Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Teknikalisasi Masalah Korupsi
21 Januari 2024 18:32 WIB
Tulisan dari Hent AjoLeda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada Rabu, 17 Januari 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelenggarakan acara Penguatan Antikorupsi untuk Penyelenggara Negara Berintegritas (PAKU Integritas KPK) di Gedung Merah Putih KPK, yang juga dihadiri oleh ketiga calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
Acara ini berangkat dari kegelisahan atas praktik korupsi yang telah menjadi bahaya laten yang terus menggurita dan senantiasa menjadi fenomena yang selalu aktual dan up to date. Praktek-praktek korupsi dengan berbagai modus operandinya telah dan terus menggeliat baik di level nasional maupun di daerah. Atas dasar itu, acara PAKU Integritas dilaksanakan sebagai langkah yang diklaim penting untuk meneguhkan tekad para pemimpin masa depan untuk memerangi korupsi dan menciptakan penyelenggara negara yang berintegritas.
Dalam acara tersebut, isu korupsi menjadi tantangan mendasar bagi ketiga capres-cawapres. Namun apakah narasi ke tiga capres-cawapres mampu menjawab tantangan akan bahaya laten korupsi yang kian menggurita? Apakah strategi yang mereka paparkan yang kebanyakan berumur 5 tahun cukup untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya?
Sebagaimana dilansir oleh berbagai media, ketiga pasangan calon tersebut memaparkan sejumlah langkah pemecahan masalah korupsi dengan narasi yang berbeda. Langkah yang akan dilakukan Anies adalah melakukan amandemen undang-undang, memperbaiki rekrutmen KPK, meningkatkan standar kode etik bagi pimpinan dan staf KPK, serta mengoptimalisasi laporan harta dan kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), menuntaskan RUU Perampasan Aset, pengesahan RUU Pendanaan Politik. Sementara Prabowo Subianto, menyatakan tekadnya untuk pemberantasan korupsi dengan menaikan gaji apparatus negara sehingga tertutup peluang untuk melakukan tindakan korupsi. Sedangkan Ganjar Pranowo menyatakan akan melakukan percepatan pemberantasan korupsi melalui tagline GASPOL (GAndakan anggaran, Sikat KKN, POLes birokrasi dengan digitalisasi), juga ditindaklanjuti dengan memperbaiki regulasi dan system kelembagaan.
ADVERTISEMENT
Teknikalisasi Permasalahan Korupsi
Tampaknya ketiga pasangan calon tersebut meletakan permasalahan korupsi sebagai permasalah teknis semata. Teknikalisasi permasalahan merupakan upaya untuk mendudukan sebuah persoalan sebagai masalah teknis, dan melucuti aspek-aspek yang sifatnya politis menjadi gejala non-politis. Dalam kaitan dengan masalah korupsi, teknikalisasi masalah korupsi sebagai upaya menyederhanakan isu kompleks korupsi menjadi satu dimensi teknis semata, dan sengaja mengabaikan persoalan-peroalan ideologis dan politis, menggantikannya dengan hal-hal yang bersifat personal, moralis, atau organisasional dan teknis.
Dari narasi ketiga capres-cawapres dalam memecahkan masalah korupsi dijawab dengan pendekatan-pendekatan teknis, seperti melakukan reformasi hukum, penguatan kapasitas penegak hukum, peningkatan pengawasan administratif, edukasi atau pendidikan anti korupsi, digitalisasi dan lain-lain.
Pendekatan teknikalisasi masalah ketiga capres-cawapres bersandar pada asumsi bahwa jika fenomena korupsi merupakan masalah hukum, maka yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan penegakan hukum semata. Jika persoalan korupsi bagian dari moral elit yang bobrok maka cukup dengan edukasi, pendidikan moral dan agama. Jika korupsi masif terjadi karena disfungsi institusi maka yang dilakaukan adalah cukup dengan membentuk instusi-institusi anti korupsi, penguatan kelembagaan, perbaikan system, merevisi peraturan UU, membuat juklak juknis, prosedur, lengkap dengan aplikasi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian pendekatan teknikalisasi masalah tidak mampu mengatasi akar masalah korupsi yang kompleks, karena melucuti aspek-aspek politis dan idoelogis dari permasalahan korupsi. Karena itu, menurut penulis, narasi ketiga caperes-cawapres tidaklah berlebihan hanya sebagai ornamen politik yang tak berdaya untuk menjelaskan secara meyakinkan dan mendalam terkait persoalan korupsi. Karena keterbatasan penjelasan terkait permasalahan korupsi, saya terdorong untuk menjelaskan permasalahan korupsi sebagai masalah ekonomi politik.
Korupsi Sebagai Pesoalan Ekonomi Politik
Menurut Robison, Hadiz (2005) dan Winters (2007), masalah korupsi perlu dilihat sebagai persoalan ekonomi-politik. Analisa ekonomi-politik, mendudukan persoalan korupsi berakar dari tatanan masyarakat berkelas. Dalam tatanan masyarakat berkelas, relasi kekuasaan terjalin antara dua kelompok yang berseberangan yakni antara elite penguasa dengan masyarakat yang dikuasai. Elite penguasa (oligarki & kapitalis) menindas kelas sosial lainnya dengan merampok nilai lebih dan sumber daya negara (melakukan korupsi), melalukan akumulasi kapital untuk kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Elite penguasa (oligarki & kapitalis) kemudian meregulasi struktrur negara dan pemerintahan. Negara dalam kaca mata ekonomi-politik, berfungsi sebagai komite borjuasi atau fasilitator bagi berjalanya akumulasi kapital. Karena itu, posisi, sikap dan kesadaran para aparatur negara selalu ditentukan oleh relasi mereka dengan kapital dan kekuasaan dalam struktur komite borjuasi tersebut. Dengan didukung kuasa kapital dan jejaring kekuasaan yang kuat, para oligarki kapitalistik menjadi kekuatan dominan di tingkat nasional maupun lokal.
Di Indonesia, seperti yang di jelaskan oleh Robison dan Hadiz, sejak orde baru berkuasa, struktur kekuasaan negara sudah didesain sedemikian rupa sebagai instrumen bagi borjuasi nasional menggeruk sumber daya negara untuk kepentingan kroni-kroninya. Kuasa ekonomi politik oligarki rezim orde baru ini, melahirkan sistem patronase yang menjalar dan menembus ke semua lapisan masyarakat dari pusat hingga ke desa-desa. Meskipun orde baru digulung gelombang reformasi Mei 1998, tidak serta merta merontokan kekuatan ekonomi politik antek-antek Orde Baru. Justru sebaliknya, ia tampil dengan model yang menyesuaikan konteks demokrasi dan desentralisasi (Hadiz, 2005).
Vedi Hadiz dalam Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto (2005), menjelaskan bahwa ruang desentralisasi yang disediakan itu menjadi instrumen bagi politik oligarki untuk survive. Hal itu dilakukan dengan menguasai partai politik, melakukan korupsi, memainkan politik uang dan suap, dan mengerahkan aparat kekerasan non-negara. Sitem ekonomi-politik ini memberikan kesempatan bergantian kepada lapisan elit untuk menguasai sumber daya negara dan menjadikan mereka sebagai oligarki diktator.
ADVERTISEMENT
“Kekuasaan di Indonesia berada dalam cengkraman oligarki yang terkonsolidasi secara cepat setelah reformasi 1998 terutama sejak pemerintahan Joko Widodo, melalui ideologi bagi-bagi kekuasaan. Ketika memenangkan Pilpres dua periode, sejumlah orang-orang yang berjasa kepada Jokowi mendapat posisi strategis. “...Sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan ke publik selama kampanye: mengutamakanan kepentingan rakyat di atas partai dan kroni-kroninya...” (Hadiz, 2020).
Dengan demikian, bersandar pada pendekatan teknis untuk memecahkan masalah korupsi tidaklah cukup, selain melucuti aspek-aspek ideologis dan politis, pendekatan teknikalisasi masalah korupsi cenderung menggantungkan tuntutan penyelesaian kasus-kasus korupsi pada elit-elit politik oligarki. Sejak orde baru hingga reformassi, elit-elit politik oligarki tidak pernah konsisten untuk menuntaskan tugas dan tuntutan reformasi, salah satunya adalah penyelesain kasus korupsi sampai ke akar-akarnya. Karena kekuatan system kapitalistik mondial menjadi praktik yang mendikte semua mekanisme penyelenggaraan negara dan pemerintahan saat ini.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya oligarki dalam negara kapitalistik menjadi system yang tidak pernah punah, sebab penyelenggara negara dan pemerintah, parlemen atau wakil rakyat, sebenarnya tangannya terikat oleh kekuatan kapital, serta partai-partai yang semakin pragmatis karena berada dalam lingkaran sistem politik kapitalistis dan menjadi jembatan antara dunia politik dan bisnis.