Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kemiskinan di Indonesia: Antara Angka, Budaya, dan Tantangan Kebijakan
1 Mei 2025 14:22 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Margareth Henrika Silow tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Indonesia, sebagai raksasa ekonomi di Asia Tenggara, telah mencatat prestasi gemilang dalam menekan angka kemiskinan. Namun, di balik capaian ini, muncul pertanyaan besar: seberapa akurat data kemiskinan yang kita gunakan? Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Maret 2024, hanya 9,03% penduduk Indonesia tergolong miskin. Sementara itu, Bank Dunia menyajikan angka yang jauh lebih mencolok: 60,3% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Perbedaan ini bukan sekadar soal angka, tetapi juga menyingkap sisi lain dari kemiskinan yang sering terabaikan, yaitu kemiskinan kultural. Fenomena ini memicu diskusi mendalam tentang apakah kebijakan pembangunan kita benar-benar efektif.
ADVERTISEMENT
BPS menghitung kemiskinan berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan, yang mencakup kebutuhan makanan dan non-makanan. Pada Maret 2024, garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp582.932 per orang, dengan 74,44% dialokasikan untuk makanan dan sisanya untuk kebutuhan lain seperti tempat tinggal dan pendidikan. Pendekatan ini menargetkan standar hidup minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sebaliknya, Bank Dunia menggunakan standar internasional berdasarkan daya beli (PPP), menetapkan garis kemiskinan pada US$6,85 per hari. Perbedaan metode ini menghasilkan kesenjangan besar dalam angka kemiskinan yang dilaporkan, memicu pertanyaan tentang relevansi data dalam merancang kebijakan.
Lebih dari sekadar angka, kemiskinan kultural menjadi tantangan yang kompleks. Ini bukan hanya soal kekurangan materi, tetapi juga pola pikir, nilai, dan kebiasaan yang membuat masyarakat sulit keluar dari lingkaran kemiskinan, meski hidup di tengah limpahan sumber daya alam. Misalnya, masyarakat pedesaan yang dikelilingi ikan, sayuran, dan buah-buahan mungkin tampak "kaya" secara alamiah. Namun, tanpa motivasi atau keterampilan untuk mengelola sumber daya ini, potensi tersebut tak mampu mengangkat kesejahteraan mereka. Banyak yang terjebak dalam pola hidup pasif, sekadar menerima apa adanya—seperti sikap "nrimo ing pandum"—tanpa dorongan kuat untuk berubah.
ADVERTISEMENT
Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat miskin memandang kesejahteraan tidak hanya dari harta, tetapi juga dari kesehatan, hubungan sosial yang harmonis, dan kecukupan pangan. Namun, rendahnya pendapatan dan pola konsumsi yang kurang efisien membuat daya beli mereka terus merosot. Parahnya, gaya hidup konsumtif yang dipicu media sosial dan iklan digital kini merasuki pedesaan. Banyak yang terpikat untuk membeli barang secara instan melalui layanan paylater atau pinjaman online, meski kemampuan finansial mereka terbatas. Data menunjukkan mayoritas pengguna paylater bertransaksi 2-5 kali sebulan, terutama untuk belanja online, dengan anak muda sebagai pengguna utama pinjaman untuk kebutuhan pribadi.
Kemiskinan kultural ini menjadi penghalang serius bagi pembangunan. Tanpa perubahan pola pikir dan perilaku, sumber daya alam yang melimpah tak akan cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Pendekatan pembangunan yang holistik—menggabungkan aspek budaya, sosial, dan ekonomi—mutlak diperlukan. Namun, perbedaan data kemiskinan juga menyulitkan perencanaan kebijakan. Jika pemerintah hanya mengacu pada data BPS, banyak kelompok yang hidup di bawah standar internasional namun tak tercatat sebagai miskin akan terabaikan. Akibatnya, kebijakan menjadi kurang tepat sasaran dan gagal menjangkau mereka yang benar-benar membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Untuk menekan angka kemiskinan secara efektif, Indonesia harus menjembatani kesenjangan data yang ada. Ketidaksesuaian antara angka BPS dan Bank Dunia mengungkap bahwa data saat ini belum sepenuhnya mewakili realitas masyarakat Indonesia, terutama mereka yang terpinggirkan oleh standar internasional. Tanpa data yang akurat dan inklusif, kebijakan pembangunan berisiko meleset dari sasaran, meninggalkan jutaan orang dalam lingkaran kemiskinan. Salah satu langkah yang dipertimbangkan adalah menaikkan garis kemiskinan menjadi US$2,15 (berdasarkan PPP), yang akan mengubah perhitungan tingkat kemiskinan secara signifikan. Selain itu, mengadopsi pendekatan multidimensi—yang mempertimbangkan aspek moneter, pendidikan, kesehatan, dan budaya—serta memperbarui standar pengukuran kemiskinan, Indonesia dapat merancang kebijakan yang lebih tepat guna, memastikan setiap lapisan masyarakat terjangkau dalam upaya menuju kesejahteraan yang merata.
ADVERTISEMENT
Ijinkan penulis tutup tulisan dengan pantun,