Beban Berat Penjabat Kepala Daerah

Ibnu Syamsu Hidayat
Advokat di Firma Hukum Themis Indonesia
Konten dari Pengguna
25 Februari 2022 15:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ibnu Syamsu Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Galeri Resmi Website Kemendagri.go.id
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Galeri Resmi Website Kemendagri.go.id
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Kepala Daerah mengakibatkan tidak adanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2022 dan 2023. Dalam Pasal 201 ayat (8) UU tentang Kepala Daerah memberikan desain penyelenggaraan Pilkada serentak nasional dilaksanakan pada bulan November 2024.
ADVERTISEMENT
Penyelenggaraan pilkada serentak nasional dilakukan pada tahun 2024 membawa dampak bagi pemerintah daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis pada tahun 2022 dan 2023. Tercatat ada 101 kepala daerah baik Gubernur Bupati serta Walikota yang habis masa jabatannya di 2022 ini.
Selain itu, pada 2023 terdapat 170 Kepala Daerah, Gubernur, Bupati serta Walikota yang habis masa jabatannya. Artinya ada waktu 2-3 tahun kepada daerah tersebut terjadi kekosongan kepala daerah.
Adanya penjabat pengisi kekosongan kepala daerah ini menimbulkan masalah serius bagi pembangunan sebuah daerah. Akan muncul ketidakjelasan pembangunan daerah akibat Rencana Pembangunan Jangka Menengah daerah (RPJMD) telah diselesaikan oleh kepala daerah sebelumnya. Apakah Pejabat pengisi kekosongan kepala daerah tersebut memiliki kewenangan menyusun visi misi dan menyusun RPJMD selama dua atau tiga tahun menjabat itu ?
ADVERTISEMENT
Skema Penjabat Kepala Daerah
Sebenarnya skema pengisian kekosongan kepala daerah secara legal formal telah diatur dalam UU Kepala Daerah. Pasal 201 ayat (9) dan ayat (10) menyatakan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Muncul masalah pada penjelasan pasal 201 ayat (9) “Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun berikutnya dengan orang yang sama/berbeda”.
Dari keterangan pasal 201 ayat (9) tersebut tidak dijelaskan bagaimana mekanisme penunjukan penjabat gubernur, bupati atau walikota nantinya, sehingga dalam praktiknya saat ini, mekanisme penunjukan penjabat kepala daerah ditentukan oleh pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
Padahal dalam konsepnya, UUD 1945 pasal 18 ayat (4) menyebutkan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Selain itu, data Kementerian Dalam Negeri menunjukan bahwa rata-rata kepemimpinan daerah periode 2022 ini habis pada bulan Mei sampai dengan Desember 2022. Jika diasumsikan semua penjabat kepala daerah yang habis masa jabatan 2022 diperpanjang satu tahun berikutnya, penjabat kepala daerah akan berhenti di 2023. Sehingga pemerintah pusat perlu melakukan penunjukan penjabat baru sampai dilantiknya pemenang pilkada 2024.
Disini terlihat bagaimana rumitnya skema penjabat pengganti kekosongan kepala daerah dan kemungkinannya sampai dengan 2024 akan ada pemerintah daerah yang mengalami 2 kali pergantian penjabat kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan Rumah
Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab yang benar untuk meyakinkan kepada publik, bahwa penjabat kepala daerah pengisi kekosongan kepala daerah tersebut benar-benar memiliki kualitas, integritas dan mampu memimpin daerah dengan sisa masa jabatan sampai pilkada 2024.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah membutuhkan legitimasi publik, kepala daerah harus mendapat penerimaan dan pengakuan atas kewenangan yang telah diberikan sehingga kepala daerah dan rakyatnya memiliki keinginan dan tujuan bersama untuk mewujudkan visi-misinya selama menjabat sebagai kepala daerah.
Selain itu, masa jabatan penjabat kepala daerah yang relatif lama ini mengharuskan penjabat kepala daerah melakukan terobosan yang efektif dan inovatif dalam menyusun program kerja pemerintah daerah sampai dengan 2024.
Penjabat Kepala daerah akan menghadapi situasi pemerintah daerah yang memiliki banyak pekerjaan rumah akibat pandemi Covid-19. Banyak program kerja pemerintah tertunda terlebih dahulu akibat pandemic Covid-19, seperti untuk penanganan Covid-19 dibidang Kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net) dan penanganan dampak ekonomi sesuai dengan yang diamanatkan dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengharuskan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi dan perubahan RPJMD. Seperti yang terjadi di Pemerintah Provinsi Bali yang melakukan perubahan terhadap Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Semesta Berencana Provinsi Bali 2018-2023 dengan alasan bahwa hasil evaluasi terhadap capaian indikator kebijakan visi dan misi Gubernur Bali tidak sesuai dengan harapan sebagai akibat kondisi perekonomian dan kemampuan keuangan daerah yang terkoreksi akibat pandemic Covid-19.
Pengisian kepala daerah yang ditunjuk oleh pusat rentan adanya delegitimasi. Padahal penjabat kepala daerah yang masa jabatannya maksimal dua tahun ini mengharuskan adanya pembangunan daerah yang partisipatif dan mengedepankan kolaborasi bersama masyarakat. Oleh karena itu penyusunan program kerja, penyusunan anggaran pendapatan dan belanja pemerintah daerah harus benar-benar melibatkan peran serta masyarakat. Dari proses musrembang dari paling bawah sampai atas harus benar-benar menggunakan prinsip meaningful participation yang setidaknya memenuhi 3 persyaratan, hak dapat didengarkan pendapatnya, mempertimbangkan pendapatnya dan mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Ibnu Syamsu Hidayat, Lawyer Themis Indonesia