Konten dari Pengguna

Kerusuhan di Inggris: Disinformasi dan Agitasi Gerakan Sayap Kanan

Hidayat Doe
Alumnus Hubungan Internasional (S1) dan Ilmu Politik (S2) Unhas. Pernah jadi Guru Anak-Anak Indonesia di Sabah-Malaysia. Co-Founder Rumah Produktif Indonesia (RPI)
9 Agustus 2024 11:34 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hidayat Doe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pengunjuk rasa menyalakan asap ketika petugas polisi berdiri di luar sebuah hotel, di Rotherham, Inggris, Minggu (4/8/2024). Foto: Hollie Adams/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pengunjuk rasa menyalakan asap ketika petugas polisi berdiri di luar sebuah hotel, di Rotherham, Inggris, Minggu (4/8/2024). Foto: Hollie Adams/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suasana keceriaan di sebuah sanggar tari tiba-tiba mencekam pada Senin (29/07) pagi waktu setempat, di Southport, Merseyside, Inggris. Di tengah kumpulan anak-anak yang sedang belajar menari muncul lelaki remaja dengan sebilah pisau. Dia membabi buta menusuk anak-anak tersebut. Tiga anak perempuan tewas. Delapan orangnya luka parah. Dua orang dewasa juga cedera. Anak lelaki bernama Axel Rudakubana (17 tahun) itu lalu dibekuk dan diamankan oleh petugas setempat. Sejauh ini belum jelas apa motif dan latar belakangnya.
ADVERTISEMENT
Identitas pelaku penusukan tersebut awalnya dirahasiakan oleh pihak otoritas setempat karena undang-undang perlindungan anak dan remaja di Inggris untuk tidak mengungkap identitasnya. Namun, beredar hoaks atau informasi palsu di media sosial bahwa pelaku penusukan adalah imigran dan muslim. Akibat berita palsu tersebut, sejumlah warga masyarakat Southport marah. Mereka lalu turun ke jalan melakukan kerusuhan dengan menyerang sebuah masjid pada Selasa (31/07) malam. Para perusuh itu juga bentrok dengan pihak kepolisian. Sekitar 50 orang polisi terluka. Sejumlah kendaraan di sekitarnya dibakar.
Aktivis sayap kanan mengadakan demonstrasi "Enough is Enough" pada 2 Agustus 2024 di Sunderland, Inggris. Setelah pembunuhan tiga gadis di Southport, misinformasi menyebar melalui media sosial dan memicu aksi kerusuhan yang dilakukan oleh kelompok sayap kanan di seluruh Inggris
Meskipun identitas pelaku telah diungkap secara resmi bukan imigran dan muslim, tetapi kerusuhan tetap membara, bahkan menjalar ke seantero Inggris. Kekacauan terjadi di pusat kota London, Hartlepool, Manchester, dan Aldershot, sebuah kota di Tenggara London. Gerakan protes yang disertai kekerasan juga terjadi di kota-kota seperti Hull, Leeds, Nottingham, Belfast, Liverpool dan Irlandia Utara. Kerusuhan ini adalah yang terburuk sejak peristiwa kekacuan yang terjadi pada tahun 2011.
ADVERTISEMENT
Jika kekacauan sepekan ini mayoritas dilakukan oleh kelompok dan simpatisan sayap kanan, kerusuhan 13 tahun lalu itu dilakukan oleh warga kulit hitam Inggris yang berang karena pihak kepolisian menembak mati Mark Duggan. Lelaki berkulit warna yang diduga terlibat perdagangan narkoba dan kegiatan kriminal. Para perusuh mengamuk karena merasa tindakan kepolisian berlebihan dan tidak adil. Dampaknya, 4 orang jadi korban tewas, lebih 100 orang cedera, baik polisi maupun sipil, sejumlah gedung dan kendaraan dibakar, serta toko-toko dirusak.
Seorang pengunjuk rasa bertopeng melemparkan kaleng ke arah polisi saat bentrokan terjadi di Bristol, Inggris, Sabtu (3/8/2024). Foto: Justin TALLIS / AFP
Kini, kerusuhan yang hampir sama kembali pecah sejak kejadian penusukan 3 orang anak itu. Kekacauan tersebut dipicu oleh penyebaran informasi palsu yang dilakukan kelompok sayap kanan. Kelompok garis keras ini merupakan orang-orang ultranasionalis atau konservatif ekstrem yang menolak kehadiran imigran dan muslim di Inggris. Kelompok inilah yang menyebarkan hoaks ke media sosial, seperti platform X, Facebook, TikTok, dan Telegram. Sialnya, banyak warga setempat, khususnya yang konservatif, termakan dengan informasi palsu tersebut. Sehingga, mereka terprovokasi melakukan kekerasan atas nama identitas dan warna kulit. Sentimen rasial dan identitas jadi masalah laten di jantung negeri berbahasa Inggris itu .
ADVERTISEMENT
Sebagaimana di negara-negara Eropa lain, seperti Prancis, Belanda, Jerman, dan lainnya, Inggris termasuk negara yang masih memendam persoalan klasik yang berbau identitas dan warna kulit. Meskipun tak semua warga Inggris punya kebencian rasial terhadap imigran dan muslim, namun penganut dan simpatisan sayap kanan menjamur di negeri itu. Ada banyak komunitas dan organisasi yang berhaluan sayap kanan di sana. Beberapa di antaranya yang populer, seperti Patriotic Alternative Group, British Movement, dan English Defence League (EDL).
Ketiga organisasi tersebut dikenal memiliki ideologi ekstrem. Mereka memiliki pandangan yang sangat negatif pada para pendatang dan orang muslim. Mereka berpandangan, para imigran berkulit warna dan muslim merusak nilai-nilai barat. Kelompok sayap kanan itu seolah tak memberi izin pada kaum imigran dan muslim untuk hidup di Inggris. Mereka menganggap kehadiran imigran dan kelompok muslim di Inggris memicu masalah dan tekanan sosial. Bahkan, kelompok ultranasionalis itu merasa, kehadiran imigran bisa merugikan kehidupan ekonomi mereka karena mempersempit lapangan pekerjaan. Apalagi, saat ini kondisi ekonomi Inggris sedang tidak baik-baik saja. Harga-harga kebutuhan melonjak naik, utamanya harga energi karena efek perang Rusia-Ukraina. Sementara lapangan pekerjaan terbatas di tengah melesunya ekonomi. Bauran persoalan rasialisme, ideologi ultranasionalis, dan urusan perut tersebut jadi penyebab tumbuhnya kelompok sayap kanan di Inggris.
ADVERTISEMENT
Hope Not Hate, sebuah organisasi advokasi yang meneliti kelompok ekstremis di Inggris, menyebutkan kerusuhan yang dipicu informasi palsu di negeri Ratu Elizabeth tersebut memang dimotori oleh kelompok-kelompok organisasi sayap kanan di atas. Mereka berhasil memanfaatkan media sosial sebagai alat pergerakan untuk memantik protes dan kerusuhan. Gerakan melalui media sosial memang sudah jamak di berbagai negara.
Contoh paling anyar pemanfaatan media sosial sebagai alat mobilisasi massa adalah gerakan Black Lives Matter (BLM) di Amerika Serikat yang konsen melawan kekerasan dan ketidakadilan terhadap warga kulit hitam di AS. Terakhir kalinya gerakan BLM tersebut mengorganisir perlawanan atas kematian George Floyd pada 20 Mei 2020 lalu. Gerakan dengan tagar #JusticeForGeorgeFloyd itu sukses memobilisasi massa yang masif dan berujung kerusuhan di sejumlah kota di AS.
ADVERTISEMENT
Gerakan sayap kanan di Inggris ini seperti terinspirasi dengan model gerakan BLM di Amerika tersebut. Namun, gerakan kelompok sayap kanan Inggris lebih bersifat manipulatif dan agitatif dalam menjalankan aksinya di media digital. Mereka menyebarkan narasi palsu atau yang lebih dikenal dengan istilah disinformasi. Istilah ini merujuk pada penyerbarluasan informasi yang keliru secara sengaja dengan tujuan untuk menyesatkan atau memanipulasi orang banyak.
Sehingga, tak heran kaum sayap kanan Inggris menjadikan disinformasi sebagai strategi untuk menyebarkan informasi sesat berupa narasi, gambar, dan video bahwa pelaku penusukan di Sanggar Tari, Southport, adalah imigran pencari suaka dan muslim. Padahal pelaku penusukan itu, Axel Rudakubana, remaja Inggris yang lahir di Wales pada tahun 2006, dan pindah ke Southport tahun 2013 lalu. Rudakubana juga beragama Kristen, dari orang tua Rwanda.
ADVERTISEMENT
Gambar, video dan narasi manipulatif demikian yang disebar ke platform X, Facebook, Tiktok, WhatsApp, dan Telegram untuk mengobok-ngobok kesadaran target massa. Gerakan lewat media sosial dengan cara manipulatif seperti itu cukup efektif mengelabui massa. Akibatnya, banyak warga Inggris, sekalipun bukan pendukung kelompok sayap kanan ikut tertipu dengan strategi disinformasi tersebut. Bahkan, ada media online di Inggris, Channel 3, yang terjebak memberitakan disinformasi tersebut, sebelum akhirnya di-take down dan meminta maaf atas kesalahan itu.
Selain strategi disinformasi tersebut, gerakan kelompok sayap kanan juga dilakukan dengan cara-cara agitatif atau provokatif yang bisa dengan cepat memicu emosi dan kemarahan massa. Maka, dalam melancarkan aksinya mereka tak sungkan-sungkan mengagitasi massa dengan menyebarkan konten yang sudah didesain sedemikian rupa untuk menghasut sasaran. Sehingga, masyarakat yang menjadi sasaran korban mudah terbakar emosinya. Di saat itulah kekerasan dan kerusuhan meledak, sebagaimana yang terjadi di sejumlah kota di Inggris. Penyerangan terhadap masjid. Pembakaran kendaraan, dan pelemparan terhadap pihak keamanan yang menghalangi aksi mereka, melanda kota-kota di negeri itu. Kekacauan sosial akhirnya tidak terelakkan, sekalipun pihak otoritas keamanan di Inggris telah berusaha untuk meredam kekacauan tersebut agar tidak menjalar ke berbagai kota. Namun, emosi dan amarah perusuh sudah terlanjur terbakar dan membara.
ADVERTISEMENT
Fenomena kerusuhan yang melanda Inggris tersebut seolah kembali mengingatkan kita akan sisi lain dari tabiat manusia yang pernah diungkapkan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (Homo homini Lupus). Betapapun majunya suatu masyarakat dan peradaban, seperti di Inggris itu, sifat antik manusianya itu tetap tidak lekang. Kemajuan peradaban tak serta merta menghapus tabiat buruk dan kekerasan manusianya. Potensi keburukan dan kekerasan manusia masih tetap terpendam dan eksis sampai kapan pun.
Fenomena anti-imigran dan anti-muslim yang disertai kekerasan di Inggris tersebut adalah wujud nyata dari tabiat buruk manusia itu di masa kini yang pernah digaungkan Hobbes pada 5 abad silam. Karena itu, kata Hobbes, kehadiran negara dengan tangan besinya, diperlukan untuk menegakkan hukum dan ketertiban masyarakat. Pihak otoritas keamanan di Inggris nampaknya telah menjalankan fungsi itu, sehingga bisa mengendalikan kerusuhan di sana. Situasi dan kondisi keamanan sana akhirnya kembali pulih seperti sedia kala. Kehidupan warga Inggris pun mulai berjalan normal. Mereka bisa kembali mengisi dan menikmati summer activities yang berlangsung dari bulan Juni hingga Agustus ini.
ADVERTISEMENT