Konten dari Pengguna

Kita Belum Selesai Belajar Membaca

Ikhwanul Habibi
Kepala Peliputan kumparan. Jangan egois, mari berbagi kisah di kumparan!
18 Januari 2017 14:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ikhwanul Habibi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita Belum Selesai Belajar Membaca
zoom-in-whitePerbesar
Kita tumbuh besar di zaman yang serba tanggung. Lahir saat alam belum kenal internet, namun besar seiring hadir dan berkembangnya teknologi jaringan.
ADVERTISEMENT
Tangan kita dahulu pertama kali diajarkan untuk menulis, setelah itu belajar mengeja. Tahap selanjutnya adalah membaca tiap suku kata, hingga akhirnya bisa lancar membaca kalimat-kalimat yang tertata.
Lalu kita mulai dikenalkan dengan buku cerita. Gambar-gambar indah menemani kita selama membaca, satu tujuannya, menuntun alam imajinasi kita untuk mengintepretasi isi cerita.
Lama-kelamaan gambar itu hilang. Kita benar-benar hanya membaca tulisan dan angka.
Pikiran kita terus dituntut untuk mengerti isi bacaan, tanpa bantuan visual untuk membuat kesimpulan. Nalar kita menuntut untuk terus dilatih, ya dilatih membaca agar bisa mengintepretasi tanpa menjustifikasi.
Sayangnya sebelum kita selesai belajar membaca, internet mulai lahir. Media sosial mulai bermunculan.
Manusia (termasuk kita) larut dalam euforia kehadiran internet ini. Setengah dari kita sangat aktif di media sosial.
ADVERTISEMENT
Namun kita harus ingat, kita belum selesai belajar membaca. Ada beberapa hal lagi yang kita lewatkan dalam proses membaca, yakni mendalami, mencerna, dan menggunakan nalar untuk mengerti maksud dari apa yang kita baca.
Kealpaan proses membaca itu membuat kita benar-benar tersesat di alam maya. Lebih-lebih, akhir-akhir ini saat kita dihujani hoax setiap hari.
Kita Belum Selesai Belajar Membaca (1)
zoom-in-whitePerbesar
Jangan salahkan bila ada yang hanya membaca judul sebuah artikel, lalu langsung merasa sangat mengerti seluruh isinya. Setelah itu langsung menyebarkan apa yang dia dapatkan itu. Kita lebih baik berpikir positif, mungkin dia hanya melewati satu fase belajar membaca, yakni mengeja.
Jangan salahkan pula saat ada yang sangat percaya dengan isi sebuah artikel, tanpa tahu siapa gerangan pembuat artikel itu. Ada yang tidak perlu tahu darimana artikel itu berasal. Sebagian dari kita merasa sudah sangat mengerti maksud dari tulisan itu tanpa perlu tahu darimana dia berasal. Justifikasi langsung muncul sesaat setelah membaca. Mari berpikir positif lagi, mungkin dia hanya melewati dua fase belajar membaca, yakni sampai tahapan lancar membaca.
ADVERTISEMENT
Ada pula yang langsung memberikan justifikasi saat melihat gambar tertentu. Perkara gambar itu asli atau bukan, “Bukan menjadi urusanku,” katanya. Tolong, jangan pula salahkan kawan yang seperti ini. Mungkin dia belum belajar membaca sampai ke tahap mendalami, mencerna dan menggunakan nalar.
Kita saat ini hidup di tengah guyuran hoax. Sulit membedakan mana yang benar dan hoax, karena perbedaannya sangat tipis. Celakanya lagi, kita belum selesai belajar membaca, sehingga sangat permisif dengan hoax.
Ya, karena kita belum selesai belajar membaca, namun sudah akrab dengan media sosial.