokrasi akan baik-baik saja. Think tank Jokowi dan kroni-kroninya telah menyiapkan amunisi dengan berkilah lidah, menyewa kaum cerdik pandai membuat deklarasi 'tandingan' sebagai kontra narasi atau menggiring isu dengan menganggap petisi sebagai sesuatu yang merendahkan (nasional.tempo.co, 3 Februari 2024).
ADVERTISEMENT
Disamping itu pula, momentum petisi desak-kritik Jokowi juga akan dimainkan oleh elit politik lainnya untuk memanfaatkan kesempatan sebagai manuver elektoral terutama dalam rangka menarik simpati rakyat. Manuver elektoral akan dimanfaatkan oleh lawan politik sebagai strategi untuk mengkapitalisasi dukungan pemilih yang cenderung emosional, terutama bagi mereka yang marah dengan sikap Presiden Jokowi yang dianggap telah melakukan pembusukan politik.
Kemudian kondisi tersebut akan memengaruhi sisi pasokan elektoral lawan politik, bahwa hanya mereka yang "bukan bagian dari Jokowi", yang layak dipilih dalam pemilu mendatang. Unggahan kampanye dengan hashtag semisalnya; “asal bukan Prabowo” yang sempat viral adalah salah satu contoh. Atau narasi bahwa: pemilu itu bukan memilih yang terbaik, tapi mencegak yang buruk berkuasa. Jika Jokowi dan kroni-kroninya yang menjadi king makernya Prabowo-Gibran dikatakan sebagai yang terburuk, lantaran laku politik mereka yang memilukan, lalu dengan memilih yang "bukan bagian dari Jokowi", katakanlah Anis-Amin atau Ganjar-Mahfud karena mereka dianggap sebagai alternatif dari yang terburuk, lantas apakah demokrasi akan baik-baik saja?
ADVERTISEMENT
Menurut penulis, demokrasi tidak akan baik-baik saja. Hal ini cukup beralasan karena kekuasaan di Indonesia berada dalam cengkraman oligarki yang terkonsolidasi secara cepat setelah reformasi 1998 (Gusdur, Megawati dan SBY) dan berlanjut ke periode kedua pemerintahan Joko Widodo, melalui ideologi bagi-bagi kekuasaan, dengan membuka jalan bagi intervensi oligarki untuk melemahkan perlindungan dan penegakan hukum, HAM serta perlindungan lingkungan hidup. Dengan demikian, itu berarti entah itu Jokowi atau bukan Jokowi, entah itu Prabowo-Gibran atau yang bukan Prabowo-Gibran, pada dasarnya mereka berada dalam satu jaringan oligarki.
Identifikasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan bahwa di antara ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, serta tim pemenangannya, banyak yang memiliki keterkaitan dengan dunia bisnis, terutama di sektor pertambangan dan energi. Misalnya, pasangan Anies-Muhaimin memiliki tujuh anggota tim pemenangan yang berhubungan dengan bisnis pertambangan dan energi. Pasangan Prabowo-Gibran bahkan memiliki 18 orang dalam tim pemenangannya yang terkait dengan sektor ini, termasuk Prabowo Subianto sendiri. Sedangkan pasangan Ganjar-Mahfud memiliki tujuh orang dalam tim pemenangannya yang terafiliasi dengan bisnis tersebut. Menariknya, tidak hanya ada hubungan bisnis di dalam tim pemenangan yang sama, tetapi juga terdapat keterkaitan bisnis antara tim pemenangan dari pasangan calon yang berbeda (www.jatam.org, 2024).
ADVERTISEMENT

Kritik Terhadap Gerakan Moral "Petisi Desak Jokowi"

Kendati demikian, kita mengapresiasi petisi desak Jokowi, namun pernyataan sikap yang disampaikan oleh sejumlah civitas akademika dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia masih sebatas panggilan moral (gerakan moral) yang mewakilkan suara oposisi alternatif setelah partai politik bungkam suara.
Dalam konsepsi gerakan moral, peran cendikiawan lebih ditekankan sebagai agen moral dari pada sebagai kekuatan politik. Ini berarti bahwa cendikiawan biasanya terlibat dalam aktivitas politik saat negara sedang menghadapi krisis, tetapi kembali fokus pada pekerjaan semula setelah situasi krisis mereda.
Konsep gerakan moral juga menekankan bahwa partisipasi cendikiawan harus didasarkan pada nilai-nilai murni dan tidak didorong oleh motif politik atau kepentingan pribadi. Gerakan cendikiawan diharapkan bersifat tulus dan tidak terikat dengan kekuasaan atau kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, berbagai variasi dari konsep gerakan moral telah muncul termasuk petisi desan Jokowi yang penekanan pada keaslian gerakan, ketidakberpihakan politik, peran sebagai kelompok penekan, suara oposisi alternatif, juga menekankan pada intelektualitas gerakan cendikiawan.
Namun, kelemahan dari pendekatan gerakan moral adalah bahwa sering kali gerakan tersebut tidak mengatasi akar permasalahan sistem oligarki-kapitalistik yang menindas. Gerakan ini cenderung membatasi diri pada kritik terhadap kebijakan oligarki-kapitalistik yang ada atau upaya perbaikan terhadap sistem tersebut. Akibatnya, gerakan moral dapat berisiko menjadi alat untuk mengganti penguasa dengan penguasa baru tanpa mengubah fundamental struktur oligarki-kapitalistik yang menindas.
Ignatius Mahendra Kusuma Wardhana dan Suharsih dalam buku Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia menjelaskan bahwa pengalaman tahun 1965 menunjukan, mereka yang menjadi penyeru konsepsi gerakan moral adalah gerakan mahasiswa, kaum cendikiawan yang mendukung kebangkitan Rejim Militer Soeharto, yang kemudian menjadi legitimator terhadap pembantaian dan pemenjaraan jutaan rakyat (Wardhana & Suharsih, 2007).
ADVERTISEMENT
Kita sedang berhadapan dengan gundukan rezim besar, yang dalam bahasa Platon: rezim epithumia. Dan demokrasi kita adalah democratic capitalism: pemerintah, parlemen atau wakil rakyat, pejabat negara dan aktor-aktor politik-ekonomi komprador sebenarnya tangannya terikat oleh kekuatan oligarki-kapitalistik.
Akhirnya setelah pemilu yang menyedot biaya dan energi yang mahal ini, demokrasi hanya akan semakin menjadi gimmick atau kosmetik bagi tonggak berdirinya sistem yang otoritarian dan oligarki-kapitalistik selanjutnya. Demokrasi tidak akan baik-baik saja kalau kita tidak turun gunung, bila perlu seruduk istana, lalu boikot pemilu.