Konten dari Pengguna

Memaknai Peristiwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959

POLTEK HARBER TEGAL
Dikelola oleh Bagian Humas
19 Agustus 2024 11:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari POLTEK HARBER TEGAL tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Prasetya Putra Nugraha, M.Pd, Dosen Kewarganegaraan Politeknik Harapan Bersama
zoom-in-whitePerbesar
Prasetya Putra Nugraha, M.Pd, Dosen Kewarganegaraan Politeknik Harapan Bersama
ADVERTISEMENT
Tepat 65 tahun lalu, Bangsa Indonesia mengalami suatu peristiwa sejarah penting yaitu Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Peristiwa ini dilatarbelakangi semenjak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949 dengan Konstitusi RIS yang kemudian per 17 Agustus 1950 atas desakan rakyat Indonesia negara kembali dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedangkan konstitusi yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Pada tahun 1955 untuk pertama kalinya Bangsa Indonesia menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang dilaksanakan selama dua tahap yaitu untuk memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante yang bertugas untuk menyusun UUD yang baru. Seiring perjalanan waktu Dewan Konstituante dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya, apalagi kondisi politik saat itu sangat tidak stabil sehingga Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu agendanya adalah kembali pada UUD 1945.
ADVERTISEMENT
UUD 1945 dianggap yang sesuai dengan jatidiri bangsa serta cita-cita Proklamasi Kemerdekaan, meskipun dalam pelaksanaannya juga mengalami beberapa penyimpangan seperti diterapkannya Demokrasi Terpimpin pada 1959-1965 yang mana kekuasaan bertumpu pada Presiden Soekarno. Di masa Orde Baru dengan visi menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai koreksi daripada penyimpangan masa Demokrasi Terpimpin sempat memunculkan angin segar meski dalam pelaksanaannya juga tidak luput dari penyimpangan yaitu dengan memonopoli keberadaan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang menuntut masyarakat untuk memiliki jiwa Pancasilais yang sesuai dengan kehendak rezim pada saat itu. Setelah Reformasi bergulir kedudukan Pancasila seolah mengambang bahkan menjadi kambing hitam sebagai wujud respon terhadap kegagalan pemerintahan Orde Baru, di samping banyak sebagian kalangan terutama di tingkat elit politik yang mengalami perubahan sikap yang berimplikasi pada terjadinya pergeseran nilai-nilai kebangsaan yang bertentangan dengan Pancasila.
ADVERTISEMENT
Mau dibawa kemana negara ini?
Setidaknya masih ada secercah harapan serta optimisme terhadap eksistensi bangsa ini. Hal ini dibuktikan pada sejarah terbentuknya negeri ini yang sebelumnya berabad-abad kita mengalami masa penjajahan kemudian diawali dari kebangkitan nasional lalu berlanjut pada Sumpah Pemuda kemudian berpuncak pada Proklamasi Kemerdekaan. Pengalaman sejarah perjuangan bangsa tersebut menjadi cerminan kita dalam mengisi kemerdekaan. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan, diantaranya adalah dikembalikannya UUD 1945 asli sebelum mengalami amandemen. Isi daripada UUD haruslah yang lebih memihak pada kepentingan rakyat serta prinsip daripada negara kesatuan sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa. Selain itu diperlukan pemahaman Pancasila secara terbuka, tidak hanya dogmatis. Pancasila harus menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi kalangan masyarakat luas terutama di tingkat akar rumput. Para elit politik sebagai penyelenggara negara juga harus menunjukkan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan tidak bertentangan dengan Pancasila. Sinergitas antara pemerintah, lembaga pendidikan, TNI/POLRI, tokoh agama, pengusaha, pemuda, dan masyarakat pada umumnya juga diperlukan dalam mempertahankan eksistensi Pancasila sebagai Landasan Idiil dan UUD 1945 sebagai landasan Konstitusi. Apabila semuanya berjalan dengan baik, maka keutuhan NKRI akan terwujud sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa.
ADVERTISEMENT