Konten dari Pengguna

Belajar Tertawa, biar Tidak Gila

IHIK3
Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) mengelola perpustakaan humor pertama di Indonesia yang terletak di lantai 2 Menara DDTC, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
24 November 2024 11:59 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari IHIK3 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Just call me ‘Ros’!” Sambil tersenyum, wanita itu membuka sesi perkenalan di antara kami. Ia berkata begitu setelah menyadari lidah saya sedikit keseleo memanggilnya last name-nya 😄
ADVERTISEMENT
Ros Ben-Moshe adalah dosen di La Trobe University, Australia. Di perguruan tinggi yang berbasis di Melbourne itu, ia mengajar positive psychology dan rutin meriset efek tertawa terhadap kesehatan fisik dan mental. Ros juga pengampu short course yang baru kelar saya ikuti: Laughter, Resilience, and Wellbeing.
Saat banyak orang di sekitar saya masih menganggap humor itu sebatas hiburan, cenderung spontanitas, dan kurang ilmiah, Ros bersama La Trobe University malah membalikkan stigma itu. Lewat kursus selama lima pekan ini, ia menyajikan bukan hanya teori, tetapi juga teknik sederhana untuk memperkuat sekaligus menerapi jiwa dan raga.
Tidak berhenti di sana, saya juga disadarkan kalau tertawa – walau dilakukan sendirian – itu bermanfaat untuk menjaga kewarasan. Bukan malah sebaliknya. Ini terobosan penting yang harusnya lebih banyak orang Indonesia ketahui bahkan lakoni.
ADVERTISEMENT
Jadi, sejak 16 Oktober sampai 13 November 2024, saya bersama Danny Septriadi (founder IHIK3) secara intens membaca beragam referensi yang disediakan di platform pembelajaran (LMS). Seminggu sekali setiap Rabu sore WIB, kami dan peserta lain berinteraksi via Zoom dengan Ros Ben-Moshe – yang berpengalaman memanfaatkan kekuatan humor serta tertawa selama pemulihan kankernya.
Ini tiga hal paling berkesan bagi saya selama mengikuti kelas tersebut.

Riset & Literatur yang Meyakinkan

“Bagaimana caranya humor dan tertawa menjadi bagian dari resiliensi dan well-being?”
Ini pertanyaan yang lumrahnya muncul di benak banyak orang, termasuk saya sebagai peserta.
Untungnya sejak pertemuan pertama (16/10/24), Ros langsung memadamkan kebingungan itu. Selain menyajikan rangkuman riset yang mengungkap manfaat fisik, mental, dan sosial dari tertawa, ia juga mengenalkan kepada kami sejarah penggunaan tawa sebagai terapi dan figur-figur penting yang memopulerkannya.
ADVERTISEMENT
Ada tiga tokoh di era modern yang Ros bawa ke kelas: Norman Cousins (pelaku terapi tawa yang mendokumentasikannya dalam buku The Anatomy of Illness); dr. Patch Adams (clown doctor, biopiknya diperankan oleh Robin Williams tahun 1998); serta dr. Madan Kataria (inisiator laughter yoga).
Pada pertemuan kedua (23/10/24), Ros makin meyakinkan kami dengan mengenalkan sejarah gelotology – kajian tentang tertawa dan humor. Seberagam-beragamnya informasi yang saya saya baca seputar humor studies, saya mendapat satu trivia menarik: Charles Darwin, pencetus teori evolusi, bisa dicatat sebagai pionir gelotologist, loh!
Ros Ben-Moshe mengenalkan Gelotology (dokumentasi pribadi)
Gelotology ini sifatnya lintas disiplin, sehingga bisa mengupas banyak hal, termasuk aplikasi terapi tawa (gelototherapy). Di sinilah pembahasan jadi lebih mengerucut, contohnya lewat aktivitas brainstorming (urun ide) tentang bagaimana mengaplikasikan humor dalam bekerja, mengganti kata benci atau komplain dengan kata buatan yang lebih menggelitik, serta membahas tentang analisis masing-masing humor style peserta.
ADVERTISEMENT

Cara Pengaplikasiannya (The Ros Ben-Moshe Effect)

Harus diakui, latar belakang Ros di bidang positive psychology, penyintas kanker (Laughing at Cancer, 2017), dan pengalamannya dalam membantu klien-kliennya merupakan faktor krusial yang membuat kelas ini tidak hanya berada di ranah teoritis, tetapi juga praktis. Maka, jangan heran kalau latihan-latihan bertemakan humor di kelas ini sejalan dengan target mengasah resiliensi dan well-being.
Pada pertemuan keempat (6/11/24), misalnya, Ros mengajak kami untuk berefleksi dan mengisi tabel Endorphin Trigger. Metode ini bertujuan untuk menggali apa saja yang membuat hormon kebahagiaan kita muncul. Ini metode yang sebenarnya sangat simpel, tetapi belum banyak orang tahu.
Mulanya, Ros menjelaskan dulu kalau Endorphin Trigger ini terbagi dalam enam kategori: orang/hewan peliharaan, tempat, aktivitas, pengalaman hidup, spiritualitas, dan – ini yang paling seru – benda-benda di sekitar yang kita suka.
Ros menjelaskan kategorisasi dalam Endorphin Trigger (dokumentasi pribadi)
Walau kategorinya beragam, tiap peserta boleh menonjolkan kategori yang dirasa paling besar efek endorfinnya. Peserta lain, Marilyn, menyebut endorfinnya mengucur deras di hari ia mendapatkan apresiasi tinggi dalam karir akademiknya (peak life experience). Sementara Danny menyebut bermain tenis meja adalah pemicu endorfin nomor satunya.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri – yang kebetulan saat itu sedang lapar dan mengikuti kelas di tengah perjalanan – jadi sadar kalau saya ternyata merasa lebih bahagia saat menyantap comfort food. Dengan menutup mata – seperti arahan Ros, lalu membayangkan aroma, tekstur, warna, dan rasa makanan tersebut saja, saya sudah memancing tubuh saya sendiri untuk memproduksi hormon endorfin secara instan.
Aplikasi humor untuk terapi lainnya yang saya coba di kelas ini adalah laughie. Seperti laughter yoga, laughie merupakan metode memaksa diri tertawa tanpa sebab (laugh with no reason) selama satu menit. Sebenarnya, saya sudah tahu program ini dari buku The Positive Psychology of Laughter and Humour (2024) yang sudah nangkring di rak The Library of Humor Studies beberapa bulan lalu. Sayangnya, baru di kelas Ros inilah saya bisa mempraktikkannya langsung.
Ros menunjukkan stopwatch di ponselnya dan memastikan kami tertawa dalam durasi yang ditentukan (dokumentasi pribadi)
Walaupun saya dan Danny sama-sama percaya akan faedah laughie itu, kemarin kami melakukannya secara sembunyi-sembunyi di ruangan tertutup. Bagaimana lagi, kami masih hidup di lingkungan yang percaya tertawa sendiri itu identik dengan tidak waras (😅). Padahal faktanya justru sebaliknya, studi sudah membuktikan metode tersebut punya manfaat untuk mental dan fisik.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pengalaman-pengalaman itulah, cocok kalau sub-bab ini dimirip-miripkan dengan judul buku kedua Ros, yakni The Laughter Effect: How to Build Joy, Resilience, and Positivity in Your Life (2024). The Ros Ben-Moshe Effect membuat kelas berada di tataran praktis.

“Oleh-oleh” kursus ini: Elevator Pitch

Saat mengikuti Humor Academy dari Association for Applied and Therapeutic Humor (2020-2023), saya dan Danny diminta untuk membuat sebuah program aplikasi humor untuk terapi. Prosesnya cukup panjang, dari brainstorming ide, mempresentasikan teknis dan mendapat feedback dari mentor, hingga eksekusinya sendiri. Wajar kalau output-nya seserius itu, karena durasi Humor Academy-nya sendiri mencapai tiga tahun.
Kendatipun hanya berlangsung lima pekan, kursus ini juga punya luaran programnya yang konkret dan tidak kalah menarik. Pada akhir pertemuan, setiap peserta diharapkan mampu membuat elevator pitch terkait aplikasi humor dan tertawa untuk resiliensi atau well-being.
ADVERTISEMENT
Oh ya, elevator pitch ini semacam teknik presentasi ide secara singkat, sesingkat kita melakukan perjalanan dengan lift. Saya sendiri membawakan ide Teaching with Humor.
Mengingat belakangan banyak pemberitaan tentang gangguan kesehatan mental pada mahasiswa, saya merasa dosen bersama perguruan tinggi perlu memasukkan humor ke ruang perkuliahan. Berdasarkan beragam kajian, penggunaan humor dalam kelas tidak cuma menekan kecemasan/anxiety, tetapi juga mendongkrak antusiasme bahkan nilai peserta ajar. Yang penting untuk bapak ibu dosen tahu, humor dalam pengajaran itu tidak melulu menyampaikan joke atau cerita lucu di kelas, melainkan bisa dimasukkan ke materi ajar hingga ujian.
Ros mempraktikkan teknik “resleting” tawa (dokumentasi pribadi)
Sekali lagi, Ros mengaplikasikan gelototherapy yang konkret di sini. Jadi, sebelum memulai elevator pitch, ia mengajak kami untuk melakukan sejumlah gerakan laughter yoga, seperti mental flossing dan membuka “resleting” tawa di mulut. Tawa yang disengaja (intentional laughter) ini ditujukan untuk melawan rasa gugup atau tegang.
ADVERTISEMENT
Benar saja. Sebagai peserta urutan pertama, saya merasa rileks saat membawakan ide singkat saya tadi. Kendatipun Ros memberikan umpan balik yang tergolong kritis, setidaknya saya tidak panik dalam menjawabnya. Ngomong-ngomong, feedback dari Ros sangat konstruktif. Ia menyarankan agar saya memasukkan bentuk konkret dari program humor untuk pengajar itu dalam runtutan elevator pitch saya.
Isu kesehatan mental di kalangan mahasiswa melatar belakangi elevator pitch saya (dokumentasi pribadi)
Sementara itu, Danny membawakan ide bahwa perlu ada court jester – atau seminimal-minimalnya orang berselera humor tinggi – di lembaga pemerintahan demi menjaga resiliensi bangsa. Sebab dalam beberapa tahun terakhir, di Indonesia makin banyak kebijakan dan aturan yang ditarik kembali serta putusan pengadilan yang ditertawakan dan dijadikan meme oleh warganet. Alhasil, kegaduhan pun muncul dan publik jadi mudah cemas.
ADVERTISEMENT
Humor bisa mengantisipasi hal tersebut karena ketika seseorang sudah hafal betul pola-pola dalam humor, maka ia akan mudah melihat sesuatu yang ganjil. Nah, di sinilah court jester atau para humoris bisa berfungsi sebagai filter atas kebijakan dan aturan yang absurd sebelum dirilis ke publik.
Namun, selagi usulan tersebut belum terakomodasi dan “kebobolan” macam di atas masih berlangsung, publik dapat berperan sebagai lay judges atau hakim awam. Tidak perlu kuliah ilmu hukum, ilmu kebijakan publik (public policy), atau membuat kajian yang kompleks, dengan berani mentertawakan kebijakan, aturan, dan putusan pengadilan yang irasional, sedikit banyak kita sedang membangun resiliensi dari kondisi yang tidak bisa kita ubah.
Sejumlah pemberitaan yang memuat inkonsistensi pemerintah dalam membuat aturan & kebijakan (dokumentasi pribadi)
Setelah dibawakan, kami jadi tahu kalau elevator pitch kami berdua sedikit unik. Sebenarnya, jarang sekali ada yang menampilkan slide saat melakukan elevator pitch. Namun, kami justru merasa slide tersebut perlu dibawakan agar mentor dan peserta lain memahami isu yang spesifik terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tentunya, saya juga belajar dari elevator pitch peserta lain. Sebagai contoh, Sharmila begitu terampil menjahit pengalaman pribadi dengan usulannya. Yang paling mengejutkan justru Marilyn, karena ia sampai menyiapkan properti yang secara instan memantik senyum di bibir kami.
Lima pekan yang bergizi sekaligus menyenangkan bagi saya. Dari membaca materi, mendengarkan paparan, dan mempraktikkan aktivitas-aktivitas di kelas Ros ini saja, saya sudah kepikiran sejumlah ide untuk diadaptasi bersama IHIK3.
Tunggu ya tanggal mainnya! Kami akan buatkan kelas tertawa untuk resiliensi dan ketahanan diri yang pas buat Anda-Anda sekalian!
Ulwan Fakhri, Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) dan pionir Certified Humor Professional dari Indonesia