Konten dari Pengguna

Banalitas di Sekitar Kita

Muhamad Ikhwan Abdul Asyir
Manajer Program Al Wasath Institute
24 Januari 2023 19:02 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Ikhwan Abdul Asyir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi keadilan hukum. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keadilan hukum. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Semakin berkembangnya zaman, semakin kompleks juga persoalan yang menyertainya, misalnya seperti kelayakan baru, persoalan pelanggaran hukum yang prosesnya membutuhkan waktu lama dan menimbulkan kegregretan rasa. Hukum dan prosesnya yang harusnya menjadi sangat sakral malah bergelut dengan oknum-oknum yang sangat nirmoral. Bagaimana tidak? Mereka, para kaum terpelajar dan paham betul posisi dan proporsi hukum, malah dengan gamblang mempertontonkan ke khalayak ramai tentang kemersotoan kualitas yang ada. Kualitas hukum dari segi produknya, efektif atau juga penerapannya yang jauh dari segi idealisme hukum.
ADVERTISEMENT
Hukum yang memang harus bengis dalam konotasi yang positif dan tajam tak kenal golongan, seakan dihalangi oleh tembok besar yang kokoh dan terbangun dari semen kekebalan. Hukum yang bagaimanapun dalihnya mencoba mendobrak mereka-mereka ini, tetap saja malah terhempas kembali ke belakang dan menjauhi jangkauannya. Hukum seakan berjalan di tempat saja dan semakin tidak lagi berlaku bagi mereka yang malah melanggengkan kekuasaannya. Asumsinya adalah ketika dimulai dari kekuasaan, dan menimbulkan kekuasaan lain yang semakin tak tersentuh oleh hukum. Tidak semuanya memang, tapi sekali lagi saya sampaikan, beberapa sektor dan oknum merasakan yang memang demikian seperti itu.
Itu saja sudah jadi masalah. Yang jadi masalah selanjutnya adalah, seringkali mereka-mereka ini memiliki rasa solidarisas yang tinggi antar satu lainnya. Sekadar solidaritas saja? Tentu bukan. Mereka lebih kepada saling jaga, saling arah dan saling cadang satu dengan lainnya. Jadi dengan demikian, kelanggengan yang mereka rasakan ini akan bertahan dan semakin kokoh. Mereka ini seperti memegang komitmen bagi sesamanya yang sama-sama sedang menikmati keberadaan yang jauh di atas, mereka ini satu sama lainnya memiliki beragam akses itu bisa mereka gunakan tentu dengan orientasi yang sangat menguntungkan dan terus signifikan.
ADVERTISEMENT

Timbal Balik antar Koneksi

Saling tukar untung yang signifikan ini juga ada dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Itulah pekerjaan mereka, pekerjaan yang di muka umum sering kita lihat dengan berbagai istilah seperti pembangunan, pemberdayaan, pencerdasan, pengabdian, demi kepentingan bersama dan lain-lainnya pada masyarakat. Kita ini atau saya pribadi sebagai masyarakat yang sering berharap memang bahwa apa yang mereka dengungkan ini kenyataannya bakal kita rasakan, merasakan dengan segala kemudahan akses pada masyarakat, pun kalau nantinya sudah ada upaya tapi malah kurang berkenan dengan kenyataan, paling tidak kita masih merasakan hidup, sebab hidup ini cukup berwarna dengan adanya harapan.
Dengan hubungan baik ini, imbalan seperti kemenangan lelang, proyek pekerjaan yang bernilai, nama baik yang moncer, jabatan strategis dalam sebuah instansi bisa saja didapati dengan modal pertemuan yang bermula dari ajakan: 'Mari ngopi, Pak!'
ADVERTISEMENT
Mereka tidak banyak, mereka juga tidak bergerombol seperti pasukan perang pada umumnya. Hanya saja masing-masing dari mereka punya kekuatan di setiap teritorinya. Kemudian skema semacam ini akan terus berlanjut. Ketika satu sudah selesai dengan tanggung jawabnya, satu yang lain siap memberikan arahan dan bimbingan agar mampu dapat tanggungjawab yang lain. Ketika yang memberi arahan ini selesai, ya dia akan diberi arahan oleh mereka yang pernah dan sempat saling bantu di waktu sebelumnya. Apakah ini sulit diurai? Jelas sulit, ini soal komitmen dan kepercayaan, apa pun bisa terjalin, asal saling senang dan menyenangkan dan tentunya, prosedural tidak melanggar aturan yang ada.
Yang lebih hebat lagi, antarteritori mereka ini tidak pernah ganggu sekalipun, kecuali dengan alasan yang mendesak dan benar-benar dibutuhkan. Mereka akan semakin sibuk dengan wilayahnya ini untuk mengais sepaling banyak apa yang mereka bisa kais. Mengapa demikian? Sebab sampainya mereka di titik sana pun bukan dalam kapasitas yang aji mumpung atau sekadarnya saja, mereka butuh modal, dari segi orientasi, prospeksivitas, konsolidasi, nilai tawar sampai kadang-kadang modal materil yang riil.
ADVERTISEMENT
Dapatnya sudah terseok-seok, masa iya sampai di sana cuma bisa mengikis saja, kan tidak mungkin. Nalar saya atau kita yang jauh dari ruangan demikian mungkin bakal sulit mencerna bagaimana semua itu bisa dicapai dan dijalankan selama umur mereka. Yang lebih bisa dipertanyakan lagi, apalagi mereka yang masih muda bahkan bisa dengan lenggangnya masuk di arus demikian ini. Kalau kemudian kita mau memakluminya, beberapa hal di kehidupan ini memang tak perlu kita pahami, karena beberapa waktu, ketidakpahaman itu lebih baik untuk diri kita.

Jangan Jadi Banalitas

Namun demikian, sebagai warga negara yang mencoba betul menjadi warga negara yang baik dan berjiwa penuh patriotisme, ketidaktahuan ini jangan sampai malah menjadikan diri kita terus terdiam dan tak melakukan apa-apa. Misalnya begini, ketika kita tidak bisa paham dan memahami ruang lingkup atau ekosistem yang saya sampaikan di paragraf sebelumnya ini, kita kemudian jangan lantas malah berjalan mundur. Sebab kita harus mengetahui, bahwa membenahi ketidak sesuaian moral, etika, prosedur, hukum, pendidikan dan problematika sosial lainnya itu ya tugas masing-masing kita juga.
ADVERTISEMENT
Kalau kita semuanya dirasa terlalu berat dan tak berbelas kasih pada golongan yang paling menyedihkan (mohon maaf apabila kurang berkenan), ya bisa saya katakan kembali bahwa tugas membenahi keadaan lapangan yang masih jauh dari kata masyarakat madani ini adalah tugas kita masyarakat yang mau dan dikehendaki oleh kemampuan untuk membantu pihak lainnya.
Kita mungkin sadar dan terbatas oleh fakta bahwa dampak yang bisa kita raih dari apa yang kita lakukan ini tidak benar-benar mampu terlihat secara langsung. Apalagi yang kita hadapi ini adalah mereka sebagai oknum yang punya segala ornamen kekuasaan dan lekat dengan segala kekuatan. Kita sebagai warga negara sipil biasa yang hanya bagian kecil dari masyarakat yang bahkan menjangkaunya saja sulit dan terkadang tergoda untuk mendekati mereka agar bisa ikut moncer. Tak masalah itu adalah hal yang manusiawi, tinggal saja kita sesuaikan porsi dan proporsinya. Kalau dari awal saja kita telah gagal dalam menentukan batas yang coba mau kita kejar atau raih, bisa jadi, ke depan justru kita inilah yang bekal menggantikan mereka dalam melanggengkan praktik-praktik kekuasaan yang seperti mereka.
ADVERTISEMENT
Tapi yang paling penting adalah jangan sampai kita hanya mendiamkannya saja. Apa saja boleh dilakukan asal itu bertujuan pada dan impactnya adalah kebaikan. Jangan sampai fenomena yang kita akui dan alami terjadi ini hanya jadi banalitas yang kemudian berjalan terus-terusan. Ya banalitas, adalah ketika ada hal buruk yang terjadi di sekitar kita dan kita bisa melihatnya, tapi kita malah acuh tak mau melakukan apa-apa. Semoga Allah memberikan kita kekuatan untuk terus kerja keras dalam kehidupan, semoga Allah meridhoi kita semuanya
Ihdinas shirotol mustaqim, wassalam.