Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kamala Harris, Pertaruhan Negeri Harapan dan American Dreams
26 Juli 2024 11:27 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Hidayat Doe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bakal calon Presiden Amerika Serikat yang juga calon petahana, Joe Biden, menyatakan mundur dari pencalonannya dari partai Demokrat. Sosok yang populer bakal menggantikan posisi Biden adalah Kamala Harris, Wakil Presiden AS yang kini sedang menjabat.
ADVERTISEMENT
Mundurnya Biden disebut-sebut karena kuatnya desakan pendukung dan elite partai Demokrat pasca debat yang diselenggarakan pada 27 Juni 2024 lalu. Pada sesi debat itu, Joe Biden tampak gagap dan kesulitan menyampaikan gagasannya menghadapi serangan Donald Trump dalam debat tersebut.
Dampaknya, banyak kalangan petinggi Demokrat dan pendukung meragukan kemampuan Biden untuk melanjutkan kepemimpinannya. Muncul keraguan besar, jika Joe Biden tetap dicalonkan, akan dikalahkan oleh Trump, rivalnya saat bertarung di Pilpres 2020 lalu.
Maka, keputusan mundur dari pencalonan adalah pilihan akhir yang diambil Biden sebulan menjelang konvensi nasional Partai Demokrat pada 19-22 Agustus 2024 di Chicago. Dalam keputusannya itu, Biden meng-endorse Kamala Harris sebagai bakal calon kuat dari partainya yang akan mengadang ambisi Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Nama Kamala Harris pun menguat pasca pengunduran diri Joe Biden. Banyak tokoh politik Partai Demokrat telah mengutarakan dukungannya pada Harris. Bahkan, dikabarkan, Harris telah mengantongi dukungan semua pemimpin daerah Partai Demokrat di 50 negara bagian Amerika Serikat.
Kamala Harris sebenarnya sisa menunggu penahbisan resmi di acara konvensi Partai Demokrat bulan depan. Meskipun, beberapa nama bakal calon dari Partai Demokrat beredar, seperti Gavin Newsom, Gubernur California, dan Gretchen Whitmer, Gubernur Michigan. Namun, nama Kamala Harris masih tak terbendung. Dia unggul di sejumlah jajak pendapat atau survei.
Bahkan, elektabilitas Harris dalam jajak pendapat yang dilakukan Reuters-Ipsos mengalahkan Donald Trump dengan persentase 49 persen, sedangkan Trump hanya mencapai 46 persen. Sehingga, kandidat yang akan dijagokan Partai Demokrat besar kemungkinan adalah Kamala Harris.
ADVERTISEMENT
Hanya saja, pencalonan Harris menuju hari pemilihan pada 5 November 2024 nanti bukan tanpa rintangan. Sebab, selain harus meyakinkan dukungan internal Partai Demokrat, Harris dihadapkan pada kemungkinan isu rasialisme dan seksisme dari lawan politik untuk tidak memilihnya. Isu semacam itu bisa diembuskan kepada pemilih dari kalangan kulit putih dan konservatif yang umumnya menjadi pendukung Partai Republik
Amerika, sekalipun terkenal sebagai negeri land of opportunity, yang memberikan kesempatan dan kesetaraan yang sama kepada siapa pun, isu rasialisme dan seksisme belum sepenuhnya lekang. Bahkan, masalah rasialisme kembali meledak dan memicu kerusuhan di seantero Amerika pada tahun 2020 lalu, di mana seorang warga kulit hitam bernama George Floyd terbunuh karena mengalami perlakuan dan kekerasan rasial oleh oknum polisi.
ADVERTISEMENT
Selain itu, sentimen berdasar jenis kelamin diduga masih ada di Amerika (isu seksisme). Ada semacam pandangan bahwa pemimpin tertinggi sekelas presiden tidak bisa atau belum pantas diduduki oleh seorang perempuan. Sentimen seperti ini, sekali lagi, bercokol di kalangan kaum konservatif Amerika.
Maka, tak heran, selama beratus tahun sejak Amerika terbentuk pada 1776, belum ada Presiden Amerika yang terpilih dari kalangan perempuan. Pandangan semacam itu sebenarnya coba didobrak oleh Hillary Clinton pada pemilu 2016 lalu, namun upaya itu masih gagal.
Kehadiran Kamala Harris sebagai calon presiden Amerika berketurunan imigran India-Jamaika bisa jadi ajang pembuktian, apakah isu rasialisme atau seksisme itu masih menjadi barrier di arena politik Amerika. Terpilihnya Barack Obama pada pemilu Amerika 2008 silam sebenarnya sudah menjadi pembuktian bahwa sentimen berdasar ras dan warna kulit telah berakhir di panggung politik Amerika.
Adagium American Dreams; siapa pun di Amerika boleh bercita-cita apa saja, tanpa ada kendala rasial, jenis kelamin, dan sentimen identitas lainnya, benar-benar terwujud dalam kehidupan di Amerika. Barack Obama telah membuktikannya. Selama dua periode, lelaki kulit hitam blasteran Afrika-Amerika itu terpilih menjadi presiden Amerika yang ke-44 dan 45.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, selama dua periode kepemimpinan Obama, isu rasialisme seperti bara dalam sekam. Sebab, di masa pemerintahan Obama, kaum imigran dan berkulit warna demikian dimuliakan. Mereka bisa mengakses berbagai fasilitas, bantuan dan kemudahan. Kaum imigran pun seakan berjaya di masanya. Situasi itu ternyata menjadi bara bagi warga berkulit putih dan kelompok konservatif.
Fenomena itulah yang kemudian menjadi latar, mengapa sosok seperti Donald Trump bisa terpilih sebagai Presiden Amerika pada pemilu 2016 lalu. Warga berkulit putih dan kelompok konservatif Amerika kecewa dan muak dengan perlakuan yang berlebihan terhadap kelompok imigran dan berkulit hitam.
Kekecewaan dan kemuakan berlatar rasialisme ditunjukkan dengan tidak mendukung lagi calon presiden Partai Demokrat yang memenangkan Barack Obama selama dua periode pemerintahan Amerika.
ADVERTISEMENT
Bila tak ada aral melintang, pencalonan Kamala Harris sebagai calon Presiden Amerika dari Partai Demokrat akan menjadi ujian atau pertaruhan apakah Amerika Serikat adalah negeri harapan yang memberikan kesempatan dan kebebasan bagi siapa pun yang bercita-cita tinggi, tanpa ada diskriminasi dan sentimen identitas apapun.