Konten dari Pengguna

Kurikulum Ganti Terus, Pendidikan Jalan di Tempat

Oktarina Pawestri
Lulusan Geografi UM, aktif di dunia pendidikan lebih dari 3 tahun. Kini mengajar di bimbel dan lembaga swasta. Tertarik pada isu lingkungan, sosial, ekonomi, dan pendidikan, serta gemar menulis tentang fenomena-fenomena masyarakat.
4 Mei 2025 12:55 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Oktarina Pawestri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi siswa yang sedang memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh guru, Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi siswa yang sedang memperhatikan pelajaran yang disampaikan oleh guru, Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
Perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia tampaknya menjadi siklus yang terus berulang. Hampir setiap pergantian kepemimpinan di kementerian diikuti dengan lahirnya kebijakan kurikulum baru. Sementara visi yang dibawa seringkali mulia—menyesuaikan pendidikan dengan tuntutan zaman—pelaksanaan di lapangan menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks.
ADVERTISEMENT
Kurikulum bukan sekadar daftar mata pelajaran, melainkan sebuah rancangan besar: tentang apa yang diajarkan, bagaimana cara mengajarkannya, dan untuk tujuan apa proses itu dilakukan. Karena pendidikan bersifat dinamis, pembaruan kurikulum memang diperlukan. Namun, frekuensi perubahan dan kesiapan sistem dalam mengimplementasikannya patut menjadi perhatian.
Sejak 1947 hingga saat ini, Indonesia telah mengalami berbagai perubahan kurikulum:
Dalam catatan sejarah tersebut, tampak jelas bahwa kurikulum tidak hanya berubah karena kebutuhan pedagogis, tetapi juga karena dinamika kebijakan nasional.
Kurikulum Merdeka hadir dengan pendekatan yang lebih fleksibel, berbasis proyek, serta memberi ruang eksplorasi dan kreativitas bagi peserta didik. Namun, efektivitas implementasinya bergantung pada kesiapan sekolah dan kompetensi pendidik. Di banyak tempat, kesenjangan antara visi kurikulum dan realitas di lapangan masih besar.
ADVERTISEMENT
Masih dijumpai sekolah-sekolah yang belum memiliki fasilitas memadai, sementara guru belum sepenuhnya memahami pendekatan baru karena keterbatasan pelatihan. Di sisi lain, sekolah dengan sumber daya yang lebih baik dapat lebih cepat beradaptasi. Ketimpangan ini mengancam keberhasilan kebijakan secara nasional.
Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kurikulum Merdeka akan diterapkan secara wajib di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) pada tahun ajaran 2025/2026, dengan masa transisi hingga 2026/2027. Saat ini, 95% sekolah formal telah mulai menerapkan kurikulum ini. Namun, pelaksanaan yang belum merata bisa memperlebar jurang ketimpangan antarwilayah.
Reformasi kurikulum tidak seharusnya menjadi rutinitas administratif, melainkan bagian dari strategi pendidikan jangka panjang yang matang. Evaluasi menyeluruh, keterlibatan pemangku kepentingan di lapangan, serta pemerataan akses terhadap sumber daya harus menjadi prioritas dalam setiap perubahan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan yang merdeka tidak cukup diwujudkan melalui nama kurikulum, tetapi melalui sistem yang menjamin kesetaraan kesempatan belajar bagi seluruh peserta didik di Indonesia.