Tips Hindari Gegar Budaya pada Anak yang Nomaden

Horionsah Hasan
Father & Husband - Civil Servant - Rookie Gardener & Farmer - World Wanderer
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2019 12:45 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Horionsah Hasan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak 'nomaden'. (Sumber photo: Pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak 'nomaden'. (Sumber photo: Pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang diplomat, saya dituntut untuk siap berpindah-pindah tempat dalam bertugas, termasuk ke negara yang memiliki situasi rawan dan berbahaya. Kemampuan adaptasi merupakan salah satu soft skill yang harus dimiliki, mengingat adanya ancaman culture shock atau gegar budaya dalam masa-masa awal perpindahan.
ADVERTISEMENT
Hal ini sebenarnya bagi saya bukanlah suatu permasalahan yang besar. Sebagai orang dewasa, tentu saja saya sudah menyadari risiko dalam bertugas. Namun hal ini akan berbeda jika dihadapkan pada keluarga yang ikut turut serta menemani, terutama anak-anak.
Saya sering berdiskusi mengenai tumbuh kembang anak-anak dengan istri saya, mengingat keunikan perkembangan anak-anak kami yang akan menjadi anak-anak yang nomaden. Latar belakang istri sebagai seorang psikolog klinis tentu banyak membantu saya membuka pikiran dan wawasan, serta dapat menjadi suatu panduan tersendiri dalam berperan membesarkan anak-anak.
Kali ini saya akan bercerita mengenai hasil diskusi kami tentang gegar budaya pada anak-anak.
Gegar budaya adalah suatu kondisi gangguan mental, ketika seseorang mengalami kontak dengan suatu budaya yang baru dan merasa tidak nyaman karena kontak tersebut. Kondisi gegar budaya bisa berupa perasaan sedih, kehilangan, kesulitan tidur, perubahan mood sehingga mudah marah, ataupun perasaan berduka cita.
Ilustrasi anak sedih. (Sumber Photo: Pixabay.com)
Pada dasarnya, anak-anak menyukai keteraturan. Apalagi jika ia masih dalam usia balita. Mereka biasanya memiliki jam biologis tubuh yang cukup teratur. Jam berapa makan, tidur, pergi sekolah, dan sebagainya. Perubahan kecil saja bisa cukup berdampak pada anak. Sebagai contoh, ketika anak diajak berekreasi dan melewatkan rutinitas tidur siangnya, maka ia akan menjadi cukup rewel di waktu malam hari.
ADVERTISEMENT
Jika perubahan kecil saja bisa menimbulkan dampak, apalagi perubahan besar seperti perpindahan tempat tinggal.
Beberapa hal bisa dipersiapkan untuk meminimalisir terjadinya gegar budaya pada anak yang nomaden.

Mencari Informasi Sedetail Mungkin

Ketidaktahuan kita mengenai daerah yang akan dituju, dapat memperburuk keadaan setelah pindah. Banyak mencari tahu informasi, baik melalui internet maupun bertanya pada kolega, adalah langkah awal yang harus dilakukan. Jika anak sudah dapat diajak berdiskusi, libatkan juga anak dalam hal ini.
Setelah informasi terkumpul, akan lebih mudah bagi kita untuk menyusun langkah berikutnya, seperti menyusun daftar barang-barang yang akan dibawa, termasuk pakaian, bahan makanan, buku, mainan anak, maupun hal-hal yang menunjang hobi atau pleasure time keluarga.
Ilustrasi mainan anak. (Sumber Photo: Pixabay.com)

Belajar Bahasa

Salah satu penyebab gegar budaya yang cukup berpengaruh adalah, ketidakmengertian bahasa. Jika anak sudah memiliki sedikit kemampuan berbahasa asing di tempat baru tersebut, maka hal tersebut akan sedikit banyak membantunya untuk beradaptasi. Namun jika ia masih belum dapat berkomunikasi atau masih merasa sangat asing dengan bahasa yang akan ia gunakan, maka belajar bahasa adalah prioritas utama yang sebaiknya dilakukan.
Ilustrasi anak belajar. (Sumber Photo: Pixabay.com)
Golden age untuk mengasah kemampuan bahasa anak adalah di usia nol sampai enam tahun. Namun perlu diingat, untuk mengajari anak bahasa asing, akan lebih baik ketika kemampuan bahasa pertama anak sudah cukup matang, misalnya di usia dua sampai tiga tahun.
ADVERTISEMENT

Segera Kenali Lingkungan Setempat

Sesampainya di tempat tujuan, segera ketahui tempat-tempat penting seperti toko bahan makanan, klinik, rumah sakit, toko perkakas atau alat rumah tangga, kantor polisi, dan sebagainya. Tempat-tempat rekreasi seperti taman bermain ataupun bioskop juga sebaiknya dimasukkan ke dalam daftar.
Ilustrasi taman bermain anak. (Sumber Photo: Pixabay.com)

Berpikir Seperti Anak

Empati dari orang tua merupakan hal yang sangat dibutuhkan anak-anak ketika memasuki tempat baru. Apakah anak kita merasa terkejut dengan budaya yang baru, atau masih bersedih karena berpisah dengan sahabatnya? Jika hal tersebut terjadi, berikan mereka waktu untuk ketidaknyamanannya.
Usahakan agar lebih dapat memahami daripada menuntut anak untuk bertindak seperti yang kita inginkan. Kita sudah pernah menjadi anak-anak, namun anak-anak kita belum pernah menjadi orang tua. Hal yang sering istri saya katakan, “Jika bicara pada orang Jerman, gunakan bahasa Jerman. Jika bicara dengan anak-anak, gunakan bahasa anak-anak.”
Ilustrasi bermain bersama anak. (Sumber photo: Pixabay.com)
Sebagai orang tua, kita diminta untuk dapat lebih mengerti, sembari terus menemani anak kita berproses. Namun untuk dapat lebih memahami dan berempati, orang tua juga sebaiknya berada pada kondisi mental yang stabil.
ADVERTISEMENT
“Kita harus punya permen dulu supaya bisa memberi orang lain permen. Kita harus bahagia dulu, supaya bisa membuat orang terdekat kita bahagia,” begitu juga yang ia katakan.
Jadi, jika memang Anda dituntut untuk hidup nomaden karena tuntutan pekerjaan, jangan terlalu khawatir dengan perkembangan anak. Pastikan keluarga selalu hadir untuk menjamin kenyamanan dan keamanan buah hati di lingkungan baru.
#Parenting #DiplomatSeru #Psikologi