Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Peristiwa Mandor, Kakek Kadisporapar Kalbar Salah Satu Korban Kekejaman Jepang
28 Juni 2022 14:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Hi!Pontianak - Setiap 28 Juni, Provinsi Kalimantan Barat memperingati Hari Berkabung Daerah. Makam Juang Mandor menjadi Monumen Daerah untuk memaknai tragedi yang terjadi pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942-1944 silam.
ADVERTISEMENT
Hari Berkabung Daerah atau yang biasa dikenal dengan Peristiwa Mandor di masa Penjajahan Jepang. Di sana terdapat makam massal dari korban kekejaman Jepang.
Pemerintah juga telah mengeluarkan Perda Nomor 5 Tahun 2007, tentang Peristiwa Mandor sehingga tanggal 28 Juni ditetapkan sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) Kalbar.
Secuil cerita dari Peristiwa Mandor yang dirangkum Hi!Pontianak, kakek dari Kadisporapar Kalbar, Windy Prihastari, menjadi salah satu korban dari peristiwa tersebut. Windy merupakan salah satu ahli waris, atau cucu dari korban kekejian pendudukan Jepang.
Usai dari Makam Mandor dan melakukan ziarah, Windy menceritakan kisah puluhan tahun silam itu. Raden Mas Saliman Sastroloekito, adalah kakek dari Windy.
Pada saat itu, Saliman merupakan seorang cendekiawan, kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar (SD) di Singkawang. Saliman diculik oleh tentara Jepang pada saat mengajar di sekolah tersebut. Tepatnya pada tahun 1944.
ADVERTISEMENT
Yang tersisa dari Saliman saat diculik, hanya sebuah dompet dan sisir milik Saliman. Dompet dan sisir tersebut dikembalikan kepada istri Saliman (nenek Windy), setelah penculikan tersebut.
Selain sebagai cendekiawan, Saliman juga dikenal sebagai ketua salah satu partai di Singkawang. Ia juga merupakan seniman, hobi bermain biola, dan sepak bola.
“Tadi ketemu sama penulis bukunya, bahwa kakek saya itu RM Saliman Sastroloekito. Dia adalah kepala sekolah di Singkawang, ketua salah satu partai pada saat itu. Dokumen penjemputan pun dia punya. Penulis buku ini Pak Din (Syafaruddin Dg Usman), kita diskusi. Dia lengkap punya bukunya, tentang korban-korban, datanya ada,” jelas Windy, Selasa, 28 Juni 2022.
Saliman memiliki 7 anak. Ibunya Windy adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara itu. Pada saat itu Saliman merupakan warga pendatang yang tinggal di Singkawang. Namun, istri Saliman (nenek Windy) adalah warga asli dari Kota Singkawang.
ADVERTISEMENT
“Kakek saya dijemput pada saat ngajar di SD, daerah Roban. Menurut saksi mata yang bercerita, bahwa mereka dibawa ke sana (kawasan Mandor). Itu tahun 1944 waktu ibu saya umur 4 tahun,” paparnya.
Rerata keluarga besar mereka adalah tenaga pendidik, atau guru. Kakek dan neneknya pada saat itu tinggal di daerah Kampung Jawa, Singkawang.
Windy menceritakan, sosok kakeknya yang juga menyukai biola. Dulunya Saliman memang merupakan seorang seniman. Hingga saat ini, kata Windy, biola tersebut masih disimpan oleh keluarganya.
“Ceritanya, dia punya biola kesayangan. Dia kan seniman, jadi masih ada disimpan di rumah. Rumahnya di daerah Kampung Jawa (Singkawang). Itu rumah kakek nenek saya,” terangnya.
Setelah tragedi tersebut, Windy bersama keluarganya, yang pada saat itu masih kecil dikenalkan dengan Makam Mandor tersebut adalah makam dari kakeknya.
ADVERTISEMENT
“Kakek saya korban salah satunya, jadi dulu waktu kecil diajarkan sama Bapak dan Mama dikasih tahu kalau ini makam kakek tapi gak tau makam yang mana, karena makamnya massal, jadi kita diajarkan ke sana ramai-ramai untuk ziarah, jadi kita berdoa di satu makam,” ungkapnya.
Setelah dua tahun kepergian kakek Saliman, istri Saliman (nenek Windy) meninggal dunia. Ia juga dikabarkan sakit usai mengetahui suaminya diculik oleh tentara Jepang, karena pada saat itu 7 anaknya masih kecil.
“Dua tahun setelah (kakek Saliman) ditangkap, nenek saya meninggal. Dompet dan sisir dikembalikan sama yang nangkap. Nenek saya gak berdaya, karena anaknya juga masih kecil-kecil,” tukasnya.