Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kuat Mental, Kuat Finansial Sebelum Menikah
8 Agustus 2023 5:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Ihsan Faris Kurnia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Belakangan ini, terdapat berita tentang seorang ayah di Kediri, Jawa Timur, yang mengambil langkah tragis dengan melakukan bunuh diri karena terjebak dalam banyak utang yang diakibatkan oleh persiapan pernikahan mewah bagi anaknya.
ADVERTISEMENT
Terungkap bahwa sepasang calon pengantin tersebut berusia 17 dan 20 tahun. Sementara tuntutan untuk mengadakan pesta pernikahan yang meriah menjadi penyebab utama dalam kejadian tersebut.
Padahal, terdapat banyak aspek kehidupan setelah menikah yang perlu dipertimbangkan dengan serius. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki kesiapan mental dan kesanggupan keuangan yang matang sebelum memasuki ikatan pernikahan.
Penetapan batasan usia untuk pernikahan menjadi suatu hal yang sangat signifikan. Hal tersebut berfungsi sebagai acuan bagi setiap orang untuk memastikan bahwa mereka telah mencapai kedewasaan baik dari segi fisik maupun mental sebelum memasuki ikatan pernikahan.
Dalam penjelasan perundang-undangan, diatur bahwa calon suami dan istri harus memiliki kedewasaan fisik dan mental yang cukup untuk menjalankan pernikahan dengan baik, menghindari perceraian, dan memperoleh keturunan yang sehat. Oleh karena itu, penting untuk mencegah perkawinan yang melibatkan calon suami dan istri yang belum mencapai usia dewasa.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia melarang perbedaan batas usia minimal perkawinan antara pria dan wanita. Meskipun pada Pasal 7 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 tahun”, namun perbedaan tersebut dianggap melanggar hukum.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diterbitkan dengan tujuan untuk menyamakan batas usia minimal perkawinan bagi wanita dan pria, yaitu 19 tahun.
Walaupun peraturan hukum telah jelas mengenai usia minimal untuk ikatan pernikahan, yaitu mencapai usia minimal 19 tahun yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, faktanya masih terdapat banyak orang yang menikah tanpa persiapan yang matang, yang menyebabkan tingginya angka perceraian. Di sisi lain, kebijakan dispensasi nikah justru memberikan celah bagi mereka untuk menikah tanpa alasan yang "mendesak".
Pada tahun 2020, sebanyak 60 persen dari total permohonan dispensasi pernikahan melibatkan anak di bawah usia 18 tahun. Praktik pernikahan dini ini dapat dianggap sebagai kegagalan dari pandangan tradisional yang menyatakan bahwa memiliki banyak anak akan membawa rezeki yang melimpah.
ADVERTISEMENT
Dalam praktiknya, kurangnya pendidikan dan tanggung jawab dari lingkungan keluarga menyebabkan anak-anak kehilangan peluang masa depan yang seharusnya mereka dapatkan. Oleh karena itu, penting sekali untuk menghentikan praktik pernikahan dini ini, karena hal tersebut merupakan langkah penting dalam memutus rantai kemiskinan struktural yang ada.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Dini Fadilah pada tahun 2021, ditemukan bahwa pernikahan dini dilarang karena memiliki dampak negatif yang signifikan. Dampak tersebut tidak hanya berdampak pada suami dan istri yang menikah pada usia dini, tetapi juga berpengaruh pada anak-anak yang akan lahir, situasi keluarga, kondisi ekonomi, lingkungan sosial, serta menghambat akses pendidikan, dan faktor-faktor lainnya.
Dampak yang timbul dapat mencakup masalah kesehatan pada ibu yang hamil, serta kondisi anak yang akan dilahirkan, dampak psikologis pada pasangan yang menikah, dan yang lebih mengkhawatirkan adalah peningkatan risiko perceraian pada usia muda.
Keputusan untuk menikah secara dini sering kali menjadi faktor yang menyebabkan seseorang memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ida Sukmawati dan Tety Ripursari pada tahun 2022, dari 30 responden yang diteliti, terdapat 25 orang yang memilih untuk drop out dari sekolah, dan dari 25 orang tersebut, 21 orang mengungkapkan bahwa mereka memilih untuk berhenti sekolah karena menikah pada usia dini.
Studi literatur juga mendokumentasikan bahwa tingkat pendidikan yang rendah seringkali dikaitkan dengan upah yang rendah dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi (Katz dan Autor, 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh Putu Govinda pada tahun 2021 juga menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, pendapatan, status pekerjaan, dan kondisi lingkungan tempat tinggal, maka perempuan muda akan cenderung tidak terpengaruh oleh pernikahan dini di sekitarnya, sehingga dapat mengurangi kejadian perkawinan pada usia dini.
ADVERTISEMENT
Karena pada dasarnya, remaja atau anak muda yang berusia sekitar 19 tahun umumnya belum memiliki sumber penghasilan atau kemampuan untuk membiayai kehidupan sendiri. Jika mereka menikah pada usia yang begitu muda, dapat diprediksi bahwa akan muncul kesulitan-kesulitan terkait dengan faktor sosial dan ekonomi, yang dapat menyebabkan konsekuensi yang kompleks dan rumit.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan rekan-rekan pada tahun 2022, disimpulkan bahwa perkawinan dini yang terjadi melalui dispensasi perkawinan dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya kekerasan dan konflik dalam hubungan keluarga.
Kekerasan dan perselisihan dalam rumah tangga muncul karena kurangnya kematangan psikologis yang belum tercapai, dan juga dapat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan.
Terkait hal tersebut, pernikahan dini pada anak ternyata tidak hanya mencabut hak-hak anak, tetapi adanya jumlah peningkatan perkawinan anak juga berperan pada peningkatan angka kemiskinan yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang fokus pada bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga, dalam acara Webinar dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasan Usia Perkawinan, menekankan bahwa dampak pernikahan anak tidak hanya dirasakan oleh anak itu sendiri, tetapi juga oleh anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut, dan berpotensi menghasilkan kemiskinan antargenerasi.
Banyak orang tua berharap bahwa pernikahan anak perempuan akan menjadi solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, dengan harapan bahwa suami akan bertanggung jawab atas kebutuhan hidup dan tempat tinggal.
Namun, sering kali harapan tersebut tidak terpenuhi, terutama apabila kondisi ekonomi antara keluarga perempuan dan laki-laki setara. Ironisnya, keadaan ekonomi tidak mengalami peningkatan, bahkan semakin memburuk.
ADVERTISEMENT
Semakin banyak anggota keluarga, tekanan ekonomi di rumah tangga tersebut semakin meningkat. Dengan penghasilan yang rendah bahkan tidak ada, mereka terus menghadapi kesulitan dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Akibatnya, terjadi lingkaran kemiskinan baru dalam keluarga tersebut. Keadaan semakin buruk terutama jika tidak ada persiapan yang memadai dalam hal ekonomi.
Oleh karena itu, diperlukan langkah sosialisasi khusus yang bertujuan untuk mengedukasi tentang konsekuensi dari pernikahan dini. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesiapan finansial sebelum menikah perlu ditingkatkan.
Meskipun uang bukanlah segalanya, namun keputusan-keputusan yang kita buat setiap hari sering kali terkait dengan aspek finansial. Dalam menghadapi prevalensi tinggi perceraian yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, setiap calon pasangan memiliki tanggung jawab untuk membangun kesiapan finansial sebelum memasuki ikatan pernikahan.
ADVERTISEMENT