Konten dari Pengguna

Menyuarakan Emosi dan Pengalaman Menulis Puisi

Hilery Claudia
Mahasiswa Penerbitan Jurnalistik dari Politeknik Negeri Jakarta
10 Juni 2024 14:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilery Claudia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto wawancara dengan Hasan Aspahani (sumber: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto wawancara dengan Hasan Aspahani (sumber: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Memberikan pandangannya tentang dunia puisi dan perjalanan kreatifnya, Hasan Aspahani, seorang penyair Indonesia, dengan santai namun penuh makna, bercerita tentang puisi dengan penuh dedikasi, dan tak pernah lelah mencari bentuk terbaik dari ekspresinya. Setiap langkah dalam hidupnya membentuk landasan untuk karya-karya yang akan dihasilkan di masa depan. Begitulah yang dialami perjalanan kreatif dipenuhi dengan jejak yang menarik.
ADVERTISEMENT
Mulai menulis puisi dari SMP, terutama karena suka membaca. Dia dilahirkan dan dibesarkan di kampung Kalimantan, mengalami masa kecil yang penuh dengan tantangan. Masa kecil sering sakit, dia lebih suka membaca daripada bermain. Dari membaca, dia mulai tertarik untuk menulis.
Mencipta puisi menjadi jendela bagi dia untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya, meskipun pada awalnya, dia ragu dengan kualitas karyanya. Namun, dengan keberanian yang tumbuh seiring waktu, dia menemukan bahwa kemampuannya menghasilkan puisi sudah ada sejak dulu.
Setelah menemukan panggilannya dalam menulis, dia melanjutkan perjalanannya ke SMA di Balikpapan. Di sinilah dia mulai mengejar impiannya, bekerja di sebuah koran dan mengeksplorasi bakatnya dalam seni tulis. Namun, seperti banyak orang, dia menghadapi pertanyaan tentang arah masa depannya, mengenai pilihan antara menjadi wartawan atau penulis sastra.
ADVERTISEMENT
Namun, dia menolak untuk membiarkan stereotip menghambat ambisinya. Dengan tekad yang menggetarkan, dia mencari cara agar bisa menjalankan kedua aktivitas itu. Menurut dia, hal itu bisa dilakukan jika menggunakan bahan yang tidak terpakai oleh wartawan untuk dijadikan berita koran dan dijadikan sastra, seperti puisi dan sebagainya.
Mendapatkan penghargaan tertinggi pada Hari Puisi Indonesia (HPI) 2016 melalui buku "Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering" menjadi bukti keunggulan eksperimen kreatifnya. Namun, bagi Hasan, penghargaan ini bukan beban, melainkan kebahagiaan yang memvalidasi perjalanan panjang penciptaan karyanya. “Saya tidak menulis untuk menang, tetapi untuk bereksperimen,” jelasnya dengan senyum hangat.
Hasan menyimpan draft buku "Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering" hampir 7-8 tahun dan tidak pernah diterbitkan. Dia tidak berharap kemenangan dan hanya membaca ulang buku itu saja. Karena kemenangan bukan tujuannya, melainkan simpul manis di ujung perjalanan panjang yang sarat dengan keindahan dan eksperimen.
ADVERTISEMENT
Bagi dia, puisi bukan sekadar barisan kata, melainkan permainan indah dalam pengucapan yang membedakannya dari penyair lain. “Permainannya ada pada cara ucap,” katanya sambil menggurat senyum khasnya. Setiap tema yang dia pilih, entah itu cinta, politik, atau sosial, selalu dihadirkan dengan pendekatan yang unik, menggali cara baru untuk mengucapkannya. “Cara ucap saya itu khas,” lanjutnya, “dan dari buku ke buku, ia bisa berubah, mencerminkan kegemaran saya mengeksplorasi berbagai bentuk ungkapan.”
Dalam setiap karya, dia membagi puisi-puisinya dalam bab-bab dengan cara ucap yang berbeda, ada yang singkat, ada pula yang panjang, setiap eksperimen adalah perjalanan kreatif yang belum pernah dijelajahi orang lain. “Itu keasyikan saya,” katanya, “menciptakan cara ucap yang baru, lebih mengasyikkan daripada penghargaan.” Baginya, perangkat puisi seperti rima, metafora, dan simile bukan sekadar alat, melainkan pelita yang menuntunnya dalam menciptakan keunikan setiap puisi. Hasan terus menulis, mengisi berbagai media dengan puisinya, tanpa memikirkan kemenangan, hanya didorong oleh hasrat untuk mencari cara baru dalam menyuarakan pikirannya.
ADVERTISEMENT
Selama delapan tahun, Hasan menyimpan naskah Pena Sudah Diangkat, Kertas Sudah Mengering di sudut sunyi perpustakaannya, tanpa rasa terburu-buru untuk mempublikasikannya. “Saya punya mungkin lima naskah yang bisa menjadi draft buku puisi,” ia mengungkapkan dengan santai. “Kalaupun saya enggak nulis sampai sepuluh tahun ke depan, saya masih bisa bikin buku setahun satu.”
Dalam pengasingannya, naskah-naskah ini menunggu waktu yang tepat untuk muncul ke permukaan. Hasan memilih untuk mengumpulkan puisinya, mencipta tumpukan manuskrip yang mengandung keindahan terpendam. “Jadi apakah kesulitan? Tidak. Saya enggak pernah kesulitan,” ia menegaskan lagi, menunjukkan betapa santainya ia menghadapi proses ini.
Baginya, memiliki banyak puisi adalah berkat, bukan beban. “Tinggal pilih aja dan memilih itu bukan kesulitan buat saya,” tambahnya. Dalam setiap pilihan, ada keasyikan tersendiri, seperti seorang anak kecil yang memilih permen di toko manisan, setiap puisi memberikan rasa baru yang menambah kenikmatan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Dengan tenang, Hasan mengumpulkan puisi-puisi yang dapat menjadi fondasi untuk buku-buku masa depan, merangkai kata dan kalimat dengan hati-hati, sembari menikmati prosesnya. Bagi Hasan, menulis puisi tidaklah diburu waktu, melainkan dituntun oleh momen inspirasi yang datang dengan caranya sendiri. “Ini termasuk keasyikan juga,” katanya, menunjukkan bahwa dalam setiap proses memilih dan menyimpan puisi, ada kegembiraan yang tak ternilai.
Dari pengalaman-pengalaman ini, Hasan menemukan pijakan untuk membangun karirnya sebagai penyair yang produktif dan berpengaruh. Dari kamar kecil di kampung Kalimantan hingga redaksi koran di Balikpapan, dia membawa inspirasi dan pengalaman hidup yang berharga ke dalam setiap bait puisinya.
Penyair bukanlah profesi, tapi panggilan hati. Begitulah yang diyakini dia, seorang penyair yang hidupnya tercermin dalam kata-kata yang ditorehkan dengan penuh emosi dan kecerdasan. Baginya, menulis puisi adalah sebuah kebutuhan yang mendalam, bukan sekadar keterampilan atau hobi. Setiap kejadian dalam hidupnya, baik suka maupun duka, menjadi bahan bakar bagi Hasan untuk menuangkan perasaannya ke dalam bentuk puisi.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangannya, puisi bukan sekadar rangkaian kata-kata, melainkan sebuah seni yang membutuhkan kedalaman dan keahlian teknis. Melalui kata-kata yang sederhana namun dalam, Hasan Aspahani membawa kita ke dalam dunianya yang penuh warna. Di dalamnya, setiap emosi dan pengalaman menjadi bahan bakar untuk mencipta karya-karya yang timeless dan bermakna.