Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Mengurai Stigma Buruk Pangan Olahan: Antara Persepsi, Inovasi, dan Kebutuhan
30 November 2024 17:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Iftitaha Fadhila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketika berbicara tentang pangan olahan, ultra-processed food atau UPF seringkali menjadi yang pertama muncul di kepala. Istilah UPF sendiri diperkenalkan pertama kali secara ilmiah pada tahun 2009 oleh sistem klasifikasi NOVA sebagai pangan dengan proses pengolahan ultra. Makanan kaleng, susu bubuk, dan makanan instan adalah produk yang umum disebut-sebut sebagai UPF. Konsumsi makanan-makanan ini, sering dikaitkan sebagai sebab dari munculnya penyakit-penyakit tidak menular (PTM) seperti kanker, stroke, hipertensi, dan diabetes melitus. Namun, konsumsi produk-produk olahan ultra tidak serta merta menjadi penyebab seseorang terjangkit PTM. Merokok, kurangnya aktifitas fisik, kurangnya konsumsi buah dan sayur, serta konsumsi alkohol juga menjadi penyebab terjadinya PTM pada individu.
ADVERTISEMENT
Pangan olahan menurut definisi yang diberikan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) merupakan makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Sederhananya, segala proses yang menyebabkan adanya perubahan pada bahan pangan dapat disebut sebagai proses pengolahan, baik itu mencuci, memotong, hingga proses yang melibatkan permainan suhu seperti merebus, mengukus, menggoreng, hingga membekukan. Pengolahan pangan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan, meningkatkan nilai gizi, dan menjaga keamanan pangan khususnya pada produk-produk yang cepat mengalami kerusakan.
Sebagai seseorang yang hidup di tengah melimpahnya hasil alam dan rendahnya tingkat penyerapan dari segi ekonomi dan konsumsi, pengolahan pangan menjadi sangat dibutuhkan. Bayangkan saja, sejumlah 24,74 juta ton ikan yang diproduksi dan dilaporkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2023 hanya dikonsumsi sebesar 56,48 kg per kapita, cukup rendah apabila dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura yang angka konsumsinya berada di atas 80 kg per kapita per tahun. Rendahnya tingkat konsumsi ikan ini memungkinkan adanya peningkatan limbah yang tidak diharapkan, juga keterserapan nutrisi yang rendah. Teknik pengiriman yang membutuhkan spesifikasi khusus menjadi tantangan distribusi ikan ke seluruh daerah yang ada di Indonesia, sehingga pengolahan ikan menjadi produk yang lebih awet dan mudah didistribusi menjadi penting.
ADVERTISEMENT
Hidrolisat protein ikan menjadi salah satu usaha pengolahan pangan untuk memperpanjang umur simpan dan memperluas distribusi ikan dalam bentuk protein. Hidrolisat protein diproduksi dengan cara menghidrolisis protein dari ikan menjadi rantai peptida dan asam amino yang lebih pendek sehingga lebih mudah diserap tubuh. Bentuk hidrolisat berupa bubuk kering yang disimpan dalam kemasan juga memungkinkan produk didistribusi dan dikonsumsi lebih luas sehingga dapat meningkatkan konsumsi protein khususnya pada masyarakat yang membutuhkan.
Tidak hanya ikan, proses pengolahan sembako seperti minyak, beras, gula, dan susu dalam skala industri telah memungkinkan produk-produk tersebut dapat didistribusi dan diterima secara luas di tengah masyarakat.
Pengolahan pangan juga berperan dalam meningkatkan nilai gizi produk. Fortifikasi menjadi salah satu teknik yang sering digunakan untuk menambahkan nutrisi tertentu ke dalam bahan pangan. Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produksi beras fortifikasi. Ketua Bapanas Arief Presetyo Adi mengatakan, hal ini dilakukan sebagai upaya perbaikan gizi masyarakat, yang selaras dengan upaya mewujudkan hak atas pangan untuk hidup lebih baik. Beras yang dieprkaya dengan zat gizi mikro seperti vitamin A, B1, B6, B12, asam folat, zat besi, dan zinc diharapkan dapat membantu menurunkan angka stunting di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berbagai usaha juga tengah dilakukan untuk menjamin keamanan pangan yang didistribusi di tengah masyarakat. BPOM telah menetapkan batasan-batasan penggunaan bahan tambahan pangan, disertai dengan aturan pengolahan pangan untuk menjamin keamanan produk. Kementerian Kesehatan juga telah menetapkan standar kebersihan yang dikenal sebagai standar hygiene dan sanitasi untuk industri pengolahan pangan sebagai upaya menjamin keamanan produk pangan yang dikonsumsi. Batas cemaran mikroba, bahan yang sebaiknya digunakan, batas-batas penggunaan bahan tambahan seperti pengawet, pewarna, dan penyedap rasa hingga jenis-jenis yang diijinkan diatur dalam PerBPOM Nomor 29 tahun 2021.
Teknologi pengolahan pangan juga memungkinkan adanya pengembangan produk baru seperti meat analog, produk mirip daging yang terbuat dari bahan pangan nabati seperti kedelai dan jamur. Pengembangan produk pangan juga telah berhasil memformulasikan susu bebas laktosa, baik melalui pengembangan produk susu nabati maupun proses enzimatis, mie dari berbagai macam bahan dengan berbagai teknik pengolahan, produksi pangan probiotik, produk minuman kolagen, serta produk pangan lain yang memberikan dampak kesehatan bagi tubuh.
ADVERTISEMENT
Pemasangan label pada produk yang berisi penjelasan dan kandungan nutrisinya juga turut berkontribusi pada penyajian produk pangan berkualitas. Definisi yang jelas, beserta ketentuan penamaan produk serta label nutrisi telah diatur oleh BPOM. Produk minuman susu, minuman rasa susu, dan produk susu dengan definisinya masing-masing memungkinkan konsumen memilih produk sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan kandungan yang terdapat dalam masing-masing produk.
Disamping manfaat yang cukup luas, pengolahan pangan masih sulit diterima karena stigma buruk yang muncul di tengah masyarakat. Produk mie instan dengan merk tertentu misalnya. Sempat beredar rumor bahwa mie mengandung lilin sehingga berbahaya bagi tubuh. Rumor ini hadir karena kecurigaan pada pembentukan permukaan berkilau seperti lilin setelah mie direbus dalam air, yang ketika diperiksa sebenarnya itu adalah minyak yang keluar dari bahan. Minyak terdapat dalam bahan akibat proses penggorengan yang dilakukan dalam pembuatan mie. Kabar tentang kopi merk tertentu yang mengandung bahan sintetis karena bisa terbakar juga turut berkontribusi pada buruknya stigma masyarakat kepada pangan olahan.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya rumor, pengetahuan tentang gaya hidup sehat dan batasan-batasan yang perlu ditetapkan dalam konsumsi harian turut mendorong seseorang bersikap lebih hati-hati dalam mengonsumsi pangan olahan. Kampanye soal menurunkan konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) oleh Kemenkes mendapatkan perhatian yang cukup baik di tengah masyarakat. Tidak sedikit yang kemudian mengganti pilihan produk pangan olahannya menjadi produk olah minimal dan menghindari produk pangan olahan ultra.
Industri pangan saat ini selain memproduksi pangan olahan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, juga tengah mengembangkan produk dengan nilai gizi tinggi. Berbagai teknologi pengolahan seperti penggunaan tekanan vakum, permainan gelombang panas, dan teknik iradiasi dilakukan untuk memaksimalkan proses dengan tetap mempertahankan kandungan gizi pada bahan pangan. Metode fermentasi dengan mikroba juga tengah dikembangkan untuk menambah manfaat kesehatan seperti pengembangan produk-produk fermentasi, produksi enzim untuk pengolahan, dan pengembangan produk probiotik. Penelitian mengenai otensi pangan lokal dan manfaat yang mungkin diberikan juga tengah dikaji dan berkembang dengan baik. Dalam hal ini, industri pangan berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat akan pangan yang sehat dan bergizi.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, pengolahan pangan dan produk pangan olahan tidak dapat dikatakan buruk seluruhnya. Pengolahan pangan memiliki tujuan untuk meningkatkan nilai bahan sehingga layak dikonsumsi baik melalui cara pengolahan sederhana maupun industri. Pengetahuan mengenai jenis-jenis pangan olahan dan batasan yang perlu ditetapkan dalam konsumsi menjadi penting mengingat kebutuhan kita akan pangan olahan tidak dapat dihindari. Regulasi tentang konsumsi dan pengolahan pangan perlu lebih diperhatikan, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sebagai konsumen yang bijak, perlu memilah informasi yang tersedia sehingga tidak terjadi sesat berpikir yang berakibat pada kekhawatiran yang berlebihan.