Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Diabetes dan Cukai Minuman Berpemanis
20 Mei 2023 14:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Faatihah Nuursrayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Tingginya angka pengidap diabetes ini tidak luput dari tingginya konsumsi minuman manis di Indonesia. Koordinator Peneliti PKMK UGM, Relmbuss Biljers Fanda mengungkapkan bahwa Indonesia menempati posisi ketiga dalam minat konsumsi minuman berpemanis di Asia Tenggara dengan jumlah konsumsi sebanyak 20,23 liter per orang setiap tahunnya (Fanda, 2020).
Bencana kemanusiaan ini mencetuskan negara-negara untuk mengenakan cukai minuman berpemanis, termasuk Indonesia. Bahkan, minuman berpemanis dalam hal menyumbang pengidap diabetes memberikan eksternalitas negatif, WHO menyatakan bahwa 422 juta orang di dunia mengidap diabetes.
ADVERTISEMENT
Data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa biaya kesehatan yang ditanggung pemerintah sehubungan dengan penyakit kencing manis dan gangguan metabolisme termasuk diabetes pada tahun 2016 saja mencapai Rp568.680.958.000 (Rosyada & Ardiansyah, 2018). Jumlah ini tentunya akan semakin banyak jika konsumsi minuman berpemanis tidak diintervensi dari pangkalnya.
Urgensi Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan
Eksternalitas negatif ini dapat menjadi dasar kebijakan fiskal untuk menambahkan minuman berpemanis dalam wacana ekstensifikasi cukai. Menurut UU No. 39 tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai karakteristik yang ditetapkan dalam undang-undang.
Karakteristik barang kena cukai antara lain barang-barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, barang-barang yang peredarannya perlu diawasi, barang-barang yang penggunaannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, barang-barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika ditinjau, minuman berpemanis memiliki karakteristik dari barang kena cukai. Beberapa negara seperti Meksiko, Prancis, Finlandia, dan negara ASEAN seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia sudah lebih dulu menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis. Cukai yang dikenakan ke dalam harga jual minuman berpemanis diharapkan akan menurunkan konsumsi dan produksi dari barang tersebut.
Pandangan Pemerintah atas Pengenaan Cukai Minuman Berpemanis
Bea Cukai pernah melakukan pengkajian, produksi industri minuman berpemanis di Indonesia mencapai 3.746 juta liter per tahun (Laoli, 2022). Dengan adanya kebijakan fiskal ini, diharapkan penurunan produksi sekitar 8,2 persen dalam setahun menjadi 3.436 juta liter.
Jika diterapkan dengan tarif yang sesuai, konsumsi minuman berpemanis akan berkurang dan mungkin untuk masyarakat beralih ke minuman non-gula sebagai substitusinya. Penerimaan cukai minuman berpemanis ini juga dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit katostropik diabetes melitus yang diakibatkan oleh konsumsi minuman berpemanis.
ADVERTISEMENT
Dengan pengenaan cukai minuman berpemanis , Indonesia turut mendukung target global untuk menghentikan kenaikan diabetes dan obesitas di tahun 2025. Badan Anggaran (Banggar) DPR pun telah sepakat untuk menarik cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dalam RAPBN 2023 meskipun rincian khususnya belum ditargetkan. Hal ini menunjukkan bahwa DPR sudah setuju dengan perluasan jenis barang kena cukai.
Namun, pemerintah masih perlu mempertimbangkan kondisi mendalam industri tenaga kerja dan penyesuaian turunan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan mengenai usulan ekstensifikasi cukai.
Terlebih, hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam seperti bagaimana mekanisme penarikannya, apakah minuman berpemanis memiliki substitusi yang sulit, pengenaan tarifnya berupa ad valorem atau spesifik, dan memastikan bahwa minuman berpemanis memang benar-benar memenuhi kriteria pengenaan barang kena cukai, bukan hanya semata-mata untuk menambah penerimaan negara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu dikaji elastisitas permintaan dari minuman berpemanis yang beredar di pasaran. Jika permintaan minuman berpemanis bersifat elastis, kenaikan harga akibat tarif cukai akan mengurangi jumlah konsumsi.
Sebaliknya, jika barang bersifat inelastis maka tidak akan ada perubahan pola konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis. Semua harus dipikirkan secara matang agar tujuan pengendalian konsumsi minuman berpemanis dapat tercapai.