Disakiti Justru Terus Mencintai

Konten dari Pengguna
20 Desember 2018 16:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Sina Meliala tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat itu mentari belum sepenuhnya tampak. Perlahan saya meninggalkan kamar agar tak menggangu lelapnya istri dan anak. Minggu pagi KRL selalu menjadi rutinitas saya. Perjalanan dari Depok menuju Bogor yang memakan waktu sekitar satu jam lebih, seperti tak terasa ketika jiwa ini akan bertemu dengan harapan. Akhir pekan yang biasanya dihabiskan bersama keluarga, harus saya tinggalkan untuk menemui harapan tersebut. Langkah saya semakin cepat menemuinya ketika melihat bahwa harapan itu semakin terlihat. Semakin besar. Dan tampak begitu jelas. --------------------------------------------------------------------- Sedih. Gusar. Kecewa. Itu lah perasaan saya, dan mungkin kalian semua, ketika menyaksikan episode "PSSI BISA APA?" di Mata Najwa, baik jilid satu atau pun jilid dua. Match fixing atau pengaturan skor, suap dan keterlibatan oknum PSSI yang sejatinya menjaga marwah persepakbolaan nasional, justru ikut andil dalam permainan kotor tersebut. Hal ini tampak sia-sia bagi saya yang sebelumnya susah payah mencari informasi sejak lama terkait lisensi kepelatihan PSSI. Tujuannya agar saya bisa melihat secara langsung apa yang sebenarnya terjadi dan berkontribusi secara positif pagi sepakbola Indonesia. Rochmat Setiawan, yang kini menjadi analisa performa Tim nasional U-19, mungkin menjadi saksi bagaimana saya harus menggali informasi terkait adanya lisensi kepelatihan di Indonesia. Sejak itu saya masih berdomisili di Ankara, Turki. Dan memang saat itu, informasi terkait lisensi kepelatihan sangat minim. Hanya akan dimiliki oleh mereka yang berada di lingkar PSSI pusat ataupun asprov. Pada akhirnya, ketika saya sudah memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mendapatkan informasi terkait kepelatihan, saya pun ikut pelatihan tersebut. Iwan Setiawan yang saat itu menjadi pelatih Borneo FC saat itu, menjadi instruktur dalam kepelatihan itu. Usai mendapatkan lisensi pelatih, saya memang tak langsung terlibat dalam sepakbola khususnya pembinaan usia dini. Kesibukan sebagai budak korporat dan mengurus anak, membuat saya harus sedikit bersabar untuk bisa turut andil dalam persepakbolaan Indonesia. --------------------------------------------------------------------- Senyum dan tawa. Semangat dan keringat. Itu lah harapan yang saya temui setiap Minggu pagi dari wajah dan tubuh anak-anak tersebut. Tak mau kalah, harapan besar pun muncul dari para orang tua yang rela ikut berpanas-panasan menemani sang buat hati. Berharap kelak bisa membawa harum nama keluarga. Anak-anak ini belum paham akan pengaturan skor, suap atau pun busuknya federasi tertjnggi sepakbola di Indonesia ini. Tak heran langka kecil mereka untuk mengejar si kulit bundar terlihat begitu ringan. Tanpa beban. Sangsi saya akan sepakbola kita akan maju mulai tergerus. Impian mereka untuk bisa menjadi seperti idola mereka yang biasa disaksikan dari layar kaca terus membayangi hari-harinya. Api semangat mereka untuk menjadi persepakbola profesional sulit dipadamkan. Dan apakah api semangat saya melihat Indonesia berkiprah di Piala Dunia harus sirna begitu saja ketika melihat problematik yang terjadi di sepakbola kita? TIDAK. Interaksi dua arah yang terjadi membuat saya juga belajar dari anak-anak tersebut akan semangat dan ketulusan mereka. Keringat dan tawa mereka di lapangan bagaikan angin segar bagi kita agar bisa terus berperan baik aktif atau pun pasif dalam persepakbolaan Indonesia. Cinta memang buta ternyata. Disakiti justru terus mencintai.
ADVERTISEMENT