Konten dari Pengguna

Self Improvement: Menjadi Peran Utama di Kehidupan yang Bajingan

Hilmy Almuyassar
Orang biasa lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (Sarjana) yang senang membaca dan menulis, kini bekerja sebagai Videographer dan Editor Video Freelance.
5 Desember 2023 9:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Hilmy Almuyassar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hidup sehat. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hidup sehat. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Di satu malam, saya bertamu ke kosan adik angkat perempuan tidak dengan tujuan apa-apa selain bersilaturahmi, kemudian membicarakan persoalan-persoalan klasik orang muda di zaman sekarang seperti asmara, kuliah, karier, dan keluarga, ya deep talk ala-ala gitu.
ADVERTISEMENT
Lucunya, obrolan tidak dimulai dengan pembahasan yang ringan. Seingat saya adik angkat langsung menanyakan tujuan hidup, pertanyaan itu lumayan sulit untuk dijawab. Semakin ke sana-ke sini apa yang dibahas semakin dalam dan berat.
Satu di antara banyaknya bahasan kami, saya melamun sejenak dan memikirkan tentang bahasan “tidak punya keinginan untuk bunuh diri”. Adik angkat itu bercerita tentang peristiwa-peristiwa pilu yang mendorongnya buat bunuh diri, di sambung dengan cerita saya yang juga sempat berpikir ingin demikian. Tak lama setelah cerita saya selesai, dia bertanya
“Lu aneh gak sih sama orang yang gak kepikiran bunuh diri?”
Saya jawab, “Enggak.“
Dia melanjutkan, “Soalnya cowok gua gak pernah kepikiran bunuh diri. Buat gua aneh ya karena di kehidupan yang bajingan ini dia gak kepikiran kaya gitu.”
sumber foto: pexels.com
Bagi saya tidak ada keinginan bunuh diri adalah hal yang lumrah di tengah-tengah orang yang berkeinginan bunuh diri, alasannya mudah saja yaitu hidup ini kompleks: ada hidup, ada mati, ada pula yang sakit-koma. Meski gak ngerasa aneh tapi saya juga tidak pernah tahu alasan lain seseorang enggan bunuh diri selain dilarang agama.
ADVERTISEMENT
Tentu tidak memberi tahu secara tersurat, terlebih Ini hanya sudut pandang pribadi yang mungkin saja salah. Si Neng—adik angkat saya, menarasikan atau menggambarkan pacarnya sebagai orang yang suka menyelesaikan masalah dengan cara yang berani, unik, sedikit gegabah dan konyol.
Mengetahui pacarnya Si Neng begitu “tingkahnya”, saya spontan menilai si pacarnya ini sebagai pemeran utama—meskipun kita semua juga pemeran utama di hidup kita masing-masing.
sumber foto: pexels.com
Berdasarkan penilaian tersebut, saya berasumsi barangkali dengan kita merasa sebagai pemeran utama—di kehidupan yang bajingan ini (begitu kata Si Neng) itu akan mengurangi atau bahkan menghilangkan pikiran untuk melakukan bunuh diri.
Maksudnya begini, di zaman teknologi yang memudahkan segalanya, banyak orang —apalagi generasi muda merasa hidup di sisi lain peradaban atau merasa diri bukan pusat dunia (begitu kata mentor menulis saya), ditambah mereka harus menghadapi masalah internal maupun eksternal dari dirinya sendiri yang sukar dilewati, sehingga menciptakan mental yang gampang menyerah dan gampang pula berpikir untuk melakukan bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Maka, kembali yang sudah disebutkan sebelumnya, barangkali dengan merasa sebagai pemeran utama itu akan mengurangi atau bahkan menghilangkan pikiran kita dari keinginan bunuh diri. Memang bagaimana caranya menjadi pemeran utama?
Tersedia 3 jawaban yang mungkin bisa disepakati bersama, dan jika tidak, boleh diabaikan saja.
1. Lakukanlah kebaikan dan sadari bahwa kita tidak sendiri.
Selalu ada tokoh sidekick, tokoh mentor, tokoh love interest sebagai peran pembantu. Lakukan kebaikan untuk diri sendiri juga untuk para tokoh pembantu seperti keluarga, saudara dan teman-teman. Bahkan yang tidak dikenal sekalipun jika mampu. Pemeran utama tidak lepas dari karakter protagonis yang selalu memiliki tujuan-tujuan baik.
Jangan tanya kebaikan seperti apa, boleh jadi kebaikan bersifat relatif. Tidak apa-apa, mulai saja dengan kebaikan-kebaikan yang umum, sederhana dan personal. Lakukan itu dengan sepenuh hati, maksimal dan kreatif. Tidak perlu larut membayangkan hasil atau timbal baliknya.
ADVERTISEMENT
Goenawan Muhammad dalam esai Majnun bilang “Apa yang penting? Yang penting adalah perjuangan itu sendiri, bukan hasilnya: perjuangan untuk membubuhkan yang mulia di dunia yang bobrok. Itu berharga,” di paragraf yang lain “ untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun mustahil, adalah kegilaan yang memberi harga kepada manusia.” Biarkan hasil menjadi bonus.
2. Bertahan. Jangan selesaikan perannya, selesaikan ceritanya; jangan selesaikan hidup, selesaikan masalahnya.
Jika belum selesai bertahanlah. Pemeran utama itu susah mati. Di akhir cerita yang buruk sekalipun, setidaknya pemeran utama selalu mati dengan usahanya yang baik. Tentu tidak dengan bunuh diri. Sesulit apa pun tantangan, seberat apa pun masalah ia akan teguh menghadapinya.
Dalam melakukan kebaikan pasti tidak luput dari rintangan dan satu-satunya cara agar sampai pada tujuan adalah dengan tetap berjalan. Masih ingat bagaimana Ki-Hoon bernomor 456 tetap bertahan—sekaligus melakukan kebaikan pada kakek tua, dalam serial Squid Game?
ADVERTISEMENT
3. Upayakan diri untuk memiliki hobi hingga hobi tersebut menjadi keahlian
Jadikan hobi atau keahlian sebagai penyegaran dari kepenatan masalah yang sedang dihadapi. Pemeran utama pasti punya hal ini, malah—di dalam cerita keahlian itulah yang biasanya digunakan untuk menyelesaikan masalah, tapi jika itu tidak berhubungan dengan masalah, cukup keahlian ini sebagai refreshing saja.
Mari ambil contoh dari 3 peran utama dari berbagai film: Dilan dengan motoran-nya, Zainudin dengan menulis novelnya dan Kenshin dengan bertarung menggunakan teknik samurainya. Bagaiman kalau kita hanya Ki-Hoon yang hanya bisa berjudi, alias tak punya keahlian atau hobi apa-apa?
Mentor menulis saya pernah membuat status WA: jangan mengeluh dan percaya kalau kita tidak mempunyai skill apapun, mulailah belajar sesuatu karena untuk mempunyai keahlian seseorang mesti melalui proses belajar. Kurang lebih begitu. Terlebih, mentor saya ini memang orang yang tidak percaya adanya bakat dari lahir, dia yakin dan percaya bahwa bakat ada karena suatu usaha.
sumber foto: pexels.com
Menyebutkan Kenshin di poin ketiga, saya jadi teringat dan menyadari pemeran utama dari Samurai X itu, ternyata memiliki ketiga poin di atas. Kenshin Himura diceritakan ingin bertaubat karena telah membunuh banyak orang, akhirnya ia memutuskan untuk berbuat baik dengan membantu kepolisian jepang.
ADVERTISEMENT
Selama masa pertobatan ia pernah bimbang hati, berpikir, apakah penebusan dosa yang setimpal buat pembunuh sepertinya, kemudian ia merasa untuk siap mati kapan saja. Ia pun pernah merasa dosanya bisa tertebus dengan bunuh diri.
Tapi kebimbangan itu kemudian diluruskan oleh guru berpedangnya, sang guru mengatakan: Kenshin harus tetap hidup dan keahlian berpedang Kenshin dipakai untuk mengabdikan diri dengan melindungi orang-orang terdekat, juga untuk menjaga masyarakat, biarpun masyarakat tersebut masih menista atau mencemooh, Kenshin harus bertahan. Begitulah penebusan dosa semestinya dilakukan.
sumber foto: pexels.com
Barangkali kita dapat mengambil pelajaran dari karakter fiksi sekalipun; dari karakter-karakter pemeran utama lainnya yang protagonis, yang terus bertahan, yang berkeahlian dan tentu yang tidak pernah berpikir untuk bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Jika ini terkesan seperti omong kosong yang menganggap gampang suatu urusan, maka perlu saya katakan, tulisan ini sekedar untuk membantu memberikan motivasi, atau untuk menghibur diri semata, ketika Anda—dan saya juga—mulai berpikir dan merasa hidup begitu pedih dan terlalu menyakitkan bila harus dilanjutkan.
Kalau tulisan ini tidak membantu, jangan cepat-cepat mengatakan ingin bunuh diri, pergilah ke keluarga atau sahabat yang dapat dipercaya untuk diajak bercerita. Pergi ke Psikolog jauh lebih baik dan tentu saja lebih tepat, Psikolog akan memberikan arahan-arahan yang mudah dan logis agar keinginan bunuh diri bisa keluar dari dalam pikiran.