Konten dari Pengguna

Krisis Gas di Tengah Kontraksi Tajam Manufaktur

Mohammad Ichsan Verianto
Mohammad Ichsan Verianto, Bachelor of Economics from Universitas Airlangga. Interest in Regional Economics, Public Policy, Green Economics & Environment, and Finance.
3 Mei 2025 14:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Ichsan Verianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aktivitas manufaktur Indonesia baru-baru ini menunjukkan sinyal melemah. Purchasing Managers' Index (PMI) April 2025 mengalami konstraksi sebesar 46.7 poin, turun tajam 5.7 poin dari bulan sebelumnya. Angka di bawah 50 poin ini menandakan bahwa sektor manufaktur kembali ke zona kontraksi dengan penurunan terbesar pertama kali dalam lima bulan terakhir. Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bahkan mengonfirmasi bahwa kondisi ini menandakan optimisme industri manufaktur semakin menurun di tengah situasi ketidakpastian yang terjadi.
Perkembangan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia kembali mengalami kontraksi pada April 2025, terhitung terbesar dalam satu tahun terakhir. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa industri manufaktur keluar dari zona ekspansi. Foto: Standard & Poor’s (S&P) Global/ diolah.
zoom-in-whitePerbesar
Perkembangan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia kembali mengalami kontraksi pada April 2025, terhitung terbesar dalam satu tahun terakhir. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa industri manufaktur keluar dari zona ekspansi. Foto: Standard & Poor’s (S&P) Global/ diolah.
Kondisi industri manufaktur yang mengalami kontraksi ini tidak terlepas dari tekanan biaya dan pasokan energi. Krisis pasokan gas bumi telah menjadi ancaman nyata bagi pabrik-pabrik di wilayah pulau Jawa dan Sumatra.
ADVERTISEMENT
Laporan DPR Komisi VII tentang Optimalisasi Penyerapan Gas Bumi Nasional mencatat bahwa kebutuhan gas industri di Jawa Barat saat ini mencapai 500-550 billion british thermal unit per day (BBTUD-satuan pengukuran volume gas bumi dalam industri gas dan energi), tetapi pasokan gas yang tersedia masih defisit sekitar 50 BBTUD. Jika tidak segera diatasi, defisit ini diperkirakan bisa melonjak sampai 370 BBTUD pada 2028.
Di wilayah Sumatra dan Jawa lainnya, ketidakseimbangan pasokan juga terjadi. Total kebutuhan gas pada 2024 diproyeksikan sebesar 585 BBTUD, sementara pasokan hanya 534 BBTUD, menyisakan defisit sekitar 50 BBTUD seperti yang disebutkan pada data sebelumnya.
Ketidakseimbangan pasokan gas terjadi akibat produksi lapangan menurun dan infrastruktur pipa yang belum memadai. Kondisi ini juga memperkuat kekhawatiran akan krisis pasokan gas bumi untuk industri di Jawa Barat. Akibatnya, sejumlah pabrik terpaksa mengimpor liquefied natural gas (LNG) untuk suplai cepat. Laporan DPR Komisi VII juga menyebutkan bahwa perusahaan gas negara (PGN) sampai menyalurkan LNG hampir 45 BBTUD ke Jawa Barat sejak Mei 2024, jauh di atas target awal yang sebesar 18-20 BBTUD.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, pemerintah tampaknya sedang mendorong percepatan transisi energi dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil termasuk gas. Namun kenyataannya, infrastruktur dan sumber energi alternatif belum siap sepenuhnya.
Risiko Transisi Energi Tanpa Gas
Lembaga ReforMiner Institute menegaskan bahwa gas bumi masih punya peran strategis sebagai jembatan menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) yang berkelanjutan. Indonesia bahkan menargetkan pembangkit baru hingga 2040 dengan porsi 20 Gigawatt (GW) dari gas bumi. Hal ini dilakukan di tengah rekomendasi pemanfaatan energi sebesar 75% dari energi terbarukan.
Di sisi lain, data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa pemanfaatan gas untuk kebutuhan industri justru masih mendominasi yaitu sekitar 28% dari total pemanfaatan gas pada pertengahan 2021. Artinya, jika pasokan gas tersendat saat krisis maka menyebabkan rantai pasok energi ke industri bernilai tambah tinggi terganggu seperti petrokimia, elektronik, otomotif, farmasi, dan lainnya.
Ilustrasi Rantai Ekosistem Industri Energi Gas Bumi. Foto: Tartila/ Shutterstock
ReforMiner Institute menilai bahwa potensial besar gas dalam negeri justru tidak mampu digunakan untuk mendorong pembangunan ekonomi termasuk dalam pembangunan industri. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa optimalisasi gas hanya sebagai solusi keniscayaan untuk mengurangi beban impor liquified petroleum gas (LPG) dan menopang kebutuhan energi nasional.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, keandalan pasokan gas bumi kini memegang peranan krusial agar industri dapat tetap berdaya saing. Gangguan suplai gas berarti biaya produksi melambung, investor ragu, dan teknologi canggih bisa enggan berinvestasi di Indonesia dibanding negara lain yang menjamin energi lebih stabil.
Rekomendasi Strategis
Pemerintah dan pelaku industri perlu mengambil langkah konkret untuk menghadapi situasi genting ini. Pertama, memperluas infrastruktur gas yaitu dengan mempercepat pembangunan jaringan pipa dan fasilitas pengolahan gas. Misalnya, pemerintah merencanakan pembangunan pipa Dumai-Sei Mangkei sepanjang 555 km dan jalur pipa Cirebon-Semarang sepanjang 260 km agar transmisi gas di Sumatra dan Jawa tersambung.
Ilustrasi Jaringan Pipa Industri Gas Bumi. Foto: leungchopan/ Shutterstock
Dengan infrastruktur yang lebih baik, cadangan gas yang tersedia di timur Indonesia bisa dialihkan ke Jawa Barat yang mengalami defisit. Begitu pula pembangunan terminal LNG dan regasifikasi kapal penyimpanan terapung-floating storage regasification unit (FSRU) perlu dipercepat sebagai alternatif suplai cepat.
ADVERTISEMENT
Kedua, memprioritaskan gas domestik dengan menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) lebih ketat. Tujuannya untuk memastikan perusahaan minyak dan gas (Migas) mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Artinya, sebelum diekspor, gas didahulukan untuk industri dalam negeri. Hal ini akan menghindari kekosongan pasokan sektor manufaktur bernilai tambah tinggi.
Ketiga, adanya insentif untuk industri intensif gas. Sektor seperti petrokimia, baja, otomotif, dan elektronik padat gas harus mendapat dukungan fiskal. Misalnya, tarif gas preferensial atau subsidi sasaran dapat diberikan agar biaya energi perusahaan tetap kompetitif di pasar global.
ReforMiner menekankan bahwa optimalisasi gas domestik dapat mengurangi beban subsidi energi negara dan memperkuat industri. Skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) juga bisa digunakan untuk membiayai proyek gas di daerah terpencil, sehingga investasi swasta tertarik membantu pembangunan infrastruktur vital.
ADVERTISEMENT
Keempat, gas dijadikan sebagai jembatan energi bersih. Sambil mempercepat proyek energi hijau, pemanfaatan gas harus dimaksimalkan sebagai energi transisi. Gas yang lebih rendah emisi dibanding batu bara tetap diperlukan untuk menjaga kestabilan produksi hingga EBT benar-benar siap.
Program jaringan gas kota (Jargas) juga perlu dipercepat dengan memanfaatkan cadangan gas domestik untuk mengurangi konsumsi LPG dan batubara di pembangkit listrik. Langkah ini tidak hanya menurunkan impor energi, tetapi juga mengoptimalkan sumber daya alam dalam negeri.
Kelima, dukungan pemerintah pada industri bernilai tinggi dengan mendorong hilirisasi dan pengembangan teknologi manufaktur canggih seperti elektronika, baterai electric vehicle (EV), kimia khusus, dan lainnya. Fasilitas seperti kawasan industri terpadu dengan infrastruktur gas yang handal akan menjaga daya saing.
ADVERTISEMENT
Insentif research and development (R&D) serta kemitraan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)-swasta di bidang energi dapat menurunkan biaya energi bagi industri bernilai tambah tinggi. Pada akhirnya menjadikan Indonesia lebih menarik dibanding negara lainnya. Ini penting karena daya saing global bergantung pada kestabilan pasokan energi. Investasi teknologi akan lari ke negara yang biaya gas dan listriknya lebih murah dan terjamin.
Kesimpulannya, industri nasional dapat memulihkan kinerjanya ke arah ekspansif sekaligus lebih baik dalam menghadapi transisi energi jika ditunjang oleh kelancaran pasokan gas bumi. Gas domestik yang dikelola dengan baik bukan hanya fondasi bagi manufaktur saat ini, tetapi juga jembatan yang strategis menuju ekonomi hijau di masa depan.
Kombinasi antara realitas industri terkini dan aspirasi transisi energi menuntut strategi seimbang. Pemerintah dan dunia usaha harus sinergi untuk memperkuat pasokan gas sembari mengakselerasi energi baru. Dengan begitu, industri teknologi dan manufaktur bernilai tinggi Indonesia tidak hanya selamat dari krisis jangka pendek, tetapi juga siap bersaing jangka panjang di era ekonomi hijau.
ADVERTISEMENT