Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menguak Misteri Tingginya Angka Bunuh Diri di Jepang
23 Maret 2021 10:32 WIB
Tulisan dari Ida Ayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jepang terkenal sebagai destinasi wisata yang menarik jutaan wisatawan dari berbagai negara. Teknologi yang maju pesat, kualitas udara yang bersih, ragam kuliner yang lezat, kehidupan yang serba teratur, membuat banyak orang betah tinggal berlama-lama di Jepang. Namun, mengapa angka bunuh diri di negeri Sakura ini masih sangat tinggi, ya?
Akibat Pandemi COVID-19, Angka Bunuh Diri di Jepang Meningkat
ADVERTISEMENT
Angka bunuh diri di Jepang sejak pandemi COVID-19 melanda negara tersebut mengalami lonjakan untuk pertama kalinya dalam 10 tahun. Hal ini umumnya disebabkan karena kondisi perekonomian yang semakin sulit serta banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan sumber pemasukannya.
Menariknya, angka bunuh diri pada wanita di tahun 2020 meningkat 70% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Para ahli berpandangan bahwa hal ini salah satunya didorong karena banyak wanita yang bekerja di sektor informal dan paruh waktu (part time), salah satu sektor yang terdampak pandemi cukup dalam.
ADVERTISEMENT
Peningkatan angka bunuh diri yang signifikan di Jepang juga pernah terjadi saat krisis keuangan global melanda dunia pada tahun 1998 dan 2008. Namun pada kedua krisis tersebut, umumnya korban bunuh diri adalah laki-laki paruh baya yang putus asa karena kehilangan pekerjaan. Angka kematian karena bunuh diri juga kerap kali meningkat di bulan Maret, yakni pada masa berakhirnya tahun fiskal di Jepang.
Apa Sebabnya?
Dalam budaya Jepang, mengeluh merupakan hal yang tabu dan tidak umum untuk dilakukan. Maka dari itu, orang seringkali lebih memilih untuk menyimpan permasalahan yang dihadapi dan tenggelam dalam depresi.
ADVERTISEMENT
Standar dan tuntutan kehidupan yang tinggi, seperti biaya hidup yang mahal, persaingan mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang baik, kesulitan ekonomi, kerap menjadi sumber munculnya rasa frustrasi di masyarakat.
Bagi keluarga yang terdampak juga tidak lazim untuk membicarakan terkait kepedihan mendalam yang dialami secara publik. Terdapat stigma di masyarakat luas yang berkembang hingga akhir tahun 1990-an bahwa aksi bunuh diri merupakan perilaku yang egois. Hal ini menyebabkan keluarga pun menjadi takut dan enggan untuk mencari bantuan konseling.
Depresi dan Kasus Bunuh Diri di Kalangan Anak Muda Jepang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, angka bunuh diri di kalangan anak muda Jepang juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2020, angka kematian karena bunuh diri di kalangan masyarakat berusia di bawah 20 tahun mengalami peningkatan 10% dibandingkan tahun sebelumnya dan merupakan yang tertinggi sejak tahun 2000.
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka yang mengalami depresi karena bullying, permasalahan keluarga, dan stres. Selain itu, tidak sedikit anak muda di Jepang yang melakukan hikikomori: menarik diri dari masyarakat dan menjadi antisosial. Hal ini juga didukung dengan kemajuan teknologi yang pesat, membuat orang lebih memilih untuk mengisolasi dirinya dari masyarakat hingga berbulan-bulan.
Kemajuan teknologi juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya cyberbullying di Jepang. Tahun lalu, Hana Kimura (22 tahun) yang merupakan salah satu pemain dalam reality show ternama Terrace House , mengakhiri hidupnya dengan tragis setelah mengalami cyberbullying. Kimura yang berprofesi sebagai pegulat wanita ini menerima banyak pesan kebencian di media sosial setelah sebuah insiden yang terjadi dalam salah satu episode Terrace House.
ADVERTISEMENT
Hutan Bunuh Diri Aokigahara
Waktu pertama kali berkunjung ke area wisata Gunung Fuji, salah satu teman saya menyebutkan bahwa di area tersebut terdapat hutan yang sering digunakan sebagai tempat untuk bunuh diri (suicide forest). Sepintas saat melintas dari jalan raya, hutan tersebut tampak biasa saja, Aokigahara namanya.
Aokigahara atau yang juga populer dengan nama jukai atau sea of trees merupakan kawasan hutan yang terbentang seluas 30 km2 dan berkembang di atas lava hasil erupsi besar Gunung Fuji di abad ke-9.
Antara tahun 2013–2015, tercatat lebih dari 100 orang melakukan aksi percobaan bunuh diri di hutan tersebut. Karena tingginya kasus bunuh diri di Aokigahara, sejak tahun 1970-an, tim pencarian juga diterjunkan secara berkala dengan didukung oleh satuan kepolisian dan sukarelawan untuk melakukan penyelamatan dan pencarian korban.
Banyak orang Jepang yang percaya bahwa Aokigahara merupakan tempat tinggal dari yurei, hantu kematian dalam mitologi Jepang. Marak juga beredar mitos di kalangan masyarakat bahwa hutan ini juga menjadi tempat untuk melakukan ubasute di abad ke-19, yakni meninggalkan kerabat atau orang tua yang sudah tua di daerah pegunungan atau pedalaman hingga kelaparan dan meninggal untuk meringankan beban ekonomi.
ADVERTISEMENT
Aokigahara semakin mendapatkan reputasi sebagai hutan bunuh diri salah satunya karena novel yang ditulis oleh Seicho Matsumoto pada tahun 1961 berjudul Nami no Tō (Tower of Waves) mengenai seorang wanita yang melakukan bunuh diri di hutan tersebut.
Hutan ini juga menjadi inspirasi bagi film Hollywood berjudul Sea of Trees (2015) yang dibintangi oleh Matthew McConaughey dan The Forest (2016) yang menceritakan tentang seorang wanita yang mencari saudara kembarnya yang menghilang secara misterius di dalam hutan tersebut.
Pada tahun 2018, hutan ini kembali menarik perhatian banyak orang setelah seorang YouTuber asal Amerika Serikat, Logan Paul, mempublikasikan video mengenai orang yang melakukan gantung diri di Aokigahara. Video tersebut mendapat banyak kecaman dari masyarakat luas yang dianggap tidak sensitif terhadap isu kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Dukungan Mengatasi Permasalahan Kesehatan Mental
Walaupun bunuh diri merupakan permasalahan yang tabu untuk dibicarakan, namun Pemerintah Jepang telah berupaya melakukan berbagai program bantuan untuk menekan angka bunuh diri di kalangan masyarakat. Salah satunya dimulai sejak tahun 2005-2006, di mana stigma di masyarakat mulai bergeser dan menganggap bunuh diri sebagai suatu bentuk permasalahan sosial.
Sejak saat itu, promosi pencegahan bunuh diri dan peningkatan kualitas hidup menjadi prioritas nasional di Jepang. Pemerintah juga mengesahkan Basic Act for Suicide Prevention di bulan Juni 2006 untuk menekan angka kematian karena bunuh diri sekaligus menolong keluarga dan kerabat yang terdampak karenanya.
Dengan pendekatan holistik ini diharapkan akan dapat lebih efektif dalam mengatasi berbagai aspek permasalahan yang menjadi penyebab depresi dan bunuh diri di masyarakat.
Isu kesehatan mental adalah isu yang sensitif untuk dibicarakan dan sering kali tidak terlihat di permukaan. Hal ini sudah menjadi fenomena di berbagai negara di dunia, termasuk juga di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut data yang dilansir oleh WHO, hampir 800.000 orang meninggal dunia karena bunuh diri setiap tahunnya. Intervensi aktif perlu dilakukan untuk menekan laju angka bunuh diri di masyarakat.
Kasus bunuh diri dapat memberikan dampak yang mendalam bagi keluarga, kerabat, dan teman-teman yang ditinggalkan. Kenali indikasi awal depresi di lingkungan sekitar kita. Uluran tangan dan peluk hangat tentunya akan membantu menyelamatkan kehidupan mereka. Get healthy, stay healthy, and live well!