Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menakar Serangan Iran terhadap Israel
18 Agustus 2024 11:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hidayat Doe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Terbunuhnya pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, di Teheran, dua pekan lalu, membuat Iran berang pada Israel. Iran menuduh Israel berada di balik pembunuhan politik Ismail Haniyeh. Pihak Teheran kabarnya akan membalas tindakan Israel tesebut. Balas dendam itu tidak disebutkan lebih detail, tetapi beredar informasi Iran akan menyerang Israel. Bila kabar tersebut benar, perang terbuka Iran-Israel akan meletus dalam waktu dekat.
Mendengar informasi serangan balasan dari Iran, Amerika Serikat bergegas menyiapkan diri mempersenjatai Israel dengan mengirim kapal induk dan pesawat tempur ke Timur Tengah. AS melalui Menteri Pertahanan Loyd Austin juga telah memerintahkan pengiriman kapal selam berpeluru kendali dan kapal jenis penjelajah dan perusak yang berkemampuan dapat menangkis serangan rudal balistik. Dukungan AS tersebut dilakukan untuk memperkuat pertahanan militer Israel. Sehingga, jika rencana balasan Iran benar-benar terjadi, serangan itu bisa diantisipasi dan dihadapi.
ADVERTISEMENT
Sistem pertahanan militer Israel sebenarnya sudah kuat. Tel Aviv memiliki sistem pertahanan yang berlapis-lapis untuk bisa menangkal serangan rudal dan drone. Israel sudah punya sejumlah sistem anti-rudal Iron Dome, Arrow-2 /Arrow-3, David’s Sling, Spyder, dan Drone Dome yang bisa berfungsi mendeteksi dan mencegat atau menembak jatuh setiap rudal jarak dekat dan jauh yang ditembakkan ke wilayah Israel. Sistem pertahanan tersebut sangat efektif membentengi Israel dari serangan Hamas, Hizbullah dan kelompok perlawanan.
Sistem pertahanan militer yang tangguh itu ternyata masih belum cukup menjamin keamanan Israel. Negara Zionis tersebut masih harus dipersenjatai oleh AS. Ancaman Iran dikhawatirkan bisa menembus sistem pertahanannya. Kekhawatiran itu barangkali masuk akal juga karena Israel sepertinya sudah kelelahan menggempur Gaza sejak Oktober 2023 lalu. Israel seakan sudah kekurangan amunisi untuk menghadapi ancaman serangan Iran. Sehingga, dukungan Alutsista AS pada Israel tidak main-main. AS sigap dan setia melindungi sekutunya itu dari serangan poros perlawanan. Tapi benarkah Iran akan melakukan serangan dan perang terbuka dengan Israel?
ADVERTISEMENT
Menurut penulis ancaman Iran terhadap Israel itu sebenarnya gertak sambal saja. Iran tak balakan berani menyerang Israel secara langsung. Perang terbuka bagi Teheran terlalu beresiko dan mahal. Situasi geopolitik juga kurang mendukung posisi Iran. Di belahan Eurasia sana, Rusia, sekutu dekat Iran, masih hangat-hangatnya berperang dengan Ukraina. Iran tak mungkin berperang sendiri tanpa dukungan sekutunya. Sementara di sisi lawan, Israel didukung penuh oleh AS. Bagaimana bisa melancarkan serangan balasan itu?
Menyerang Israel secara langsung sebagai balasan atas kematian pemimpin politik Hamas dan komandan senior Hizbullah adalah keputusan yang konyol dan tidak masuk akal bagi Iran. Dalam perspektif hubungan internasional, sebuah negara akan menyerang negara lain jika ada ancaman dan bahaya besar terhadap kepentingan nasional negara yang terkait dengan keamanan dan sumber daya ekonomi negara yang besar. Pembunuhan politik Ismail Haniyeh di Teheran atau kematian Fuad Shukr (komandan senior Hizbullah) oleh Israel sama sekali bukan menyangkut keamanan nasional Iran. Lagi pula, Ismail Haniyeh dan Fuad Shukr bukan pemimpin nasional Iran. Untuk apa Iran berperang secara terbuka demi membalas kematian dua tokoh tersebut. Perang terbuka antarnegara terlalu mahal jika hanya sekedar membalas kematian dua sosok dari afiliasi Iran itu.
Pembunuhan Haniyeh sebagai tamu penting negara di dalam wilayah kedaulatan Iran juga tak bisa dijadikan alasan kuat untuk itu. Dari sisi hukum internasional bisa dianggap pelanggaran kedaulatan, tetapi bukan pelanggaran kedaulatan yang vital, apalagi jika pembunuhan itu disebut menyangkut martabat negara, seperti yang disinggung pengamat dan ahli dalam wawancara di media. Jika alasan kedaulatan dan martabat negara seperti itu, Perang head to head Iran terhadap Israel semestinya sudah harus dilakukan pada April 2024 lalu.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, Konsulat Iran di Damaskus, Suriah, diserang oleh Israel. Tembakan udara Israel tersebut menewaskan dua jenderal dan lima penasehat militer Iran. Akan tetapi, Iran hanya membalas dengan serangan shock therapy untuk menimbulkan efek getar bagi Israel. Teheran tidak sungguh-sungguh menggempur Israel yang bisa memecah perang terbuka antar kedua negara, sebagaimana perang Rusia-Ukraina saat ini. Padahal, serangan awal terhadap kantor konsulat Iran itu adalah pelanggaran kedaulatan negara yang cukup besar. Namun, Iran menanggapinya dengan sumpah serapah dan serangan gertakan saja.
Iran sesungguhnya hanya ingin berperang dengan Israel lewat proksi. Selama beberapa dekade ini Iran memilih perang proksi itu, bukan perang terbuka dengan seterunya. Jalan perang proksi Iran cukup rasional. Iran mempersenjatai sejumlah kelompok atau afiliasinya di Timur Tengah untuk kepentingan politik di kawasan. Iran ingin diperhitungkan sebagai kekuatan politik di Timur Tengah. Negara itu rela mendukung dan mempersenjatai kelompok Houthi di Yaman, Hizbullah di Lebanon, Hamas di Palestina, dan kelompok perlawanan lainnya di kawasan karena ingin memperkuat pengaruh dan kekuasaannya di Timur Tengah. Kepentingan politik itu menjadi utama dan penting bagi Iran untuk menghadapi lawan dan musuhnya. Lawan politik Iran di kawasan itu adalah Arab Saudi, sedang musuh bebuyutannya adalah Israel. Hubungan Teheran dan Riyadh memang berlawanan secara ideologis, Syiah versus Sunni. Sementara hubungan Teheran-Tel Aviv seperti minyak dan air yang tak bisa disatukan, baik secara politik maupun ideologis.
Ancaman Iran akan menyerang balas Israel dengan nada serius atas kematian Ismail Haniyeh sebenarnya hanyalah strategi untuk menjaga hubungan baiknya dengan Hamas sebagai salah satu afiliasinya di Timur Tengah. Iran tak mungkin tinggal diam menyaksikan pembunuhan pemimpin politik Hamas di Teheran. Sikap kerasnya terhadap Israel menyusul kematian Haniyeh untuk menunjukkan Iran masih berada di barisan belakang Hamas. Hanya saja dukungan itu bukan tanpa kalkulasi untuk terjebak dalam perang terbuka dengan Israel. Karena itu, pilihan perang terbuka Iran terhadap Israel seperti peribahasa jauh panggang dari api. Ancaman serangan balasan yang disebar Iran lewat media paska kematian Haniyeh hanya retorika untuk menenangkan Hamas.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, serangan Iran terhadap Israel bukan tidak mungkin terjadi. Potensi serangan itu ada, namun untuk saat ini opsi tersebut masih sulit diterima secara geopolitik dan hubungan internasional. Pembunuhan Haniyeh di markas Garda Revolusi Iran bukanlah momentum yang tepat bagi Iran untuk menyerang Israel. Situasi geopolitik dan kalkulasi kepentingan nasional Iran belum seirama dengan momentum tersebut. Keputusan Iran untuk menyerang Israel sejatinya diurungkan demi mencegah jatuhnya korban dan dampak eskalasi yang ditimbulkan. Ribuan warga sipil yang jadi korban serangan Israel di Gaza sudah cukup menjadi cermin untuk mengatakan betapa harga dan risiko perang sungguh tak terkira. Perang tentu bukanlah jalan kemanusiaan, tetapi wujud angkara murka manusia yang mesti dihindari untuk menciptakan kedamaian.
ADVERTISEMENT