Ablasi Frekuensi Radio (Ablasi RF), Dari Listrik menjadi Panas

Hesty Susanti
Ph.D in Eng. Physics - Lecturer and Researcher at School of Electrical Engineering, Telkom University (Biomedical Engineering and Ultrasound/Acoustic based Measurement) - Art Enthusiast - Writer and Philomath. https://linktr.ee/maktjik
Konten dari Pengguna
21 Maret 2022 12:12 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hesty Susanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah Anda tersundut benda panas secara tidak sengaja misalnya ketika sedang memasak di dapur? Peristiwa ini merupakan salah satu kata kunci dari apa yang akan dibahas dalam artikel ini: panas. Energi kalor atau awam menyebutnya sebagai “panas“ banyak kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, panas merupakan pedang bermata dua, jika kadarnya dapat kita kendalikan dengan baik, ia akan bermanfaat, namun sebaliknya, jika tak terkendali, panas hanya akan membawa kerugian dan malapetaka.
ADVERTISEMENT
Dari logika sederhana ini, ablasi frekuensi radio (Radiofrequency Ablation) dibuat agar panas yang ditimbulkan dari energi listrik dapat dimanfaatkan dalam beberapa prosedur medis, misalnya untuk terapi tumor. Dari mana panas ini berasal dan bagaimana cara kerja RF ablasi? Untuk membahasnya, kita perlu mundur sejenak ke dua hal paling dasar yang mengilhami teknologi ini, yaitu listrik dan magnet.
Sejarah Listrik dan Magnet
Pada 1820, seorang fisikawan berkebangsaan Perancis, André-Marie Ampère (1775–1836) menemukan bahwa medan magnet searah dan konsentris dihasilkan di sekitar arus listrik yang mengalir melalui kawat konduktor. Penemuan Ampere ini lalu dikenal sebagai Hukum Ampere.
Ilustrasi Hukum Ampere, I: arus listrik, B: medan magnet. (Wikipedia).
Lalu, tak berselang lama, pada 1831, seorang fisikawan berkebangsaan Inggris, Michael Faraday (1791–1867) menemukan bahwa ketika medan magnet dikenakan pada sebuah pusat kumparan dari kawat konduktor yang terhubung ke suatu rangkaian listrik, maka akan dihasilkan suatu medan listrik induksi. Medan listrik induksi ini besarnya tergantung dari fluktuasi dari medan magnet tadi terhadap waktu. Penemuan Faraday ini kemudian dikenal sebagai Hukum Induksi Elektromagnetik Faraday.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan kedua prinsip fundamental inilah, fisikawan Inggris James Clerk Maxwell (1831–1879) menetapkan prisnsip elektromagnetisme pada 1868. Sejarah ini cukup menarik, mengingat Maxwell lahir di tahun yang sama ketika Faraday mengemukakan penemuannya tentang induksi elektromagnetik. Pada 1868, Maxwell menyebutkan bahwa gelombang elektromagnetik merupakan gelombang transversal (arah osilasinya tegak lurus terhadap arah rambatnya) yang dibangkitkan pada suatu proses di mana medan listrik dan medan magnet dihasilkan secara bergantian.
Ilustrasi gelombang elektromagnetik. (Wikipedia).
Pernyataan Maxwell ini merupakan teori di mana medan magnet yang dibangkitkan dari osilasi arus listrik akan menghasilkan medan listrik pada suatu interaksi berantai yang berikutnya akan kembali menghasilkan medan magnet, dan seterusnya. Dengan kata lain, gelombang elektromagnetik tak lain adalah gelombang bergerak karena suatu osilasi yang terdiri dari suatu fluktuasi medan listrik dan medan magnet pada suatu ruang hampa.
ADVERTISEMENT
Apa itu Gelombang RF
Gelombang RF atau gelombang frekuensi radio merupakan bagian dari keluarga gelombang elektromagnetik, seperti halnya cahaya tampak, sinar infra merah, sinar ultraviolet, dan sebagainya. Gelombang RF berada pada rentang frekuensi 10 kHz–100 GHz, lebih rendah dari frekuensi cahaya tampak dan sinar infra merah. Dari rentang frekuensi ini, gelombang RF yang dimanfaatkan untuk keperluan ablasi berada pada rentang frekuensi menengah, yaitu sekitar 300–500 kHz.
Spektrum gelombang elektromagnetik. (Wikipedia)
Ablasi sendiri merupakan prosedur medis berupa pengrusakan dan/atau penghilangan suatu bagian jaringan tubuh yang sakit atau merugikan dengan cara pemanasan, penguapan, pemotongan, proses erosif, atau metode lainnya. Pada ablasi frekuensi radio (ablasi RF), proses ini berupa pemanasan yang bersumber dari gelombang RF.
Bagaimana Gelombang RF Menghasilkan Panas?
ADVERTISEMENT
Gelombang RF yang merupakan gelombang elektromagnetik bolak balik dimanfaatkan dalam proses ablasi dengan cara mengenakannya pada sekumpulan jaringan tubuh yang ingin diterapi. Ketika gelombang RF dirambatkan pada jaringan tubuh melalui suatu elektrode, ion molekuler pada jaringan tersebut akan menyebabkan vibrasi (getaran) molekuler pada area sekitar jaringan. Friksi (gesekan) dari fluktuasi muatan ion ini kemudian akan menyebabkan timbulnya panas yang dikenal sebagai kalor Joule (Joule’s heat). Panas inilah yang akan menyebabkan nekrosis koagulasi (kematian jaringan karena terjadinya penggumpalan) di sekitar area target ablasi.
Ilustrasi ablasi pada tumor hati dengan gelombang RF yang dipandu dengan USG. (Wikipedia).
Perangkat ablasi RF terdiri dari generator sebagai sumber gelombang RF, elektrode aktif yang digunakan untuk menyalurkan gelombang RF ke tubuh, dan elektrode dispersif. Arus dari gelombang RF yang mengalir di dalam tubuh kemudian dinetralkan dengan elektrode dispersif yang terhubung ke grounding.
ADVERTISEMENT
Kalor Joule yang dibangkitkan oleh gelombang RF dapat dirumuskan dengan formula sederhana berikut:
Q = W.T
Di mana kalor Joule (Q) dihasilkan dari daya listrik (W) dikalikan waktu (T). Sebagaimana kita ketahui, daya listrik W adalah perkalian antara arus listrik dan tegangan (W = I.V), sehingga:
Q = I.V.T
Jika kita utak-atik lebih jauh, dari Hukum Ohm, tegangan (V) adalah perkalian dari arus (I) dan hambatan (R), sehingga, kita dapat tuliskan kembali:
Q = W.T = I.I.R.T = I^2.R.T
Rumus yang menghubungkan kalor Joule dengan arus listrik, hambatan dan waktu ini dikenal dengan Hukum Joule. Dari Hukum Joule ini, kita dapat melihat bahwa peningkatan kalor Joule yang dihasilkan berbanding lurus dengan nilai hambatan dari resistor.
ADVERTISEMENT
Selain itu, dengan asumsi sumber daya listrik tetap, besarnya arus yang mengalir akan menurun jika hambatan listrik dari jaringan tubuh meningkat. Sebaliknya, jika nilai hambatan listrik dari jaringan tubuh menurun, maka arus yang mengalir akan meningkat dan efek pemanasan yang signifikan akan terjadi di sekitar area target ablasi.
Mengapa Dipilih Rentang Frekuensi Menengah untuk Ablasi RF?
Untuk kalor Joule yang dibangkitkan oleh gelombang elektromagnetik, semakin tinggi frekuensi gelombang (semakin pendek panjang gelombangnya), maka gaya yang akan menggetarkan molekul menjadi lebih kuat sehingga kerusakan jaringan akibat efek pemanasan yang akan terjadi juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya arus yang mengalir.
Sebagai contoh, gelombang mikro (microwave) dengan frekuensi yang lebih tinggi dari gelombang RF untuk ablasi (di atas 500 kHz) akan menghasilkan kalor Joule yang lebih tinggi. Fenomena ini banyak dimanfaatkan pada peralatan rumah tangga, misalnya oven gelombang mikro (microwave oven) yang Anda gunakan untuk memanaskan makanan.
ADVERTISEMENT
Dengan kenyataan ini, gelombang mikro tidak cocok digunakan dalam dunia medis karena dapat menyebabkan efek pengrusakan jaringan yang berlebihan. Ketika DNA terpapar gelombang mikro dengan daya tinggi, gelombang mikro ini bisa saja merambat hingga ke molekul-molekul DNA dan merusaknya melalui efek ionisasi. Tentu hal tersebut tidak kita inginkan.
Sebaliknya, stimulasi dari gelombang elektromagnetik dengan frekuensi yang terlalu rendah (kurang dari 100 kHz) dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena efek shock yang dihasilkan di sekitar jaringan tubuh yang dipapar, bukan efek pemanasan seperti pada gelombang RF frekuensi menengah. Efek shock ini menimbulkan rasa sakit atau tidak nyaman pada jaringan saraf dan otot.
Oleh karena itu, untuk aplikasi ablasi RF dipilihlah rentang frekuensi menengah (300–500 kHz) untuk menimbulkan efek pemanasan yang tidak terlalu berlebihan dan pada saat yang sama menghindari efek shock yang dapat menstimulasi rasa sakit atau tidak nyaman pada saraf dan otot.
Ilustrasi konsultasi pasien kanker. (Unsplash).
Panas yang Ditimbulkan
ADVERTISEMENT
Kalor Joule atau panas yang dihasilkan dari gelombang RF akan luruh oleh aliran darah sehingga kemungkinan bahaya yang dapat merusak pembuluh darah dapat dihindari. Selain itu, gelombang RF yang digunakan di dunia medis akan ter-attenuasi (mengalami penurunan energi) seiring dengan bertambahnya kedalaman area jaringan tubuh.
Dengan kata lain, panas yang dihasilkan hanya akan terlokalisasi pada area yang sempit di sekitar ujung elektrode. Dengan sifat-sifat ini, ablasi RF dapat dikendalikan untuk mencapai kondisi nekrosis koagulasi sedang yang terlokalisasi pada area terbatas.
Nekrosis Koagulasi Termal
Efek nekrosis koagulasi termal atau kematian jaringan karena penggumpalan yang disebabkan oleh proses pemanasan adalah tujuan dari prosedur ablasi RF. Efek nekrosis ini terjadi pada rentang suhu tertentu dan perubahannya harus dapat dikendalikan dengan baik agar terapi ablasi dapat dilakukan secara efektif dan efisien tanpa merusak jaringan tubuh lain yang bukan target ablasi.
ADVERTISEMENT
Pada keadaan lingkungan dengan suhu sekitar 40˚C, homeostasis pada tingkat sel dapat terjadi secara alami. Homeostasis merupakan proses dan mekanisme otomatis yang dilakukan makhluk hidup untuk mempertahankan suatu kondisi tetap agar tubuh dapat berfungsi normal meskipun terjadi perubahan pada lingkungan di dalam atau di luar tubuh.
Pada kondisi lingkungan hipertermia di mana terjadi kenaikan suhu sekitar 42–45˚C, sel akan mulai mengalami kerusakan. Meskipun jaringan tubuh bisa terdiri dari berbagai jenis sel dengan siklus sel yang bervariasi terhadap perubahan suhu yang dapat menyebabkan kematian sel, waktu paparan terhadap suhu tertentu juga memainkan peran penting dalam hal ini. Sebagai contoh, pada suhu 46˚C dan waktu paparan selama 60 menit, sel dapat mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki kembali (irreversible) yang dapat menyebabkan disfungsi sel.
ADVERTISEMENT
Pada lingkungan dengan rentang temperatur yang lebih tinggi, yakni 60–100˚C, enzim cytosolic dan enzim mitokondrial dapat mengalami kerusakan irreversible secara instan (dalam waktu yang sangat singkat) sehingga dapat menyebabkan koagulasi protein sel.
Selanjutnya, pada suhu 105˚C atau lebih tinggi, sel-sel atau jaringan yang terbentuk dari agregatnya akan mendidih dan menguap. Kemudian, pada suhu 200˚C atau lebih tinggi akan timbul efek hangus terbakar (charring).
Pada prosedur ablasi RF, efek pemanasan ini harus merata dan homogen sehingga efek nekrosis koagulasi protein yang terjadi pada sel akan merata pula. Selain itu, efek panas yang ditimbulkan diharapkan hanya terlokalisasi pada area jaringan target ablasi dan hanya menimbulkan efek minimal (atau tidak sama sekali) pada jaringan lain yang bukan target ablasi.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai tujuan ini, tidak hanya dari segi perangkat ablasi RF-nya, keterampilan dokter juga memainkan peranan penting. Biasanya, koagulasi protein yang efektif dapat dicapai pada rentang suhu 50–100˚C dengan waktu paparan yang dikendalikan dengan seksama.
Pada perangkat ablasi RF modern, sebaran suhu dan kerusakan jaringan di area ujung elektrode dan area jaringan yang diablasi diamati dengan sensor tambahan berupa sensor suhu atau modalitas pencitraan medis seperti ultrasonografi, MRI atau CT-scan.
Prosedur ablasi pada jaringan hati yang diamati dengan CT-scan. (Wikipedia).
Sederhananya, kenaikan suhu dan sebaran kerusakan jaringan ini dipantau sepanjang waktu agar ablasi tepat mengenai area target. Informasi ini kemudian dijadikan umpan balik ke perangkat ablasi RF. Misalnya, jika terjadi pemanasan berlebih, generator RF akan menurunkan daya atau memutus aliran arus ke elektrode. Mekanisme lain yang biasa dilakukan adalah dengan mengalirkan air dingin di sekitar ujung elektrode untuk mencegah terjadinya pemanasan berlebih.
ADVERTISEMENT
Ablasi RF untuk Apa Saja?
Pada awalnya, ablasi RF paling banyak digunakan dalam terapi kanker, seperti kanker payudara, kanker hati, dan kanker paru-paru. Efek pemanasan homogen dan terlokalisasi ini dimanfaatkan untuk membunuh sel-sel tumor dengan tetap membiarkan sel-sel sehat di sekitarnya.
Malignant tumor (right) spreads uncontrollably and invades the surrounding tissues; benign tumor (left) remains self-contained from neighbouring tissue. (Wikipedia).
Prosedur ablasi RF untuk tumor dilakukan dengan memasukkan elektrode yang berbentuk jarum ke area jaringan target sehingga dokter biasanya hanya perlu membuat sayatan kecil saja. Dengan prosedur yang dikenal dengan pembedahan invasif minimal ini diharapkan pasien dapat pulih lebih cepat.
Dalam perkembangannya, ablasi RF kemudian dimanfaatkan tidak hanya untuk terapi kanker saja. Aplikasi lain misalnya untuk perawatan kulit atau melakukan proses pemotongan (cutting) dengan luka yang minimal. Ablasi RF juga dapat dimanfaatkan pada prosedur operasi gigi dan mulut untuk mengurangi pendarahan.
ADVERTISEMENT
Di bidang kardiologi, ablasi RF dapat digunakan untuk mengatasi gangguan ritmik jantung (aritmia) dengan mengablasi area tertentu dari otot jantung melalui kateter yang dimasukkan lewat pembuluh darah yang menuju jantung.
Dalam berbagi prosedur medis, ablasi RF juga dapat digunakan untuk mengeringkan luka dan menghilangkan jaringan lemak di area bawah kulit.
Ablasi RF menjadi pilihan terapi medis yang menjanjikan yang menawarkan pemulihan lebih cepat daripada operasi atau bedah terbuka. Dari fakta dapat berubahnya energi listrik menjadi energi kalor atau panas, alam mengajarkan kita bahwa energi hanya dapat diubah-ubah bentuknya, ia tak dapat diciptakan, tak dapat pula dimusnahkan.
Referensi
Jimbo, K. and Kinoshita, T., A Theory of Radiofrequency Ablation (RFA) (Chapter 4) in Non-surgical Ablation Therapy for Early-stage Breast Cancer (Kinoshita, T. ed.), Springer Japan, 2016.
ADVERTISEMENT
Prayogo, G.I. dan Putri, Y.Y., Desain Prototipe Sistem Pengukuran dan Estimasi Temperatur Nonkontak pada Ablasi Frekuensi Radio dengan Elektrode Forceps Bipolar. Tugas Akhir, Teknik Fisika, Institut Teknologi Bandung, 2016.