Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Feature: Petugas Kebersihan dan Pendurhakaan terhadap Semesta
25 Maret 2025 7:25 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Hizkil Achmad Dayan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap kali bel pulang sekolah berbunyi, saya selalu melewati lorong menuju gerbang utama. “Pulang dulu Pak,” ujar saya kepada Pak Fulan, petugas kebersihan sekolah. “Iya, monggo Le,” jawabnya sambil membawa tong sampah besar dengan dua roda di bawahnya. Hampir tidak pernah saya temui ia duduk santai di kursi-kursi maupun pelataran sekolah. Selalu saja, kalau tidak sedang menyapu, mengepel, ya pasti ia sedang mengambili sampah di tiap tempat sampah yang ada. Suatu hari, tiba-tiba terlintas di pikiran saya, “Bagaimana ya, jadinya, kalau di sekolah ini tidak ada petugas kebersihan?” Meski terlihat kurang menarik dan jarang diperhatikan, nyatanya profesi ini amat krusial dalam menciptakan lingkungan yang bersih serta kondisi yang nyaman dalam pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Bayangkan membersihkan satu kelas saja sudah cukup melelahkan bagi saya. Apalagi belasan kelas tiap harinya seperti yang dilakukan Pak Fulan. Itu pun letaknya ada yang di atas (lantai dua) dan di bawah sehingga perlu naik-turun tangga untuk menjangkaunya. Belum lagi ruang-ruang tertentu dan halaman sekolah yang tak jarang dipenuhi sampah bekas makanan. Meski belum pernah menanyakan secara langsung, dari peluh keringatnya saya paham bahwa pekerjaan ini sungguh melelahkan. Jika saja tidak ada motif nafkah yang besar dalam dirinya, tak mungkin ia tetap bertahan dalam pekerjaan seperti ini. Anak-istri adalah alasan dari setiap tenaga yang rela ia korbankan dan penat yang ia dapatkan.
Sejenak saya melempar pandangan pada area kelas, tempat Pak Fulan akan bertugas membersihkannya. “Astaghfirullah,” betapa terkejutnya saya ketika melihat botol-botol plastik tercecer di meja, sobekan-sobekan kertas, dan brosur universitas terserak di lantai. Kipas dan lampu-lampu masih menyala serta tatanan kursi yang sangat awur-awuran. Di mana akal budi penghuni kelas ini? Sudah se-melampaui batas itukah sikap anak-anak zaman ini? Bahkan untuk disebut “siswa” pun tidak pantas menurut saya. “Peserta didik” adalah label yang terlalu mahal untuk disematkan pada mereka karena faktanya mereka sungguh belum terdidik. Mana ejawantah dari ilmu-ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mereka pelajari selama belasan tahun itu?
ADVERTISEMENT
Setelah amarah meledak, saya menarik napas dalam dan mencoba berpikir jernih. “Apa jangan-jangan mereka hanya lupa ya? Bukankah manusia memang tempat salah dan lupa?” Namun logika peluang yang baru saya pelajari membantahnya. Saya sering melewati kelas ini, dan kejadian serupa terus berulang. Mana mungkin dari 30-an orang setiap hari tak ada satu pun yang ingat piket atau sekadar mematikan kipas? Probabilitasnya kecil. “Kalau tidak karena kealpaan yang membudaya semua ini tidak akan terjadi,” batin saya. Dugaan ini terbukti benar keesokan harinya. Ketika saya iseng menanyai salah satu teman tentang alasan ia abai terhadap lingkungan, dengan santainya ia menjawab, “Ya kan sudah ada petugas kebersihan yang mengurusinya. Dia kan dibayar.” Huh, bertambah kesallah hati saya mendengarnya. Kendati tidak ingin berbakti pada lingkungan, setidaknya jangan menambah beban kerja petugas kebersihan di sana. Bukankah ini pendurhakaan yang ganda?
ADVERTISEMENT
Entah apa yang menyebabkan generasi muda di Indonesia semakin abai terhadap lingkungan. Padahal sejauh eksplorasi saya di beberapa sumber ilmiah, dikatakan bahwa Generasi Z ―generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 atau saat ini mereka berusia 11 hingga 26 tahun― memiliki karakter peduli lingkungan yang cenderung tinggi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh keterbukaan informasi di era digital yang membuat mereka sering terpapar konten-konten Save The Earth, Go Green, Stop Global Warming, dan sejenisnya sehingga lambat laun pemahaman mereka akan lingkungan tercerahkan. Namun, faktor-faktor seperti individualisme dan pengaruh sosial juga berdampak besar pada tindakan mereka sehari-hari.
Berbagai solusi dapat menjadi alternatif untuk mengatasi masalah ini. Sebut saja pengintegrasian muatan sadar lingkungan pada kurikulum pendidikan dan penyampaian nilai-nilai melalui budaya populer. Benang merah dari semua upaya tersebut ada pada peningkatan kecerdasan spiritual anak bangsa. Bagaimana mereka dapat sadar penuh akan makna kehadirannya di tengah semesta. Bahwasanya manusia, seberapa pun hebatnya, tetaplah hanya sebagai mikrokosmos (jagad kecil) yang akan terus bergantung pada alam semesta sebagai makrokosmos (jagad besar). Andai kata alam semesta besok rusak, maka manusia juga pasti akan rusak; binasa.
ADVERTISEMENT
Di momentum Ramadan ini, mari kita banyak-banyak merefleksi dan berbenah. Mengingat kembali dua tugas besar yang Tuhan amanahkan kepada kita, untuk beribadah kepadaNya (sebagai abdullah) dan mengelola bumi-Nya (sebagai khalifatullah fil ard). Mungkin sudah banyak dari kita yang sering merefleksi ranah ibadah. Namun, sudahkah kita merefleksi ihwal “kekhalifahan” kita di dunia? Jangan-jangan kita terlampau lupa bahwa selain melalui teks-teks suci (kauliah), Tuhan juga menghamparkan ayat-ayat-Nya di seantero semesta (kauniah)? Para nabi terdahulu, termasuk nabi kita Muhammad saw., bahkan mendapat pemahaman ketuhanan pertama saat menyaksikan lanskap alam di hadapannya. Sungguh, alam sedari dulu adalah kawan setia keimanan, tempat benih-benih spiritual disemai dan ditumbuhsuburkan.
Oleh karena itu, setiap kali membahas alam, saya selalu suka mengutip filosofi tua Sunan Kalijaga yang berbunyi “memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara.” Artinya, “bernapas selaras dengan alam, menghilangkan sifat serakah.” Laku hidup ini, sekali pun telah disampaikan berabad-abad lalu, masih tetap dan akan selalu relevan dengan kehidupan manusia. Masyarakat Indonesia, terlebih orang-orang Jawa, seyogyanya senantiasa ingat dan membudayakan kearifannya. Lantaran beragama, dalam tujuan pokoknya (maqashid as-syariah) merangkum enam nilai fundamental: menjaga agama (hifdzu ad-din), menjaga jiwa (hifdzu an-nafs), menjaga akal (hifdzu al-aql), menjaga keturunan (hifdzu an-nasl), menjaga harta (hifdzu al-mal), dan ditambah satu lagi yakni menjaga lingkungan (hifdzul bi’ah). Maka kita yang selama ini mengaku beragama tapi tidak menghormati lingkungan alam tempat kita berpijak, patut diragukan keberagamaannya.
ADVERTISEMENT
Terakhir, meneropong Indonesia Emas 2045, sering kali kita dibuat cemas akan optimisme di satu sisi dan pesimisme di sisi lain. Dalam hal lingkungan, aspek yang belakangan menjadi fokus utama dunia, kita tentu optimis jika seluruh elemen bangsa, terutama generasi mudanya adalah generasi yang peduli terhadap lingkungan, memanifestasi niat baiknya dalam bentuk aksi dan karya, serta turut menyongsong pembangunan berkelanjutan. Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, diperparah dukungan pemerintah yang kian menyusut, maka tidak bisa tidak kita semua akan terpuruk dalam pesimisme akut yang cepat atau lambat akan memukul mundur Indonesia. Maka mari berbenah sekarang, atau tidak sama sekali!
Penulis: Hizkil Achmad Dayan
Pelajar MAN 1 Banyuwangi, Pengurus PR IPNU Desa Pondoknongko, PAC IPNU Kecamatan Kabat
ADVERTISEMENT