The Crown, Industrialisasi, dan Masa Depan Negara Ber-flower

Humaidah
"I am literally nothing beyond what I decide to be" (Sartre)
Konten dari Pengguna
1 Desember 2019 16:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Humaidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkota Sumber : Pixabay
Yang ditunggu akhirnya datang juga, season 3 serial ter-favorit saya, The Crown. Serial ini bercerita tentang beberapa kejadian yang dialami Elizabeth dan rakyat Inggris sejak penobatannya menjadi Ratu. Sejumlah penghargaan bergengsi sudah diraih oleh serial yang mulai tayang tahun 2016 ini, termasuk penghargaan Emmy Awards dan Golden Globe.
ADVERTISEMENT
Ada dua episode The Crown yang membekas buat saya, yang pertama "Act of God", tayang di season pertama episode ke-empat. Episode berlatar waktu Desember 1952 ini, mengisahkan Kota London ketika dilanda bencana kabut yang bercampur dengan asap dari pembakaran batu bara. Peristiwa menjelang natal itu diperkirakan memakan korban hingga 4000 jiwa dan 100.000 lainnya mengalami gangguan pernafasan. Perdana Menteri Inggris kala itu, Winston Churchill awalnya mengabaikan peringatan para ahli mengenai kemungkinan terjadinya bencana. Tetapi setelah kabut tidak berlalu hingga berhari-hari akhirnya Churchill mangambil tindakan.
Episode lainnya yang membekas adalah episode ke-3 season 3, judulnya "Aberfan". Episode ini mengisahkan kejadian ketika timbunan galian tambang batu bara runtuh dan menimpa sekolah dasar dan beberapa bangunan di Kota Aberfan, Wales. 144 orang meninggal dan 116 diantaranya adalah anak-anak yang sedang belajar di sekolah. Awalnya Ratu Elizabeth II menolak mengunjungi lokasi kejadian karena menurut aturan "ningrat", anggota kerajaan hanya mengunjungi rumah sakit bukan kejadian bencana. Tapi tekanan rakyat membuatnya berubah pikiran, dan Sang Ratu menyesal tidak segera ke Aberfan.
Timbunan Galian Pertambangan. Sumber : Pixabay
Dua episode ini mengingatkan saya dengan apa yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Tentu kita ingat film "Sexy Killers" yang beredar menjelang pemilu tahun ini. Di awal film, penonton disuguhkan pemandangan berjuta-juta hektar tanah gundul bekas galian yang diabaikan begitu saja yang berlokasi di Kalimantan Timur. Lokasi yang berada di sekitar pemukiman warga menyebabkan beberapa rumah mengalami kemiringan hingga hancur total. Bahkan air yang diminum warga sekitar berwarna keruh. Mirip dengan Aberfan, banyak anak-anak yang menjadi korban karena jatuh ke lubang galian yang berada persis di dekat sekolah. Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah sawit. Seperti diketahui, Uni Eropa mengancam akan memboikot produk sawit Indonesia karena sejumlah alasan, antara lain deforestasi.
Deforestasi. Sumber: Pixabay
Hampir dua abad setelah Revolusi Industri, pertambangan di Inggris masih belum menerapkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Belum lagi emisi gas buang yang juga menimbulkan korban jiwa. Lalu butuh waktu berapa lama bagi negara ber-flower alias negara berkembang seperti Indonesia untuk bisa mengatasi masalah-masalah lingkungan sebagai akibat dari industrialisasi? Tahun 2015, Indonesia menandatangani Paris Agreement yang antara lain menyatakan komitmen dapat mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 sebesar 29% apabila berbisnis seperti biasa dan hingga 41% jika mendapat dukungan dan kerja sama internasional. Hal tersebut dicantumkan dalam Nationally Determined Contribution yang telah disiapkan oleh Kementerian Keuangan RI.
ADVERTISEMENT
Membandingkan dua kondisi di Inggris dan di Indonesia sekarang ini, mengingatkan saya dengan salah satu buku Ha-Joon Chang yang berjudul Kicking Away the Ladder, cetakan pertama tahun 2004. Menurut Chang, terdapat paradoks dimana negara-negara maju sekarang ini tidak menggunakan kebijakan-kebijakan yang diterapkan ketika menaiki tangga kesuksesan sebagai negara industri maju. Ketika menaiki tangga menuju negara maju, mereka menetapkan tarif yang tinggi, kebijakan industri sektoral, tidak memiliki bank sentral yang independen dan lain sebagainya. Oleh karena itu, menurut Chang, negara-negara maju ini seakan "membuang tangga" (kicking away the ladder) ketika negara berkembang mencoba menaiki tangga yang sama untuk mencapai status sebagai negara maju.
Kicking Away the Ladder karya Ha-Joon Chang. Sumber : Koleksi Pribadi.
Sebagai negara berkembang, Indonesia terancam terjebak dalam pendapatan menengah, atau middle income trap dan tidak bisa bergerak menuju negara maju. Para ekonom menyampaikan bahwa tahun 2030 adalah tenggat waktu bonus demografi Indonesia karena setelah itu pertumbuhan populasi usia produktif akan menurun sehingga pertumbuhan pendapatan per kapita juga akan melandai. Lebih lanjut, dibutuhkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 6 persen untuk keluar dari middle income trap tersebut.
ADVERTISEMENT
Tentu hal ini tidak mudah. Salah satu resep yang dianjurkan adalah adanya perubahan struktur ekonomi Indonesia agar pertumbuhan ekonomi tidak lagi didominasi sektor konsumsi domestik namun lebih pada basis produksi. Industrialisasi adalah cara terbaik untuk keluar dari middle income trap. Tetapi dengan beragam komitmen di forum internasional yang sepertinya menjadi beban tersendiri untuk proses industrialisasi di Indonesia, mampukah negara ini meninggalkan status negara ber-flower dan menjadi negara maju tahun 2030 yang tinggal 10 tahun lagi?