Paradoks Perlindungan Informasi Digital di Sosial Media

Hendra Oktavianus
Diplomat Indonesia. Chevening Alumni. Master on Global Media & Communication dari University of Warwick, UK. Pecinta buku, kamera dan asa.
Konten dari Pengguna
2 April 2018 0:02 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hendra Oktavianus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Privasi adalah sebuah paradoks di dunia digital. Mahal untuk dipertahankan, murah untuk diberikan. Salah satu fenomena yang paling terkini adalah kasus Cambridge Analytica yang secara ilegal menggunakan 50 juta akun Facebook untuk kepentingan politik antara lain Pemilu Amerika Serikat dan Brexit. Sejarah akan tertulis berbeda tanpa campur tangan Cambridge Analytica yang kasusnya saat ini masih menjadi perdebatan hangat baik di Eropa maupun AS.
ADVERTISEMENT
Sangat disayangkan kasus tersebut tidak menjadi perhatian besar di Indonesia. Hal ini dikarenakan literasi media digital Indonesia masih cukup rendah sehingga kewaspadaan akan pentingnya perlindungan informasi digital belum disadari penuh. Indonesia, sebagai keempat pengguna terbesar Facebook di dunia (130 juta users pada tahun 2018) seharusnya memiliki kepentingan yang sangat besar dalam perlindungan data private di perusahaan milik Mark Zuckenberg tersebut. Terutama dengan mendekatnya pemilihan umum nasional Indonesia yang akan terjadi pada tahun 2019.
Sebagian besar pengguna sosial media di Indonesia belum menyadari arus transaksi yang terjadi dalam penggunaan sosial media. Para Netizen melihat naif bahwa sosial media adalah platform sosial yang menjadi penghubung jaringan pertemanan atau bisnis dan sebagai wadah aktualisasi diri. Tidak menyadari harga yang harus dibayar pada platform "gratis" pada saat mereka meng-upload sarapan cantik pagi ini kepada followers-nya. Harga tersebut tidak dibayar oleh mata uang tetapi dengan informasi yang suka rela dipersembahkan oleh pengguna. Transaksi informasi ini yang menjadikan Google, Facebook dan Twitter sebagai raksasa digital dunia.
ADVERTISEMENT
Perusahaan tersebut setiap saat menyimpan informasi yang kita unggah. Status, kata kunci, tweet, foto, video hingga like pada 'video kucing yang suka kardus'. Proses penyimpanan ini dikenal dengan istilah data mining. Informasi tersebut akan disimpan sebagai Big Data atau database informasi pengguna. Data ini kemudian akan disusun oleh logaritma, yang bagai komposer handal, mendesain informasi tersebut menjadi personifikasi data individu. Personifikasi ini akan mengetahui seluruh aspek dari informasi pengguna. Apa yang disukai atau dibenci, lokasi, hobi, kebiasaan, keluarga, dan apapun yang pernah dipersembahkan oleh sang pengguna di sosial media.
Data individu inilah yang "dijual" oleh para perusahaan tersebut kepada pihak ketiga seperti perusahaan, media, ataupun pusat penelitan untuk digunakan dalam targeted content marketing guna menyediakan informasi yang tepat bagi masing-masing individu. Semua informasi yang ditayangkan melalui layar hitam ponsel atau komputer telah dimodifikasi secara detail untuk memberi kesan bahwa internet mengerti keperluan pengguna. Bukan sebuah kebetulan, pengguna sosial media melihat iklan sepatu, lalu rutin me-like foto artis yang memamerkan sepatu barunya atau sering meng-google jenis sepatu baru yang lagi "in". Setiap individu akan disajikan informasi yang berbeda-beda sesuai dengan personifikasi data yang tersimpan.
ADVERTISEMENT
Sosial media memang telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan sosial dari manusia modern. Sama seperti generasi sebelumnya dengan televisi atau surat kabar. Seorang individu modern secara ekstrem dapat saja berhenti menggunakan google atau menghapus seluruh akun sosial media namun harus siap apabila kerabat dan rekan kerjanya akan memandang sebagai manusia purba yang baru saja menemukan api.
Namun terlepas dari ketergantungan dengan mesin pencari dan sosial media, manusia modern harus dapat lebih bijak melalui pemerintah maupun organisasi untuk menuntut kebijakan yang lebih kuat kepada para perusahaan ini dalam mengatur informasi yang dimilikinya. Pembatasan yang jelas dalam penggunaan informasi digital dan kehidupan politik harus dipertebal untuk menghindari permasalahan seperti Cambridge Analytica terulang lagi di masa mendatang. Informasi tersebut sudah selayaknya tidak menjadi alat propoganda yang menguntungkan salah satu pihak.
ADVERTISEMENT
Sementara dari segi individu, para pengguna juga dapat membendung arus digital dengan mencerdaskan diri dalam berperilaku di dunia digital. Berpikir dua kali dalam menulis status atau mengupload video, melakuan cross check fakta dalam melihat konten berita atau secara hati hati memutuskan aplikasi mana yang berhak mendapatkan informasi Anda. Hal yang harus diingat oleh para pengguna adalah Internet is a harsh mistress, she will never forget and never forgive jadi bijaklah dalam memberikan informasi privat kita di internet dan sosial media.
Ilustrasi Internet. (Foto: fancycrave1 via Pixabay)