Pendiam Bukan Berarti Tidak Ingin Diperhatikan

Hidar Amaruddin
Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan UNU Yogyakarta
Konten dari Pengguna
7 Desember 2021 6:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ruang kelas itu masih sunyi. Seorang anak perempuan sudah duduk termangu di salah satu bangku paling depan. Kakinya mengayun-ayun, tangannya menggenggam buku yang lima menit lalu ia ambil dari rak pojok baca. Buku setebal sepuluh halaman itu belum sempat ia baca. Tatapannya tajam menyelidiki ilustrasi sampul buku. Dalam pikirannya berkata, “Sangatlah bahagia rasanya jika setiap hari aku bisa menggambar ilustrasi untuk bukuku sendiri”. Puas anak itu mengamati sampul, jarinya mulai menyibakkan halaman pertama. Terang sinar memancar dari retina, mulutnya menganga. “Wah!”, batinnya dalam hati, lalu bergumam “Bagaimana ia bisa menggambar bulan dalam gendongan seorang anak kecil?”
ADVERTISEMENT
Tak terasa anak tersebut telah menghabiskan sepuluh menit untuk menikmati buku dongeng dengan tema astronomi. Satu per satu teman sekelasnya berdatangan memasuki ruang. Ia bergegas memasukkan buku tersebut ke laci, agar tak ada yang mengambilnya seenak hati. Suasana yang semakin ramai, justru membuat ia jengkel, “Duniaku sudah dimasuki oleh orang-orang asing”.
Pada jam pertama gurunya membagi siswa di kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Belum usai gurunya memberikan instruksi, anak tersebut sudah berdiri dan berjalan menuju meja pojok kanan belakang. Bangku tersebut tak ada yang menduduki. Guru yang heran kemudian bertanya.
“Kenapa kamu duduk sendiri? Mengerjakannya harus berkelompok.”
“Ibu guru, hampir setahun aku di kelas ini. Setiap ada kegiatan berkelompok, aku selalu tersisih. Tak ada yang ingin mengajakku bergabung ke dalam kelompok.”
ADVERTISEMENT
Anak perempuan tersebut mengingatkan kita pada kaum introver. Sebenarnya, introver tidak selalu menyendiri. Introver suka bersosialisasi, bukan untuk basa-basi, melainkan mencari obrolan bermakna, versi mereka. Namun tak banyak yang mampu mengidentifikasi seseorang itu introver atau ekstrover, bahkan oleh guru ataupun orang tuanya sendiri. Mereka menganggap keterasingan semacam itu adalah hal yang wajar di usia-usia pendidikan dasar.
Jangan salah, seorang introver lebih memperhatikan kualitas dibanding kuantitas. Untuk lingkar pertemanan, ia menyeleksi siapa saja yang layak menjadi temannya. Kelayakan itu dapat dilihat dari kenyamanan dan kesamaan. Tentu introver ada berbagai macamnya, seperti introver sosial, introver yang cemas, introver yang ektra hati-hati, hingga cara berpikir introver.
Apakah kaum introver nyaman dengan kesendirian mereka selamanya? Menurut saya tidak. Seorang introver tetap akan membutuhkan orang lain untuk bersama-sama mengobrolkan dunianya. Meski hanya terjadi sesekali, tetap membutuhkan orang untuk menemani.
ADVERTISEMENT

Gangguan Non-Komunal

Tak selamanya seseorang yang menyendiri dan tak memiliki teman bisa dikatakan introver. Bisa saja orang tersebut mengalami gangguan yang disebut non-komunal. Artinya tak sepenuhnya orang tersebut menutup diri dari lingkup sosial. Gangguan sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya individu non-komunal bersosialisasi. Gejala tersebut diangkat menjadi anime di Jepang dengan judul Komi-san wa, Comyushou desu. Menceritakan seorang siswi bernama Komi yang mengalami kesulitan untuk berkomunikasi dengan teman sebayanya. Kegagapan, ketegangan, dan artikulasi yang tidak jelas, membuat ia menjadi pendiam, daripada bercakap-cakap layaknya remaja seusianya. Hadirnya Tadano sebagai sosok siswa yang “tersingkirkan” dari pergaulan kelas, justru menjadi penolong, membantu Komi untuk mendapatkan teman.
ADVERTISEMENT
Nah, pihak kedua dibutuhkan sebagai penyambung lidah, untuk mengenalkannya kepada teman lainnya. Perlu observasi partisipatif lebih lanjut mengenai anak yang menutup diri dari pergaulan. Benarkah ia seorang introver, atau mungkin hanya kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Membangun Kepercayaan Diri, Membesarkan Hati

Anak yang menutup diri, introver, ataupun non-komunal, tak bisa dihiraukan begitu saja. Mereka tetap memerlukan perhatian. Hanya saja mereka kesulitan untuk merasa “diakui” oleh sekelilingnya. Untuk itu apabila kamu menjadi seorang guru, kamu bisa menggunakan cara-cara berikut:
Pertama, tumbuhkan kepercayaan diri anak tersebut. Ajaklah ia untuk ikut antusias dalam pembelajaran yang bersifat praktik. Ciptakanlah suasana pembelajaran yang nyaman, agar ia ikut merasa “bahagia” dan “percaya diri” saat tampil di depan orang banyak. Berikanlah semangat melalui ekspresi wajah, gerak tubuh, dan pujian lisan. Hal tersebut membuat teman-temannya ikut menyadari jika anak tersebut ternyata memiliki kelebihan yang patut dibanggakan.
ADVERTISEMENT
Kedua, membesarkan hati. Seorang yang tidak memiliki kepercayaan diri, biasanya tidak pernah mendapatkan pengakuan dari orang lain. Pengakuan itu sebenarnya tidak selalu berwujud hal-hal besar. Cukup diakui bahwa “ia” itu ada. Tidak menjadi beban, apalagi untuk disingkirkan. Pengakuan “ada” itu bisa dihadirkan lewat perangkulan pergaulan selama belajar kelompok, ataupun dalam berkomunikasi sehari-hari.
Adakah temanmu yang pendiam. Coba rangkul dia, ajak bicara dari hati ke hati. Jangan sampai ia merasa sendiri.