Selamat Jalan Setiadi Tryman, Tokoh Pers dan Film Indonesia

Konten dari Pengguna
16 Mei 2021 13:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ilham Bintang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Setiadi Tryman. Dokumentasi: pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Setiadi Tryman. Dokumentasi: pribadi.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Telah berpulang ke rumah BAPA di Surga dalam damai. Suami, Papa dan Opa kami tercinta, Bapak Setiadi Tryman, di usia 84 tahun, pada hari Sabtu, 15 Mei 2021, pukul 19.00 WIB."
ADVERTISEMENT
Berita duka itu dikirim Rita, Carmel, Lola, Carla beserta cucu dan cicit atas nama keluarga besar.
Info itu segera menyebar di berbagai group WA. Saya membacanya di grup WhatsApp Pengurus PWI Pusat.
Almarhum memang wartawan. Wartawan sangat senior. Tokoh pers film Indonesia. Saya mengenal—tepatnya berguru—pada Setiadi saat menjadi redaktur Harian Sinar Harapan, surat kabar terpandang dan terbesar di Indonesia. Setelah media itu dibredel pemerintah dan kemudian terbit lagi dengan nama baru Harian Suara Pembaruan, Mas Setiadi Tryman diangkat menjadi Pemimpin Redaksi pertamanya.
Saya merasa sangat kehilangan atas kepergian Setiadi Tryman. Sedih kehilangan seorang sahabat dan mentor sekaligus. Saya yakin perasaan kehilangan itu juga dirasakan kalangan pers dan perfilman Indonesia pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Kami bersahabat lama dengan beliau. Sikapnya yang egaliter sangat mengesankan dalam posisinya sebagai pemimpin redaksi media besar. Orangnya sangat rendah hati dan memilih banyak-banyak tersenyum dengan humor-humor bersantai. Di dunia film Setiafi sudah mencapai tingkat ketokohan yang dihormati masyarakat film. Sudah berkali kali menjadi juri FFI pada saat saya baru mulai menjadi wartawan. Namun sejak perkenalan pertama praktis setelah kami menjalin persahabatan.
Setiadi Tryman. Dokumentasi: pribadi.
Mas Setiadilah yang menjadi penopang utama di masa saya menjabat Ketua Humas FFI (Festival Film Indonesia) dan FSI (Festival Sinetron), tiga periode—15 tahun—di masa Harmoko menjadi Menteri Penerangan. Setiadi Tryman seangkatan dan teman gaul Harmoko yang kelak menjadi Menteri Penerangan tiga periode di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
ADVERTISEMENT
Sebelum itu, Setiadi sudah mengikuti dinamika kehidupan seniman dan budayawan dengan ikut berkecimpung dalam komunitas Seniman Senen yang terkenal di Jakarta. Di situ bergaul dengan aktor terkenal Soekarno M Noer dan Haji Misbach Jusa Biran.
Saat menjadi Pemred Harian Suara Pembaruan, saya sering diundang untuk menulis ulasan film dan bahkan menulis artikel itu langsung di kantornya. Di meja dalam ruangan kantornya. Kawan senior lain yang juga teman kolaborasi kami di masa itu adalah Paul Lumban Tobing, redaktur film Sinar Harapan. Paul juga termasuk tokoh wartawan film yang terpandang di masanya.
Setiadi Tryman. Dokumentasi: pribadi.
Markas kami masa kolaborasi itu di kantor Dewan Film Nasional, Menteng Raya. Di sini berkantor juga sahabat lama Setiadi. Namanya Zulharman Said dan Chaidir Rahman yang merupakan kawan perjuangan sejak tahun 1950 an. Zulharman Said adalah Ketua Umum PWI Pusat yang sekaligus menjabat Direktur Utama PT Perfin (perusahaan pengedar film Indonesia). Wartawan senior Chaidir Rahman juga berkiprah di PT Perfin.
ADVERTISEMENT
Pernah dalam kurun yang panjang, setiap sore sepulang kantor, kami berkumpul di Dewan Film National sampai tengah malam. Lokasi Dewan Film, di tengah kota, Jalan Menteng Raya.
Suatu kali saya ingat, suatu sore datang seorang teman wartawan film namanya Gagar Mayang Dia datang untuk curhat. Ceritanya, putrinya mendadak dibatalkan oleh gurunya untuk ikut Paskibraka. Pokok soalnya, menurut cerita Gagar Mayang, sejak gagal itu, anaknya menjadi pemurung, tidak punya nafsu makan. Gagar minta teman-teman mendukungnya menuntut guru sekolah anaknya.
Saya setuju. Teman-teman mendukung. Terakhir ia minta pandangan ke Setiadi Tryman. Namun, Setiadi tidak setuju. Dia mengajukan pandangan lain. “Coba cek dulu ibunya anak kamu Gagar. Anaknya dikasih makan apa, lauknya apa? Data ini penting diketahui," tanya Setiadi.
ADVERTISEMENT
Gagar langsung menukas: apa hubungannya Mas? "Ya, banyak. Seumpama anak itu dikasih makan dengan lauk ikan asing, masuk akal kalau dia tidak nafsu makan. Jangan anakmu, gurunya pun saya khawatir tidak nafsu makan juga kalau lauknya ikan asin,” papar Setiadi. Semua terdiam menyimak pandangan itu. Yang gusar hanya Gagar Mayang seorang. Rencana gugatan kepada guru itu memang tidak berlanjut.
Setiadi sepengetahuan saya memang tabu untuk menggunakan cara konfrontasi dalam menyelesaikan masalah. Dia meyakini dialog atau saling mendengar adalah kuncinya. Teman yang curhat diminta cari tahu secara jelas duduk perkara suatu masalah dengan pendekatan humoristis supaya soal berat pun jadi ringan. Contoh tadi itu. Betapa pun tak puas, toh kekesalan Gagar Mayang bisa diredam dengan humor. Bicara soal diplomasi humor, Setiadi memang ahlinya.
ADVERTISEMENT

Surat-Surat Nyasar

Setiadi Tryman berkarya dalam kariernya sebagai wartawan dan film yang bisa dikenang, ia berhasil menulis banyak skenario film dan rubrik "Surat-Surat Nyasar” di Sinar Harapan. Di rubrik yang digawanginya itu semua masalah yang dibahas, serumit apa pun, dia pecahkan dengan selera humor tinggi. Tak heran jika "Surat-Surat Nyasar" memiliki pembaca fanatik dalam jumlah besar. Di tangan Setiadi humor menjadi serius. Atau hal serius bisa encer dibuatnya dalam kemasan humor. Gayanya kritis tapi tidak menyakiti, nyeleneh, tapi mengundang senyum.
Atas permintaannya setelah pensiun, Surat-Surat Nyasar itu dilanjutkan pemuatannya di Tabloid Cek& Ricek. Sempat terbit beberapa tahun sampai Setiadi sendiri menghentikan karena tidak punya waktu banyak lagi untuk mengisinya secara rutin. Surat-Surat Nyasar di Sinar Harapan maupun di Tabloid C&R menggunakan logo karikatur wajah Setiadi Tryman.
ADVERTISEMENT
Beberapa kali Setiadi sempat menyambangi saya di kantor C&R. Ngobrol-ngobrol sambil bersenda gurau. Belakangan lama kami tidak berkomunikasi lagi. Tapi berita duka kepergiannya yang beredar di WAG (WhatsApp Group)membuat sedih, membuat saya membuka kembali kenangan-kenangan manis persahabatan kami tempo hari.
Setiadi Tryman lahir di Demak, Jawa Tengah. Setamat SMA, ia melanjutkan kursus manajemen, seni drama HBS di Solo (1955), ATNI di Solo (1957) dan Workshop Film Directing (KFT). Sebelum terjun ke dunia film menjadi wartawan. Dari Berita Indonesia (1960), Sinar Harapan (1962-1986), kemudian memimpin surat kabar Suara Pembaruan. Anggota Dewan Film Nasional yang juga anggota PWI yang terjun pertama kali di dunia film sejak tahun 1964 sebagai penulis skenario.
Kini Setiadi Tryman, sahabat yang sekaligus mentor itu telah pergi mendahului kita. Selamat jalan sahabat senior dan mentor kami. Semoga Tuhan memberimu tempat lapang, nyaman, dan indah di sisi-Nya.
ADVERTISEMENT