Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Politik Uang dan Tantangan Keterwakilan Perempuan
21 Januari 2024 9:28 WIB
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peforma keterwakilan perempuan di lembaga legislatif pusat (DPR RI) maupun daerah (DPRD) selama tiga periode pemilu (2009,2014 dan 2019) belum menyentuh angka afirmasi action 30%, meskipun partai-partai politik telah memenuhi syarat 30% kuota keterwakilan perempuan sebagai caleg. Data menunjukkan bahwa, persentase kursi yang diduduki perempuan di DPR RI pada pemilu 2009 adalah 18 persen, lalu turun menjadi 17,6 persen pada pada 2014, kemudian meningkat 20,5 persen pada pemilu 2019 (Kompas, 11 Januari 2024 ).
ADVERTISEMENT
Sementara di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota, berdasarkan data BPS, pada pemilu 2009 ada 26,52 persen kursi yang diduduki anggota legislatif perempuan, sedangkan pada pemilu 2014 turun 25,76 persen dan meningkat 30,88 persen pada 2019 (bps.go.id, 2021).
Riset Ella S. Prihatini pada tahun 2020 menunjukkan bahwa meski jumlah caleg perempuan bertambah, namun keterpilihan calon perempuan dalam Pileg masih rendah disebabkan karena partai-partai belum memprioritaskan caleg perempuan. Caleg perempuan hanya ditempatkan di nomor urut rendah yang kecil potensi menangnya, padahal mayoritas caleg yang terpilih adalah caleg-caleg yang berada di posisi teratas.
Masalah lain juga karena biaya politik (kampanye dan saksi) yang terlalu mahal, termasuk mahar untuk menempati posisi nomor urut 1. Praktik semacam ini membuat kemenangan caleg perempuan hanya terbatas di antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang kuat atau berasal dari lingkaran oligarki dan dinasti politik. Hasil studi Puskapol UI menunjukkan bahwa, 41 % anggota DPR perempuan berasal dari dinasti politik yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kebijakan afirmasi action 30% yang pada dasarnya berupaya agar perempuan dan laki-laki dari semua lapisan kelas dan golongan bisa bersaing secara adil dalam memperebutkan kursi legislatif, nyatanya hanyalah kepura-puraan politis, karena partai akan cenderung meprioritaskan caleg yang bermodal uang. Caleg-caleg yang memiliki sumber daya ekonomi yang kuat, kemudian saling bersaing agar dapat mempertahankan posisinya dan tidak tereliminasi dari persaingan politik. Hal ini kemudian melahirkan masifnya aksi politik uang.
Litbang Kompas pada 12 Januari 2024 melaporkan bahwa seiring dengan perkembangan zaman yang semakin terdigitalisasi, politik uang juga mengalami transformasi. Tidak hanya melibatkan uang tunai, sembako, atau pernak-pernik kampanye, politik uang kini juga melibatkan pemberian hadiah (giveaway) melalui media sosial atau transfer uang menggunakan dompet digital (Kompas, 12 Januari 2024 ). Alih-alih mendapat wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan berintegritas, namun yang kita dapatkan adalah orang-orang hipokrit dan permisif terhadap KKN. Praktik ini kemudian menguatkan cengkraman oligarki di politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dalam menghadapi pemilu 2024 ini, tantangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, khususnya di DPR RI dan DPRD, perlu disadari bahwa ancaman politik uang menjadi penghambat utama. Meskipun ada kenaikan jumlah caleg perempuan, tidak serta-merta akan meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR/DPRD secara optimal, jika performa pemilu masih dibingkai oleh arogansi biaya dan mahar politik yang mahal serta politik uang yang masif. Pemilu yang mahal akan mengancam partisipasi dan representasi yang adil, yang kemudian menimbulkan ancaman serius bagi demokrasi.
Hanya dengan melawan praktik politik uang, membangun budaya politik yang kritis, kita dapat membuka pintu untuk mewujudkan pemilu 2024 yang demokratis.