Puisi yang Itu-itu Saja di Sekolah

Hidar Amaruddin
Dosen di Fakultas Ilmu Pendidikan UNU Yogyakarta
Konten dari Pengguna
28 Desember 2021 19:41 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidar Amaruddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Membaca buku. Ilustrasi: freepik
zoom-in-whitePerbesar
Membaca buku. Ilustrasi: freepik
ADVERTISEMENT
Sejak sekolah dasar hingga menengah atas, tiap diminta guru untuk menuliskan puisi, saya jarang menemukan contoh-contoh puisi sebagai gambaran menulis awal. Paling-paling puisi “Aku” dari Chairil Anwar. Puisi Chairil memang memiliki keunikan meledak-ledak, berapi-api, ditulis pada era kemerdekaan. Sedangkan sebagai siswa, saya sulit mengimajinasikan puisi dengan tema alam, sejarah, dsb.
ADVERTISEMENT
Guru memberikan penjelasan jika puisi memiliki pakemnya sendiri. Seperti harus ada rima, ditulis dalam bentuk baris-baris, dan kata-kata yang dipilih haruslah indah. Untuk urusan “indah”, membuat kami sebagai siswa kebingungan. Indah yang seperti apa? Apalagi keindahan itu bersifat relatif: indah menurut saya, belum tentu menurut gurunya. Selain itu, penilaian objektif puisi pun tak pernah saya peroleh. "Dari mana nilai 90? Bagaimana puisi saya dikatakan jelek?" Hanya ada nilai angka, huruf. Tak pernah ada kejelasan, dari kekurangan hingga saran.
Tak berhenti di situ. Pemahaman perbedaan antara puisi dan prosa kurang tegas. Batas-batasnya masih samar. Banyak ungkapan klise. Hingga pertanyaan kembali muncul, "kenapa puisi teman-teman saya seperti cerita pendek ya?" Bedanya hanya pada bentuknya yang ditulis dalam baris-baris. Secara keseluruhan, sama dengan unsur-unsur prosa.
ADVERTISEMENT
Ketika menjadi guru, lomba literasi, pasti turut menghadirkan puisi, entah sebagai penciptaan atau pembacaan. Ternyata contoh-contoh puisi lebih beragam, meski puisi yang ditampilkan hanya dari lima penulis, Joko Pinurbo (Baju Bulan), Chairil Anwar (Doa), Amir Hamzah (Ibuku Dehulu), Adri Darmadji Woko (Sejumlah Anak), dan Paundra (Kami Pewaris Negeri Ini). Dari ratusan anak yang mengikuti lomba, diwajibkan membacakan salah satu puisi tersebut. Dari tahun 2019-2021, ternyata tidak ada penambahan untuk puisi yang dihadirkan.
Saya pernah menjadi guru pembimbing dua macam lomba puisi, penciptaan dan pembacaan. Dan dua-duanya juga memiliki kesulitan masing-masing. Kita bahas yang pertama terlebih dahulu, menciptakan puisi baru. Biasanya dalam lomba selalu ada tema dalam menulis puisi. Setelah anak memilih tema, maka dibebaskan untuk mengeksplorasi berbagai ide dan imajinasi untuk menuangkannya dalam bentuk puisi. Kebanyakan anak-anak—terpilih untuk lomba—tetap saja kesulitan ketika menulis puisi. Mereka masih ragu-ragu, dalam memilih diksi. Ketika saya bertanya, "apa kalian pernah baca puisi?" Serempak menjawab, tidak!
ADVERTISEMENT
Kemudian saya menanyakan ulang kepada mereka. “Kalau memang tidak pernah membaca, kenapa kalian diminta untuk jadi perwakilan lomba?” Kompak mereka menggelengkan kepala sambil mengangkat bahu. Lalu saya mencoba mengonfirmasi ke guru yang memilih mereka, dan jawabannya membuat saya ikut terkejut: mereka anak-anak pintar. Lagi-lagi finalis lomba hanya dinyatakan dengan kepintaran, padahal kepintaran masing-masing individu pasti berbeda-beda. Tidak semua anak menguasai verbal-linguistik dengan baik. Bekal kecerdasan yang digunakan untuk menciptakan puisi.
Karena sudah telanjur, mau tidak mau mereka terpaksa mengeluarkan seluruh tenaga dan pikiran untuk menulis puisi. Alhasil, lagi-lagi mereka membuat prosa liris, bukan puisi. Jika memang ada metafora, hadirnya tipis, samar-samar, dan klise. Diksi yang sama diulang-ulang. Dan yang membuat saya geram adalah, mereka tak bisa meninggalkan kata “Oh....” di dalam puisi. Peristiwa yang sama, seperti para siswa di kelas saya. Padahal mereka adalah orang-orang terpilih, namun tetap tak ada bedanya.
ADVERTISEMENT
Kedua, tentang pembacaan puisi. Setelah saya meminta empat hingga lima siswa yang akan menjadi peserta lomba membacakan puisi yang dipilih, intonasi dan ekspresi mereka sama. Naik-turun nada bicara, ekspresi tangan ke atas, dan intonasi yang meledak-ledak. Terlepas itu puisi bertema alam, kesedihan, kesendirian, nasionalisme, disampaikan dengan gaya yang sama. Sebagai perbandingan saya mulai mencari video peserta lain yang sudah diunggah di Youtube. Sama sekali tak ada perbedaan. Dengan putus asa, saya memegang kepala, sambil menekuri kaki, "apakah ada yang salah dalam pengajaran puisi selama ini?"
Mungkin saya menjadi salah satu orang yang beruntung, karena bisa menempuh kuliah hingga bekerja di kota-kota besar. Karena dapat mampir ke toko-toko buku. Awal saya memeriksa rak-rak buku sastra, betapa terkejutnya, ternyata ada banyak sekali macam puisi dan penyair—jauh sebelum platform jual-beli online menjamur seperti sekarang. Buku puisi yang memikat dan terbeli pertama kali dari seorang penyair ternama, "Sapardi Djoko Damono". Dalam proses pembacaan, memang saya kesulitan mencerna makna puisi yang berlapis-lapis. Sembari membaca puisi SDD, saya berulang kali menonton video beliau di Youtube saat membahas tentang puisi. Yang masih melekat dalam ingatan adalah pernyataan beliau yang mengatakan “puisi adalah bunyi”. Tak hanya sekadar rima dan irama, juga bercerita. Berikut saya kutipkan puisi Sapardi Djoko Damono.
ADVERTISEMENT
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Dalam perkembangan buku bacaan, saya menemukan nama-nama penyair lain seperti, Goenawan Mohamad, Ahmad Mustofa Bisri, Emha Ainun Najib, Joko Pinurbo, Hasan Aspahani, Hasta Indriyana, Aan Mansyur, Mario F. Lawi, Adimas Immanuel, Inggit Putria Marga, Theoresia Rumte, Widya Mareta, dan masih banyak nama penulis lain. Tiap penyair memiliki keunikan yang berbeda-beda. Selain itu saya mulai mengoleksi buku-buku yang membahas tentang teknis penulisan puisi seperti, Seni Menulis Puisi (Hasta Indriyana) & Menyentuh Jantung Bahasa Meraih Hati Puisi (Hasan Aspahani).
ADVERTISEMENT
Kemajemukan tema dan penyair, menyiratkan tanda tanya, alpanya pada kurikulum yang hadir di sekolah. "Kenapa nama yang ditampilkan hanya itu-itu saja?" Jika seorang guru harus mengeksplorasi mandiri, "bagaimana dengan nasib kawan-kawan guru yang memiliki keterbatasan dalam mengakses buku-buku puisi tersebut? Lalu bagaimana cara menyegarkan kembali pengajaran puisi di sekolah?"
Meski pembahasan dan evaluasi perihal puisi terbatas di ruang-ruang kelas. Saya selalu menghadirkan contoh-contoh puisi dari berbagai penyair, dari era kemerdekaan hingga kontemporer. Karena sekarang akses internet lebih mudah, saya tampilkan puisi-puisi itu melalui google, sekaligus mencontohkan cara membaca puisi melalui video di Youtube. Di sisi lain kehadiran pojok baca kelas, saya isi dengan buku-buku puisi yang beragam. Meski ada beberapa kawan yang mengkritisi jika buku-buku puisi tersebut terkesan berat bagi siswa. Lalu dengan candaan saya menjawabnya, kita terlalu meremehkan kemampuan berpikir kritis anak, sampai-sampai kita membatasi bahan bacaan anak. Imajinasi anak itu lebih liar dan segar, dibandingkan kita orang dewasa yang telah disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administrasi.
ADVERTISEMENT
Ada puisi yang sering saya bacakan untuk mengajarkan puisi adalah bunyi, sekaligus memperlihatkan betapa kayanya kamus besar bahasa Indonesia pada siswa. Puisi tersebut ditulis oleh Joko Pinurbo, penyair yang sering menyisipkan humor untuk mengulas tragedi dalam puisi.
Kamus Kecil
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia yang pintar dan lucu
Walau kadang rumit dan membingungkan
Ia mengajari saya cara mengarang ilmu
Sehingga saya tahu
Bahwa sumber segala kisah adalah kasih
Bahwa ingin berawal dari angan
Bahwa ibu tak pernah kehilangan iba
Bahwa segala yang baik akan berbiak
Bahwa orang ramah tidak mudah marah
Bahwa untuk menjadi gagah kau harus menjadi gigih
Bahwa seorang bintang harus tahan banting
Bahwa orang lebih takut kepada hantu ketimbang kepada Tuhan
ADVERTISEMENT
Bahwa pemurung tidak pernah merasa gembira
Sedangkan pemulung tidak pelnah merasa gembila
Bahwa orang putus asa suka memanggil asu
Bahwa lidah memang pandai berdalih
Bahwa kelewat paham bisa berakibat hampa
Bahwa amin yang terbuat dari iman menjadikan kau merasa aman
Bahasa Indonesiaku yang gundah
Membawaku ke sebuah paragraf yang merindukan bau tubuhmu
Malam merangkai kita menjadi kalimat majemuk yang hangat
Di mana kau induk kalimat dan aku anak kalimat
Ketika induk kalimat bilang pulang
Anak kalimat paham
Bahwa pulang adalah masuk ke dalam palung
Ruang penuh raung
Segala kenang tertidur di dalam kening
Ketika akhirnya matamu mati
Kita sudah menjadi kalimat tunggal
Yang ingin tinggal
Dan berharap tak ada yang bakal tanggal
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikatakan Joko Pinurbo pada acara NGOBRAS Ketemu Buku Semarang tahun 2019, berbeda dengan prosa, puisi itu memadatkan yang cair. Dalam mengajarkan puisi pada siswa, yang pertama kali dilakukan adalah pengenalan, betapa asyiknya belajar puisi, ragam makna—membuat kita mempunyai ruang seluas-luasnya untuk mengartikannya.