Konten dari Pengguna

Polisi Berhumor, Mengapa Tidak?

IHIK3
Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3) mengelola perpustakaan humor pertama di Indonesia yang terletak di lantai 2 Menara DDTC, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
6 Juli 2020 18:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari IHIK3 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
zoom-in-whitePerbesar
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis Foto: ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
ADVERTISEMENT
Memakai humor untuk membungkam “haters”. Ketika banyak kegaduhan di negeri ini berbahan bakar kebencian banal belaka, yang dilakukan jenderal ini sebenarnya cukup unik. Lewat majas simile, ia tak ambil pusing kala banyak yang keberatan dengan pengangkatannya sebagai nakhoda lembaganya.
ADVERTISEMENT
Katanya beberapa hari pascadilantik November tahun lalu, “Patung Pancoran (saja) banyak yang tidak suka, apalagi saya” (Kumparan.com, 6/11/19).
Awal tahun ini, Si Jenderal juga menghadirkan humor saat memberi pengarahan tertutup di Sulawesi Barat. Ia menyindir oknum istri petinggi polisi yang tiap hendak bepergian dengan pesawat terbang sampai harus menutup semua pintu VIP di bandara. Hal ini ia kontraskan dengan Ibu Negara yang sejauh ia tahu tidak mencolok saat bepergian.
“Tapi itu contoh, bukan di sini... Contoh saya itu di Polda lain,” selorohnya disambut gelak tawa hadirin (Tribunnews.com, 15/1/20).
Nah, 1 Juli kemarin, Si Jenderal berkelakar lagi di hari jadi institusinya. Selain menyebut perannya dalam program bantuan kemanusiaan yang institusinya berikan kepada masyarakat terdampak pandemi Covid-19 hanya sebagai “pecahan beling” dan “belatung nangka” saja, ia turut mengapresiasi bantuan dari rekannya selaku pencetus tema acara sembari membubuhinya dengan olokan untuk dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
"Saya juga terima kasih, karena yang (bikin) konsep Pak Wakapolri itu. Saya kan agak-agak goblok jadi Kapolri. Biarpun saya goblok, saya Kapolri, gimana saya pintar gitu, ya kan" (Kumparan.com, 1/7/20).
Namun ternyata, humor self-deprecating tersebut memicu beragam tafsir di tengah masyarakat. Bagi kelompok tertentu, pernyataan tersebut menjadi afirmasi keskeptisan mereka terhadap menjabatnya the self-proclaimed “Stupid General” dari tahun lalu sampai Februari 2021 mendatang. Di sisi lain, bukan mustahil humor ini menyinggung otoritas-otoritas yang turut melantik Si Jenderal, karena merasa “kecolongan” memilih orang yang bukan the best of the bests.
Bahkan seakan-akan, kelakar ini mengamplifikasi jargon sindiran ke institusi Si Jenderal mengabdi. Mereka yang kecewa dengan lembaga Si Jenderal bilang institusi tersebut adalah tempat berakhirnya orang-orang yang malas membaca – kebalikan dari orang-orang yang pandai karena rajin membaca. Pemicunya beragam, dari represifnya institusi Si Jenderal saat mengamankan demonstrasi, pelarangan sejumlah diskusi, hingga razia buku-buku dengan tema tertentu.
ADVERTISEMENT
Tak adakah tempat bagi pemimpin humoris?
Thomas Cronin dalam On the Precidency: Teacher, Soldier, Shaman, Pol (2009) menyoroti susahnya menjadi seorang pemimpin. Sebab masyarakat menginginkan pemimpin yang “human, but not too human”. Contohnya, kita suka kepada pemimpin yang mau mengakui kesalahannya, tetapi jangan yang banyak melakukan kesalahan. Kita bersimpati terhadap pemimpin yang sensitif, tetapi jangan sampai terlalu emosional.
Pun kita mengidamkan pemimpin yang punya selera humor yang tinggi dan bisa mentertawakan dirinya sendiri. Tapi, ya baiknya jangan keterlaluan, nanti terlihat tidak bisa apa-apa dan tidak layak jadi pemimpin, lho!
Alasan inilah yang pada akhirnya mengharuskan pemimpin memiliki skill set kepemimpinan yang lengkap, tak terkecuali kompetensi humor (humor competence). Amy Carell dalam artikel ilmiahnya Joke Competence and Humor Competence (1997) menjelaskan bahwa kompetensi berhumor adalah kemampuan untuk menaksir lucu atau tidaknya suatu lelucon berdasarkan banyak aspek, dari konstruksi sosial (etika, simpati, dan empati), psikologis, hingga fisik.
ADVERTISEMENT
Ini bukan kemampuan yang layak dinomorsekiankan. Sebab dalam panggung demokrasi, humor itu senjata penting bagi pemimpin. Dengan humor, para pemimpin bisa memotong jurang status antara dirinya dengan warga biasa, membuat gaya komunikasinya lebih menarik bagi publik, bahkan meningkatkan elektabilitas dan popularitas.
Humor juga dapat memelihara demokrasi itu sendiri, seperti yang Orlo J. Price dalam The Senses of Humor: Self and Laughter in Modern America (Wickberg, 1998) bilang, “Negara yang tidak terhibur dengan kejenakaannya sendiri dan tidak bisa ikhlas mentertawakan diri sendiri adalah tempat suburnya penyakit – andaikata negara itu belum sakit.”
Mungkin gaya komunikasi Si Jenderal riskan karena memicu multitafsir, tapi ini sebuah terobosan penting. Tak ada yang salah dari polisi yang berhumor.
ADVERTISEMENT
Saat penulis mengikuti konferensi humor tahunan yang diadakan Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH) 5-6 Juni lalu dengan tema Treating Life with Humor – dan tercatat menjadi peserta pertama dari Indonesia, salah satu pematerinya adalah seorang polwan bernama Sersan Tracy Lilliard. Dalam sesinya, polwan yang akrab dipanggil “Trooper Tracy” itu menjelaskan bagaimana polisi dapat berperan aktif memasyarakatkan imbauan berlalu lintas kepada masyarakat lewat humor, terutama di media sosial, baik menggunakan akun resmi kepolisian daerah setempat maupun akun pribadinya.
Rasanya, kita perlu mulai lebih mengapresiasi kehadiran pemimpin-pemimpin yang berdaya humor, dari mana pun institusinya. Si Jenderal setidaknya telah mencoba menunjukkan bahwa seseorang berpangkat tertinggi di suatu institusi pun tetaplah manusia biasa yang tidak mampu melakukan semuanya sendirian, lewat humor. Cara Si Jenderal mengolok dirinya sendiri di depan umum pun boleh-boleh saja dihargai sebagai cara menghumanisasi dirinya tatkala kilau institusi tempat Si Jenderal bernaung meredup di mata publik. Lagi-lagi, lewat humor.
ADVERTISEMENT
Atau begini saja, anggaplah humor self-deprecating Si Jenderal adalah upaya dialognya dengan Ismail Ahmad, warga jelata pengunggah guyonan Abdurrahman Wahid tentang polisi jujur di Facebook yang dipanggil Polres Kepulauan Sula, Maluku Utara, walau tidak sampai diproses hukum.
Bukankah humor etisnya juga dibalas dengan humor, bukan dengan BAP?
Ulwan Fakhri – Peneliti Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)