Pilkada Bisa Melenyapkan Indonesia?

idham choliq
Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Peneliti di PUSAD UMSurabaya dan
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2020 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari idham choliq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Liputan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Liputan.com
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Keduanya sama-sama mengundang masyarakat agar tergerak berkerumun di jalanan. Semuanya sama-sama beresiko di tengah virus yang tak kasat mata. Bedanya, kalau pilkada masyarakat berkerumun karena mengantar para kontestan pilkada dengan penuh riang, sedangkan massa demonstrasi menolak Ombinus Law harus meneteskan air mata karena harus bertempur dengan senjata gas air mata.
Seorang purnawiran jenderal menyebutkan bahwa sungguh berdosa bagi orang menyuruh masyarakat untuk demo di tengah pandemi. Apakah para kandidat Pilkada juga berdosa karena mengajak masyarakat mengiringi mereka saat daftar ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kampanye? Bayangkan Pilkada serentak akan berlangsung di 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
***
Pada waktu ribut-ributnya arus mudik lebaran, betapa menjengkelkan kebijakan yang dibuat tak jelas oleh pemerintah. Di satu sisi melarang untuk mudik, di sisi lain transportasi darat dan laut tetap beroperasi di beberapa tempat. Saya sendiri menahan diri agar tidak pulang kampung. Saya takut jika kedatangan saya dari daerah zona merah menulari orang di sana, dari satu hingga semua orang tertular. Meskipun saya negatif, bukankah saya berpotensi tertular saat perjalanan pulang?
ADVERTISEMENT
Ketika saya menahan diri untuk tidak mudik, ada ratusan ribu masyarakat yang tercatat melakukan arus mudik lebaran. Salah satu berita kemudian menyebutkan bahwa seorang warga madiun yang mudik dari Surabaya adalah positif COVID-19, dan menulari ibu kandungnya sendiri. Berita lain menyebutkan munculnya klaster baru di salah satu Pondok Pesanter (Ponpes) di Tangerang lantaran pengajarnya pulang kampung. Ketika kembali dia sudah terinfeksi Covid-19. Dan, masih banyak kasus lain yang terjadi karena kurang ketatnya aturan yang dibuat terkait mudik.
Sangat tidak tepat jika saya mendongkol dan menyalahkan bahwa masyarakat tidak disipilin dan sembarangan. Dan, menyebutkan bahwa kasus covid-19 yang terus meningkat karena salahnya masyarakat. Juru bicara pemerintah akan mudah bilang bahwa kasus covid-19 meningkat karena masyarakat tidak patuh dan jarang cuci tangan. Ya, betul. Pemerintah selalu cuci tangan untuk menyembunyikan kesalahannya.
ADVERTISEMENT
***
Dalam situasi pandemi, cara pandang moralistik dan sok bijak, tidak akan membawa kita kemana-kemana. Bahkan justru itu akan memperparah keadaan. Apalagi yang disalahkan adalah masyarakat, sementar sumber masalanya adalah pemerintah dengan kebijakan yang tidak tepat di tengah pandemi.
Terkait Pilkda, sebenarnya, suara kritik dan saran dari elemen masyarakat agar pilkada dan ditunda hanya membuat pemerintah bergeming. Organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) telah terang-terang mendesak pemerintah agar menunda pelaksanaan Pilkada. Alih-alih fokus pada penanganan corona, pemerintah sepertinya lupa dengan tragedi wafatnya para petugas KPU saat pemilu 2019. Pemerintah harusnya melakukan upaya preventif.
Upaya preventif itu bisa saja pemerintah dengan tegas menunda pelaksanaan Pilkada sembari menunggu keadaan aman dari resiko terpapar virus. Bahwa telah ada aturan protokol kesehatan yang dibuat khusus pelaksanaan Pilkada, buktinya Menteri dalam Negeri (mendagri) telah menegur 51 calon kepala daerah karena melanggar protokol kesehatan. Itu masih di waktu pendaftaran. Belum di masa kampanye, pemungutan suara dan pengumuman pemenang. Artinya, aturan protokol kesehatan itu hanya aturan belaka.
ADVERTISEMENT
Maka, keliru jika pemimpin kita menyebutkan bahwa gara-gara aksi demontrasi kasus COVID-19 meningkat dan semakin memperkeruh keadaan. Padahal untuk menunda Pilkada saja mereka tidak mau. Memangnya kalau pilkada ditunda apakah Indonesia akan lenyap? Tidak juga. Semantara kalau pilkada berlansung punya potensi melenyapkan Indonesia. Lha bagamaimana kalau masyarakat terinfeksi semua?
Saya berharap, organisasi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) lebih keras lagi bersuara kepada umatnya untuk tidak ikut serta dalam Pilkada kali ini. Atau ada inisiatif dari elemen masyarakat lain untuk membangun kekuatan menolak Pilkada, atau memilih golput. Saya kira cara-cara seperti itu lebih bermartabat untuk kemanusiaan daripada bersikeras melaksakan Pilkada yang mempertaruhkan nyawa.