Konten dari Pengguna

Mengajarkan Isu Sensitif & Tabu, Mengapa Harus Lucu?

IHIK3
Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) mengelola perpustakaan humor pertama di Indonesia yang terletak di lantai 2 Menara DDTC, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
17 Oktober 2024 16:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari IHIK3 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para profesional medis yang menangani lansia harus dipersiapkan untuk mendampingi pasien menjelang ajalnya hingga mencegah upaya mereka bunuh diri!
ADVERTISEMENT
Walau belum pernah berdialog langsung, misi Arleen Johnson, Ph.D. itu pasti dapat Anda tangkap dengan mudah pula saat membaca tulisan ilmiahnya yang terbit tahun 1990. Akademisi University of Kentucky itu merasa, meskipun sangat sensitif dan tabu, bukan berarti topik-topik yang tersebut di paragraf awal tadi tidak perlu diajarkan atau malah sengaja dihindari oleh para dosen.
Justru, lembaga pendidikan geriatri – cabang ilmu kedokteran yang fokus pada pasien lanjut usia – harus mampu menyiapkan para lulusannya agar siap menghadapi situasi macam itu di lapangan. Dus, menjadi tugas bagi para dosen atau pendidik tingkat tertiary untuk mencari cara supaya dapat mengajarkannya dengan pendekatan yang halus.
Usul Johnson, salah satu metode yang cocok untuk mengajarkan topik-topik sensitif tersebut adalah dengan humor.
ADVERTISEMENT
Mengutip jurnalnya bertajuk Humor as an Innovative Method for Teaching Sensitive Topics, saat diintegrasikan dalam strategi pembelajaran, humor cocok untuk membungkus topik setabu kematian maupun bunuh diri.
Strategi itu meliputi menceritakan pengalaman lucu, memutarkan film atau video komedi, menampilkan kartun di slide presentasi, mengajak peserta ajar membuat jurnal humornya sendiri, hingga memainkan game atau role-play di kelas. Tentunya, semua perlu disiapkan dan dijaga agar tetap berada di koridor topik pembelajaran.
Strategi Johnson tersebut terbukti mujarab dan lintas disiplin. Saat diundang sebagai dosen praktisi di Prodi S1 Sastra Inggris mata kuliah Media Studies tahun ajaran 2023/2024 di Universitas Brawijaya, saya mencoba menghadirkan isu-isu sensitif dengan bungkus dan contoh humor.
ADVERTISEMENT
Pada akhir pertemuan, seorang mahasiswa berinisial AP memberikan umpan balik seperti ini: “Yang paling saya sukai di kelas ini ketika mendiskusikan topik sensitif dengan pendekatan yang lebih menyenangkan.”
Well, it worked!
Kendatipun tingkat sensitivitasnya tidak sama persis, saya telah mencoba mengangkat isu-isu tabu dari rumpun humaniora lewat bungkusan humor. Misalnya, saat ingin menunjukkan bagaimana media arus utama berhaluan konservatif maupun liberal di Amerika Serikat menjalankan agendanya masing-masing lewat sejumlah program talk show komedi, saya mencuplik beberapa contoh joke untuk dianalisis bersama.
Sebagian mahasiswa tampak tertawa, sementara sebagiannya lagi baru menyadari kalau ternyata mereka telah terjebak dalam agenda tertentu (topik ini terlalu riskan untuk dijelaskan di sini, tetapi andai ada yang tertarik, penulis akan dengan senang hati mendiskusikannya di forum yang sesuai).
ADVERTISEMENT
Momen lainnya adalah saat saya mengajak mahasiswa mengupas hoaks humoristis. Kendatipun lazimnya dilabeli sebagai hal yang negatif, dalam kajian humor, hoaks juga punya manfaatnya tersendiri.
Contohnya adalah yang pernah dibuat founding father Amerika Serikat, Benjamin Franklin, secara anonim: The Speech of Polly Baker. Singkatnya, ini hoaks tentang seorang wanita yang mengeluh dihukum beberapa kali karena melahirkan anak-anak di luar nikah, sementara laki-laki yang menghamilinya hidup tenang bahkan karirnya makin cemerlang.
Tulisan satire tersebut tercatat dalam sejarah sebagai tulisan mampu memperdaya publik selama empat dekade lamanya dan memberikan perspektif baru akan ketimpangan gender.
Yang saya rasakan langsung sebagai pengajar, menjadikan humor sebagai strategi pedagogis telah membawa dimensi baru dalam mengkaji sebuah isu sensitif. Lewat sudut pandang humornya, pengajar akan mempunyai keleluasaan untuk memotret beragam sudut pandang, lalu memosisikan diri di tengah sambil “menjajakan” hasil amatannya itu di kelas.
ADVERTISEMENT
Dari sini, pengajar bisa berkontribusi untuk turut mengasah kemampuan berpikir kritis peserta ajarnya lewat dialog dan diskusi.
Berfoto bersama mahasiswa S1 Sastra Inggris, mata kuliah Media Studies 2023/2024 (sumber: dokumentasi IHIK3)
Humor: Anestesi Emosi
Mengapa humor bermanfaat untuk membungkus isu-isu sensitif, terutama di jenjang perguruan tinggi? Sebab humor menawarkan manfaat psikologis, yakni pelepasan (detachment) atas emosi diri. Kondisi "gigi netral" ini memungkinkan kita untuk melihat sesuatu dari perspektif yang lebih luas sekaligus ideal.
Untuk versi lebih kompleksnya, kita bisa merujuk pada pemikiran peneliti humor prominen, Profesor John Morreall. Dalam bukunya Humor Works (1997), ia mengenalkan kekuatan humor sebagai pengasah mental flexibility.
Fleksibilitas mental berguna untuk membantu seseorang lebih mudah beradaptasi pada situasi yang berbeda, lebih kompleks, bahkan problematik dan meresponsnya sesuai porsi. Nah, humor bisa memperkuat fleksibilitas mental ini lewat dua cara: memblokir emosi negatif dan menawarkan perspektif lain untuk melihat isu tersebut.
ADVERTISEMENT
Walau dibawakan sebagai bahan pembelajaran di dalam kelas, isu yang sensitif dan tabu bisa saja membuat peserta ajar terpicu emosinya. Alhasil, perlu kemasan khusus agar mahasiswa tidak buru-buru skeptis dan mau mendengarkan perspektif yang berseberangan. Di sinilah konten-konten humoristis yang diintegrasikan dalam pembelajaran berguna untuk memblokir sejenak emosi negatif mereka dan pada akhirnya memberikan pencerahan.
Begitu peserta ajar Anda sudah mampu mentertawakan topik sensitif dan tabu di kelas, artinya mereka memahami esensi dari konten humoristis yang Anda siapkan.
Tidak percaya? Silakan coba dan buktikan sendiri di kelas sifat humor versi filsuf Henri Bergson, yakni sebagai anestesi atau pembius emosi ini.
Ilustrasi mengajar (sumber: pexels.com)