Jalan Buntu Perpisahan Tanpa Lambaian Tangan

Hidayat Adhiningrat
Karyawan swasta
Konten dari Pengguna
31 Mei 2017 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Adhiningrat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
War (Foto: Pixabay)
Halillah Seroja Daulay membonceng sepeda motor yang dikendarai Iwan Setiawan, suaminya, melintas di depan kantor Kedubes Australia 9 September 2004 lalu. Saat itu ia tengah mengandung Rizki (buah hati mereka berdua). Usia kandungannya sudah mencapai delapan bulan.
ADVERTISEMENT
Dalam waktu bersamaan, Heri Kurniawan membawa bom dengan daya ledak besar menggunakan sebuah minivan. Heri mengarahkan minivan berisi bom itu ke depan gerbang Kedubes Australia.
Bom pun meledak.
Tak ada yang menduga, dalam hitungan detik, kaca-kaca jendela gedung di sekitar Kedubes Australia hancur berantakan. Hiruk-pikuk keramaian di kawasan Segitiga Emas Kuningan berubah menjadi kekacauan dan kepanikan.
Bom meledak tepat ketika Iwan dan Hallilah melintas. Keduanya terlempar dari motor. Halillah mengalami cedera di kepala, tangan, kaki, pantat, gendang telinga, dan tulang belakang. Mata sebelah kiri Iwan lepas. Hingga kini ia harus memakai protesa mata (mata palsu).
Sebulan kemudian Rizki lahir. Namun, Halillah hanya bisa menemani Rizki selama dua tahun. Ia meninggal, diduga karena tubuhnya tak mampu menahan cedera akibat ledakan bom itu lebih lama lagi.
ADVERTISEMENT
Saya mendengar kisah pilu ini dalam sebuah kegiatan yang diadakan oleh Aliansi Indonesia Damai di Jakarta. Sembari sesekali berhenti untuk menyeka air matanya, Iwan bercerita.
“Anak saya... setiap sore…,” ucap Iwan sambil terisak.
Rizki, tutur Iwan, begitu senang bertandang ke masjid. Bapaknya bilang, sang ibu telah pulang ke rumah Tuhan. Setahu Rizki, masjidlah rumah Tuhan itu. Anak itu kerap kali ke masjid demi mencari ibunya.
Kisah keluarga Iwan menjadi satu contoh dari sekian banyak efek kebiadaban aksi teroris. Mereka tak tahu apa-apa. Mereka tak pernah terlibat dalam "perang ideologi" itu.
Mereka, bisa dikatakan, hanya ada di "tempat yang salah dalam waktu yang salah". Namun, mereka harus ikut-ikutan menanggung beban batin seumur hidupnya.
ADVERTISEMENT
Apakah ini adil, hai teroris?!
Kisah lain tentang efek aksi teror bisa dibaca di buku Janda-Janda Korban Terorisme. Adalah 14 janda korban Bom Bali, bercerita tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal dan menjalani hidup dengan kuat sampai mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Ibu-ibu ini mengajarkan anak-anaknya untuk bisa menerima dan memaafkan pelaku. Meski, tak terpungkiri, masih ada dendam trauma yang tersisa. Karena terlanjur membekas abadi.
Peristiwa Bom Bali tahun 2002 dan 2005 merenggut banyak sekali korban. Kebanyakan WNI yang menjadi korban adalah tulang punggung keluarga yang sedang menjalankan tugas mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.
Bayangkan bagaimana dampak yang dirasakan oleh keluarganya?
Terorisme adalah metode perang yang tidak jantan. Terorisme seringkali melanggar "tata cara perang", seperti pola penyerangan tiba-tiba dan penyerangan yang ditujukan untuk target yang acak sehingga banyak warga sipil menjadi korban.
ADVERTISEMENT
Terorisme memang kerap digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu, serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah.
Terorisme -ini yang membuatnya terkesan tidak jantan- tidak ditujukan langsung kepada siapa yang menjadi lawannya, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja.
Terorisme nyatanya belum berakhir. Tak cukup kesedihan dan rasa kehilangan untuk menghentikannya.
Bom bunuh diri meledak di Kampung Melayu pada Rabu, 24 Mei lalu sekitar pukul 21.00 WIB. Akibat peristiwa itu, 2 pelaku bom bunuh diri tewas, 3 polisi gugur dan 11 orang lainnya terluka.
Ada yang memanfaatkan tragedi ini untuk menyerang kelompok tertentu. Ada yang memanfaatkan tragedi ini untuk meneguhkan eksistensi diri.
ADVERTISEMENT
Semoga kita tidak pernah lupa, Ada yang akan mengingat tragedi ini sebagai sebuah trauma. Ada keluarga yang telah kehilangan sosok yang mereka cintai, selamanya.
Bagi mereka, hari itu adalah awal dari hari-hari yang kosong dan wajah yang hanya bisa diingat dalam kenangan. Ada luka yang bertaut dengan trauma juga perpisahan tanpa lambaian tangan.
Masihkah ada yang murung di sini? Terutama ketika ada orang yang bersedia membunuh agar kehadirannya diketahui dunia.
Mengutip salah satu nukilan naskah Catatan Pinggir Goenawan Mohammad:
“Sebab pada tubuh yang berkeping-keping, pada kepala yang menggelinding lepas di tepi jalan itu, apa sebenarnya yang hendak diungkapkan? Pesan apa yang dapat disampaikan? Hanya sebuah jalan yang tak ada ujung, yang juga sebenarnya adalah jalan yang buntu.”
ADVERTISEMENT