Program Penanggulangan Kemiskinan: Ambisi atau Basa-Basi?

Helenerius Ajo Leda
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Pemerintahan, STPM Santa Ursula Ende
Konten dari Pengguna
2 Februari 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Helenerius Ajo Leda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kemiskinan Foto: Reuters/Ezra Acayan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kemiskinan Foto: Reuters/Ezra Acayan
ADVERTISEMENT
Kemiskinan seperti momok yang menakutkan, lantaran karena masih sekitar 11,74 juta orang perkotaan, dan sekitar 14,16 juta orang pedesaan yang miskin, atau sekitar 25,9 juta orang indonesia yang tinggal di kota dan desa yang hidup dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
Walakin masih menjadi momok, pemerintah bertepuk dada soal tren kemiskinan yang katanya menurun, meski pelan dan melambat. Data BPS menunjukkan, persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2023 sebesar 7,29 persen, menurun dibandingkan September 2022 yang sebesar 7,53 persen. Sementara itu, persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2023 sebesar 12,22 persen, menurun dibandingkan September 2022 yang sebesar 12,36 persen (bps.go.id, 2024).
Seiring dengan penurunan tren angka kemiskinan, janji-janji heroik capres dan cawapres soal taktik multi bentuk untuk menurunkan tren kemiskinan bergema dengan sumbringah. Capres nomor 1 menargetkan akan menurunkan tingkat kemiskinan hingga 2-5 persen tahun 2029 dan nol persen tingkat kemiskinan ekstrem tahun 2026. Capres nomor 2 menargetkan 6 persen di tahun 2029 dan kemiskinan ekstrem lenyap di tahun 2026. Capres nomor 3 menargetkan 2,5 persen di tahun 2029 dan kemiskinan ekstrem hengkang di tahun 2026.
ADVERTISEMENT
Obsesi heroik capres dan cawapres dalam menurunkan angka kemiskinan perlu diapresiasi, namun menurut orang-orang yang mafhum dengan soal-soal kebijakan kemiskinan, bilangnya terlalu ambisius dan tidak realistis. Pasalnya, dalam sepuluh tahun terakhir (2013-2023) penurunan tingkat kemiskinan hanya sekitar 2 point persen atau sekitar 1 point persen per lima tahun atau 0,2 poin persen per tahun (kompas.id, 16 Januari 2024).
Maka jika taktik multi bentuk program penurunan kemiskinan ketiga capres dan cawapres masih sama dengan program pemerintahan saat ini, itu berarti target penurunan kemiskinan yang ambisius di tahun 2029 yang digembar-gemborkan oleh mereka tidak dapat tercapai.
Bila menengok pendekatan dan strategi kandidat capres-cawapres untuk menekan angka kemiskinan secara drastis, kita menemukan ada kesamaan rupa dengan program pemerintahan Joko Widodo, meskipun dengan polesan narasi yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Pasangan nomor 1 dengan pendekatan memberi "ikan dan kail" lewat bansos dan BLT serta insentif untuk menggerakkan sektor ril dan menciptakan lapangan kerja. Membangun ekosistem food bank sebagai jembatan redistribusi antara pihak yang surplus makanan dan membutuhkan makanan. Menciptakan minimal 15 juta lapangan kerja dan membentuk skill development fund di bawah kementerian ketenagakerjaan.
Pasangan nomor 2, dengan pendekatan menguatkan sinergi program sosial yang masing tersebar di sejumlah kementerian/Lembaga dan pemerintah daerah. Melanjutkan program sosial dan kartu-kartu kesejahteraan sosial, seperti PHK, dana desa, subsidi pupuk, MEKAR, kartu usaha dan kartu bantuan pangan nontunai. Menyediakan transportasi public murah bagi pekerja rakyat tidak mampu.
Pasangan nomor 3, dengan pendekatan program 1 keluarga miskin 1 sarjana. Meningkatkan jumlah penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dari 10 juta menjadi 15 juta. Membentuk dana abadi kesejahteraan sosial untuk membiayai program perlindungan sosial termasuk warga difabel.
ADVERTISEMENT
Obsesi heroik capres dan cawapres dalam menurunkan angka kemiskinan dianggap sulit tercapai karena mereka hanya mengandalkan program-program bantuan sosial (Kompas.id, 31 Oktober 2023; Tempo.com, 22 Desember 2023). Pandangan ini tidak terlepas dari "ilusi koletif" program bansos yang sudah-sudah.
Alih-alih hendak menanggulangi kemiskinan, bansos menjadi pilihan untuk memperbaiki, hasilnya mudah diprediksi, bansos hanya mampu mengangkat seseorang di atas garis kemiskinan untuk sementara waktu, namun kemudian kembali tergelincir ke bawah garis kemiskinan. Sejumlah riset juga mengkonfirmasi hal tersebut bahwa masyarakat penerima program bansos cenderung resisten untuk berupaya merawat kemiskinan agar terus menerima bantuan (Cima, et all, 2018; Ngea, 2023).
Saya sepakat dengan hasil riset para pakar yang mengatakan bansos itu tidak mencerdaskan dan tidak memberdayakan, faktanya memang demikian. Pengalaman empirik di lapangan, bansos membuat masyarakat menggantungkan harapan pada bantuan pemerintah atau pihak luar.
ADVERTISEMENT
Pengalaman lain juga mengejutkan, jika hendak berkegiatan ke desa, hal berikut yang ditanyakan oleh masyarakat yang mungkin pernah "keenakan" menerima bansos adalah "kalian datang bawa uang atau tidak"? Saya kira inilah dampak dari program bansos yang terus diawetkan oleh rezim yang sudah-sudah, membuat masyarakat cenderung pragmatis.
Selain itu, bansos mudah dipolitisai, akibat carut marutnya datakrasi yang kebablasan dan koruptif. Sebagaimana ditenggarai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, bahwa ada praktik oknum pemerintah daerah, kecamatan, pemeritah desa, yang memanipulasi data penerima bantuan sosial (bansos) untuk kepentingan politik tertentu. Manipulasi data itu dilakukan oleh oknum dengan memasukkan pendukung atau bahkan tim suksesnya (timses) atau keluarga, teman, kerabat, handai tolannya ke dalam data penerima bansos.
ADVERTISEMENT
Walhasil banyak masyarakat yang benar-benar membutuhkan justru tidak terdaftar ke dalam program bansos (Kompas.com, 10 Mei 2023). Juga lain cerita namun serupa, perihal politisasi bansos, juga semakin runyam seperti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di masa dua pekan menjelang Pemilu. Jokowi, tidaklah berlebihan dikatakan sedang "tunggang-langgang" turun gunung membagi-bagi bansos pada masyarakat.
Dengan demikian penanggulangan kemiskinan melalui bansos atau bantuan tunai sejenisnya ialah dampak, sekaligus kondisi yang diperlukan. Para pembuat kebijakan mempermasalahkan kemiskinan hanya direspons sekadar sebagai “permasalahan teknis” yang dapat diintervensi dengan“bansos”.
Teknikalisasi kemiskinan pada akhirnya cenderung mengarah pada kegagalan; kemiskinan tidak turun-turun, masyarakat bergantung pada bansos pemerintah, masyarakat "beternak" kemiskinan supaya terus mendapat bansos, dan sekian banyak masalah lainnya. Namun adanya kegagalan malahan membuat cengkeram aparat pemerintah menjadi semakin besar, yang kemudian diikuti dengan gelontoran anggaran yang besar pula, selain tidak tepat sasaran karena dipolitisasi dan dikorupsi, juga sebagai kondisi yang diperlukan untuk menaikkan citra populis.
ADVERTISEMENT
Karena itu, selain ambisius, obsesi mereka juga basa-basi dan tendensius, mereka tidak serius mengusir momok kemiskinan yang menakutkan itu. Jika mereka serius mengusir momok kemiskinan, mereka mestinya juga sensitif dan respek pada kajian kritis dengan pendekatan ekonomi-politik, bahwa pendekatan bansos memiliki masalah utama: tidak menyentuh akar persoalan yang mengkondisikan kemiskinan terjadi, yakni ketimpangan penguasaan alat-alat produksi.