Konten dari Pengguna

Selain Paparan Sinar Matahari, Dompet Kosong Juga Bisa Bikin Sakit Mata

Herdi Riswandi
Mahasiswa jurusan Sastra Arab, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
19 Oktober 2024 12:21 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Herdi Riswandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dibalik suksesnya seseorang pasti ada saja hal yang bikin kita terkena musibah salah satunya terkena penyakit mata yang diakibatkan oleh dompet kosong. Hal itu banyak dialami oleh para mahasiswa perantauan. Itu terjadi biasanya di tanggal-tanggal tua. Mereka mulai mencari cara agar keuangannya stabil kembali karena kiriman dari orang tua belum waktunya, sudah habis. Dari mulai pertengahan bulan sudah ancang-ancang untuk mencari-cari kerja part time, ojek online, joki tugas dan cara yang paling simpel dan gampang plus mudah dilakukan adalah dengan minjam duit ke teman.
ADVERTISEMENT
Anak perantauan kalau sudah dekat sama temannya, main bareng, mengerjakan tugas bareng, kemana-mana bareng, pokoknya sudah besti lah, dia sudah gak malu lagi untuk melakukan segala macam cara. Pinjam inilah, pinjam itulah. Pasti di kasih asalkan kitanya ngomong. Yaa..kalau gak ngomong gak tau juga! Dan ketika susahnya pun mereka gak kalah saling menguatkan, sikap kekeluargaannya tumbuh di sana tanpa harus diajari.

“Paparan sinar matahari menyebabkan kita sakit mata, tetapi dengan kosongnya dompet itu lebih sakit lagi” celetuk teman sambil tertawa bareng.

Dompet kosong (Foto: Pixabay)
Kalau sudah memasuki tanggal tua, persediaan menipis dan makan pun diirit- irit itulah ciri khas mereka. Bahkan kalau mau beli jajanan atau rokok pun mereka mikir dulu. Pilih-pilih yang murah karena lagi turun kasta. Apalagi kalau orang mempunyai kondisi yang harus menghidupi keluarga secara finansial atau istilahnya the open faced sandwich generation artinya kondisi yang sedang terhimpit.
ADVERTISEMENT
Tak Kalah Dengan Duit Yang Sekarat, Perihal Niat Mau Rajin-Rajinnya Belajar Sama Parahnya Dengan Paparan Dompet Yang Kosong
Dari masa-masa SMA kalau udah masuk kuliah mau serius belajar, gak akan nyia-nyiain lagi!. Masuk kuliah semester pertama sudah berjalan, semester dua, tiga, empat dan mau mendekati akhir. Baru mikir, aku sebenarnya serius gak sih belajar? Gak terasa udah semester tua, tapi kek gak dapat apa-apa ya?
Alasan-alasan klise itu terus ada, dari tiap tahun masuk kuliah ada aja yang begini. Perasaannya seperti sebuah penyesalan yang gak bisa terulang lagi. Sudah semester tua, punya adik tingkat, udah dipanggil senior bukan kating lagi. Tapi ilmu belum dapet, duit habis, kepikiran orang tua di rumah, beban nambah lagi kalau udah lulus terus pulang ke rumah. Kata orang bilangnya selamat ya, kamu udah jadi sarjana! Perasaan bahagia dan malu bercampur aduk. Bahagianya sudah jadi sarjana, beres kuliah, punya tambahan gelar di depan nama. Malunya, selama kuliah gitu-gitu aja gak ada perkembangan, baru kerasa sekarang sudah lulus.
ADVERTISEMENT
Obrolan-obrolan itu pula yang sering diceritakan ditongkrongan sambil menghela nafas dan mengeluarkan kepulan asap rokok ditambah muka yang serius dan tidak lupa di damping dengan segelas kopi. Sejenak pikiran itu hilang ke langit malam terbang bersama bintang…
Dan satu orang lagi menghibur. “Jangan bersedih kawan, itu belum terjadi kok, nikmatin aja sekarang! Gak usah mikirin yang belum-belum tentu terjadi. Itu bukan urusan kita. Kita hanya menjalani, ikhtiar maksimal, jangan jalan di tempat, udah itu aja! Adapun hasilnya hanya Tuhan yang tahu bro!”
“Iya..gue juga tau. Gak dipikirin juga kepikiran”
“Kita orangnya beda ya bro, sama golongan orang tua yang berada. Kuliah ada yang pake mobil, tinggal di apartemen. Lah kita boro-boro, udah kuliah aja bersyukur.”
ADVERTISEMENT
“Nah itu bro! itu tahu. Yang kurang dari kita tuh cuma kurang bersyukur aja..orang udah punya porsinya masing-masing. Tenang bro, kelihatannya emang enak, tapi gak tau sih, mereka juga punya masalah masing-masing. Dan terakhir lahirnya para intelektual tuh di sini, di tempat ngopi. Dulu di Prancis para aktivis lahir dari tempat-tempat ngopi kek gini. Yaa…moga-moga kita ketularan dari situ hahaha…”
Cerita-cerita dari mahasiswa seperti itu harus kita apresiasi dan bahkan kita support supaya terus semangat. Memang kita tidak bisa membohongi diri sendiri. Saling berkesusahan dalam menjalani itu semua. Setidaknya dengan berbagi cerita bisa melepaskan beban di pikiran. Adalah hal yang wajar sekali bilamana kita selalu khawatir dengan jauhnya dari orang tua kita.
ADVERTISEMENT
“Bener gak sih gue? kek sok bijak gini deh!” tutup teman lain, mengakhiri pembicaraan.