Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Ara Contemporary yang Memulai dengan Segalanya
13 April 2025 17:52 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Jakarta menyambut kehadiran galeri seni baru bernama Ara Contemporary. Kota ini seperti masih ingin menegaskan dirinya sebagai kawah seni kontemporer Asia. Berlokasi strategis di Jalan Tulodong Bawah 1 Nomor 163, Senayan, ruang ini tak sekadar memajang karya—ia menghidupkan narasi.
ADVERTISEMENT
Pada 12 April 2025, Ara Contemporary meluncurkan pameran perdana bertajuk “We Begin With Everything”, sebuah deklarasi ambisius yang menyatukan 17 seniman lokal dan internasional dalam gelaran yang akan berlangsung hingga 4 Mei 2025. Seperti judulnya yang provokatif, “We Begin With Everything” bukan sekadar kumpulan kata—ia jadi semacam manifesto.
Frasa ini menantang mitos “proses bertahap” dengan melemparkan semua kartu sejak awal: sumber daya, ide brilian, dan keyakinan tak tergoyahkan bahwa setiap langkah pertama haruslah melompat, bukan merangkak. Optimisme itu menjelma dalam warna, bentuk, dan cerita yang memenuhi setiap sudut galeri—seolah berbisik: “Perjalanan besar selalu dimulai dengan tekad yang utuh.”
Ara, terinspirasi dari bahasa Sanskerta yang bermakna “tempat perlindungan” sekaligus “mitra”, dimaksudkan hadir sebagai ruang yang tak hanya memayungi eksperimen estetika, tetapi juga menjadi jembatan dialog antara seniman dan dunia. Galeri ini didirikan oleh tiga orang: Megan Arlin, Fiesta Ramadanti, dan Fredy Chandra. Ketiganya sudah cukup lama beraktivitas di skena seni rupa; Danti di Art Jakarta dan ROH Projects; Fredy di Mizuma Gallery; dan Megan di Sullivan+Strumpf.
Perjalanan mereka selama ini memantik satu kesadaran: Asia Tenggara punya bahasa visual yang unik, tapi belum sepenuhnya terdengar di panggung global. “Kami mendirikan [Ara] karena ingin merepresentasikan seniman Asia Tenggara ke kancah global,” ucap Megan.
ADVERTISEMENT
Tersembunyi di antara gemerlap kompleks perumahan elite, keberadaan Ara Contemporary memang ibarat sengaja dikelabui dari sorot lampu jalanan utama. Begitu berhasil menemukan gerbangnya, serangkaian tangga menjulang tinggi menyambut Anda menuju dua ruang galeri.
Main Gallery-nya berada di lantai 2 yang juga nantinya akan berfungsi sebagai ruang pamer utama, memajang berbagai karya seniman arus utama. Kemudian di lantai bawahnya ada ruang yang diberi nama Focus yang nantinya akan dikhususkan bagi emerging artist.
Keberagaman Medium dan Narasi
Pameran perdana Ara Contemporary menyuguhkan simfoni visual yang dipersembahkan oleh deretan seniman dari dalam dan luar negeri. Seniman asal Indonesia yang berpartisipasi adalah Agan Harahap, Albert Yonathan Setyawan, Condro Priyoaji, Irfan Hendrian, Ipeh Nur, Iwan Effendi, Mar Kristoff, S.Urubingwaru, dan Wedhar Riyadi.
ADVERTISEMENT
Adapun seniman lainnya yang berpartisipasi adalah Alisa Chunchue (Thailand), Carmen Ceniga Prado (Seoul/Spanyol/Singapura), Dawn Ng (Singapura) yang berkolaborasi dengan Sullivan+Strumpf Enggar Rhomadioni (Indonesia). Lalu ada Kelly Jin Mei (Singapura), Marcos Kueh (Malaysia) – bekerja sama dengan The Backroom Natalie Sasi Organ (Thailand), serta Xiuching Tsay (Thailand).
Sejenak setelah memasuki pintu ruang galeri mata langsung tertambat pada O<>O<>O<> karya Irfan Hendrian—sebuah komposisi dari ratusan lapis kertas yang disusun seperti topografi. Karya berukuran 95x200 cm ini mengundang penonton untuk menyelami ilusi ruang melalui medium yang sering dianggap remeh: kertas. Masih dengan ciri khasnya, seniman jebolan ITB ini memanfaatkan kertas dengan menyusunnya lapis demi lapis sehingga membentuk pola yang unik dan bentuk baru.
ADVERTISEMENT
Di samping karya Irfan ada karya Ipeh Nur berjudul ”Dejavu: I See an Ocean” (2025) berukuran 114 cm x 158 cm x 3,5 cm. Sekilas, lukisan itu seperti tidak ada bedanya dengan lukisan yang diciptakan menggunakan cat lukis konvensional. Namun, ia tidak menggunakan cat minyak atau akrilik, melainkan tanah lumpur dan serpihan batu putih dari empat wilayah sekitar Gunung Muria: Demak, Pati, Kudus, dan Grobogan.
Ipeh Nur mengumpulkan tanah lumpur dan kikisan batu putih dari empat kota yang disinggahi di kawasan Muria dan sekitarnya. Empat kota itu adalah Demak, Pati, Kudus, dan Grobogan. Situs penting yang dieksplorasi antara lain Situs Purbakala Patiayam dan Bledug Kuwu. Setiap guratan di kanvas ini adalah jejak geologis—tanah dari Situs Patiayam yang menyimpan fosil gajah purba, hingga mineral dari Bledug Kuwu yang meletup seperti nafas bumi.
ADVERTISEMENT
Karya ”Dejavu: I See an Ocean” melukiskan sebuah fosil kerangka hewan purba di suatu kawasan pegunungan. Ia melukiskan situasi di Situs Purbakala Patiayam, sekaligus merekam situasi pegunungan yang mirip ia temui ketika berkunjung ke Uni Emirat Arab, belum lama ini.
Ipeh Nur pada awal 2025 ini menjadi salah satu peserta Sharjah Biennial 2025. Ia sempat ke Sharjah dan mengunjungi kawasan pegunungan Hajra di sana. “Pemandangan batuan gersang itu seperti cermin dari Muria. Keduanya menyimpan memori ketika daratan masih menjadi lautan jutaan tahun lalu,” ujarnya.
Ia menuangkan perasaan dejavu itu ke dalam lukisannya sekarang. Ipeh juga menyinggung kawasan yang dulunya menjadi kawah Gunung Muria sekarang berubah menjadi sebuah desa yang dihuni penduduk. Gunung Muria yang “tidur” itu sesungguhnya adalah kawah aktif yang dikelilingi permukiman padat.
ADVERTISEMENT
Metafora itu diwujudkan melalui instalasi pendamping: keramik berbentuk kerucut terbalik dengan tabung kaca rapuh di dasarnya. “Bentuk ini mengingatkan pada kawah yang terancam aktivitas manusia. Tabung kaca itu ibarat detak jantung gunung, mudah pecah,” jelas Ipeh.
Melalui eksperimen medium yang tak biasa, Ipeh tidak sekadar bercerita tentang masa lalu, tetapi juga mengajak kita merenungi paradoks kemajuan. Tentang bagaimana kita membangun peradaban di atas tanah yang sesungguhnya masih “bernapas”. Tidak hanya mengandung media yang tidak biasa, karya seni kontemporer Ipeh Nur menyuguhkan beragam narasi yang juga tidak biasa.
Di sudut lain galeri, Iwan Effendi menggoda imajinasi dengan “Simpingan”—sebuah kanvas raksasa yang dipenuhi barisan boneka tanpa ekspresi. Figur-figur itu berbaris dalam diam. Wajah-wajah polos tanpa ekspresi itu seperti cermin kosong: ada potensi ribuan cerita yang bisa meletup, tapi sengaja dikunci dalam kesenyapan.
ADVERTISEMENT
Tak heran, karya ini langsung mengingatkan pada estetika surealis Papermoon Puppet Theatre—sebuah kelompok teater di mana Iwan selama ini menjadi arsitek boneka-boneka penuh misteri itu. Di sini, sang seniman membongkar rahasia di balik wajah “tanpa jiwa” yang jadi ciri khas karyanya. “Wajah melamun ini sengaja dibuat netral agar puppeteer bisa menciptakan emosi apapun lewat gerakan,” ujarnya.
Dalam teater, boneka adalah medium yang mati sampai disentuh oleh nafas manusia. Tapi di atas kanvas ini, Iwan membalik logika itu: figur-figur yang biasanya hidup di panggung justru dibekukan dalam keheningan, menjadi simbol dari segala sesuatu yang tersimpan—seperti makna tersembunyi dari kata “Simpingan” dalam bahasa Jawa.
Namun, justru dalam kekosongan itulah tafsir maknanya bersembunyi. Setiap boneka dalam “Simpingan” adalah metafora tentang ruang hampa yang menanti diisi. Wajah tanpa ekspresi itu bukan kekurangan, melainkan pintu gerbang: sebuah undangan untuk menciptakan marah, rindu, atau tawa sesuai sudut pandang penonton.
ADVERTISEMENT
Di lantai bawah, ruang Focus, ada dua kanvas besar yang berdampingan, seolah bercerita dalam satu tarikan napas. Karya-karya ini adalah ciptaan S. Urubingwaru, seorang seniman cum mahasiswa seni yang sedang gandrung menyelami genre realisme magis.
Lukisan di sisi kiri menggambarkan sebuah adegan yang terasa seperti potret kehidupan sehari-hari, namun dipenuhi elemen-elemen yang aneh dan magis. Lukisan di sisi kanan melanjutkan narasi dengan suasana yang lebih gelap namun penuh energi.
S. Urubingwaru memadukan elemen realisme magis dalam kedua lukisan ini. Realisme terlihat pada penggambaran figur-figur yang begitu manusiawi—dari pakaian mereka yang beragam hingga gestur tubuh yang alami. Elemen magis muncul melalui detail-detail yang tidak biasa: monyet dengan kacamata hitam, tengkorak yang berdiri sebagai saksi bisu, tangga spiral yang seolah tak memiliki ujung, dan lampu neon ungu yang memberikan nuansa surealis pada ruangan.
Kedua lukisan ini seolah mencerminkan dualitas dalam kehidupan manusia: antara keteraturan dan kekacauan, antara kepastian dan misteri. Figur-figur dalam lukisan sekilas tampak penuh kontrol namun elemen-elemen seperti monyet berkacamata dan tangga spiral mengingatkan bahwa ada hal-hal di luar kendali kita. Gabungan elemen-elemen realisme magis ini hadir dengan cara yang begitu alami, sehingga kita merasa seolah-olah sedang menyaksikan sebuah mimpi yang nyata.
ADVERTISEMENT
Alhasil, Ara Contemporary, dengan pameran perdananya ini sedang merajut benang-benang narasi yang selama ini terserak: dari tanah vulkanik Muria yang menyimpan denyut purba, hingga boneka-boneka tanpa ekspresi wajah yang memantik pertanyaan tentang eksistensi. Setiap karya di sini adalah manifesto diam-diam: pengingat bahwa seni kontemporer Asia Tenggara bukan lagi sekadar pengamat di pinggiran, melainkan pencerita utama yang memegang peta bahasanya sendiri. Semoga benar adanya!